Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, apa hukumnya memanipulasi pajak agar pungutan pajaknya lebih rendah dari hitungan normal? (Hamba Allah)
Jawab :
Pajak itu ada dua macam, yaitu pajak syariah dan pajak non-syariah.
Pajak syariah itu boleh hukumnya dipungut oleh negara (maksudnya negara Khilafah), dan umat Islam wajib hukumnya membayar pajak kepada negara. Berarti kalau umat tidak membayar pajak dia akan berdosa kepada Allah.
Adapun pajak non-syariah, haram hukumnya dipungut oleh negara, baik oleh negara sekuler saat ini maupun oleh negara Khilafah nanti. Adapun bagi umat Islam tidak wajib hukumnya membayar pajak non-syariah ini. Umat Islam yang tidak membayar pajak non-syariah, walaupun mendapat sanksi dari negara sekuler saat ini, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana, sesungguhnya dia tidak berdosa di hadapan Allah.
Dua macam pajak inilah yang mendasari hukum memanipulasi pajak agar pungutan pajaknya lebih rendah dari hitungan normal.
Dalam situs islamweb.net fatwa nomor 151.667 ditegaskan, bahwa hukum lari dari pajak (menghindari pajak) dan memanipulasi pajak (at-taharrub min al-dharā`ib wa at-taḥāyul ‘alaihi) bergantung pada macam pajaknya, sesuai rincian (tafshil) berikut ini :
Pertama, jika pajaknya adalah pajak syariah, yakni pajak yang secara syariah hukumnya mubah (dibolehkan syariah) dipungut oleh negara Khilafah, yaitu yang dipungut sesuai syarat-syarat yang ditetapkan syariah Islam, maka hukumnya tidak boleh lari dari pajak atau memanipulasi pajak.
Kedua, jika pajaknya adalah pajak yang zalim, yaitu pajak non-syariah yang dipungut tanpa memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariah Islam, maka hukumnya boleh lari dari pajak dan boleh pula memanipulasi pajak. (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/151667).
Adapun syarat-syarat pajak syariah, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, ada empat syarat, sebagaimana tertulis dalam kitabnya An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, halaman 245-246 sebagai berikut :
Pertama, pajak itu dipungut untuk melaksanakan kewajiban syariah bersama, yaitu kewajiban yang sama-sama wajib dipikul oleh negara Khilafah (Baitul Mal) dan oleh umat Islam, berdasarkan dalil syariah tertentu. Misalnya kewajiban menyantuni fakir dan miskin, atau kewajiban menolong korban bencana alam, atau kewajiban membangun jalan raya penghubung yang vital bagi umat dan satu-satunya antara dua kota, dan sebagainya.
Jadi pajak tidak boleh dipungut, jika tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan jika hanya diperuntukkan untuk melaksanakan kewajiban yang harus dipikul negara saja, bukan kewajiban bersama yang wajib dipikul bersama antara negara dan umat. Misalnya negara hendak membangun jalan alternatif antar kota, padahal jalan utama yang sudah ada masih cukup layak. Atau misalnya ada proyek pemindahan ibu kota, ke daerah atau pulau lain, padahah ibu kota yang ada masih layak.
Jadi tidak boleh memungut pajak (dan menggunakan dana pajak) untuk keperluan yang demikian itu, yang hanya menjadi kewajiban negara namun bukan menjadi kewajiban umat karena sifatnya yang tidak vital bagi umat.
Kedua, pajak dipungut pada saat dana di Baitul Mal (Kas Negara) di negara Khilafah kosong atau kurang. Pajak tidak boleh dipungut jika di Baitul Mal ada dana yang mencukupi.
Dengan kata lain, pajak dalam Islam itu bukan pendapatan negara yang bersifat permanen (tetap), melainkan pendapatan negara yang sifatnya temporal, yaitu hanya diambil dalam kondisi khusus ketika dana di Baitul Mal (Kas Negara) kurang atau tidak ada.
Ketiga, pajak dipungut hanya dari kaum muslimin saja, karena warga non-muslim sudah kena pajak khusus yang namanya jizyah, sesuai perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an mengenai jizyah dalam QS At-Taubah (9) : 29.
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayar oleh warga non-muslim kepada negara Khilafah, khususnya bagi laki-laki, yang dewasa, dan yang mampu.
Jadi tidak boleh dipungut jizyah dari warga non-muslim yang fakir atau miskin, atau dari wanita dan anak-anak, dari kalangan warga non-muslim.
Kempat, pajak dipungut hanya dari yang mampu saja, jadi tidak boleh memungut pajak dari warga negara Khilafah yang fakir atau miskin.
(Lihat : Imam Taqiyuddin An Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 245-246).
Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 13 April 2023
Muhammad Shiddiq Al Jawi