Home Pemikiran MENOLAK LUPA RUNTUHNYA KHILAFAH 3 MARET 1924

MENOLAK LUPA RUNTUHNYA KHILAFAH 3 MARET 1924

23

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Runtuhnya Khilafah : Tragedi Besar Bagi Umat Islam

Pada tanggal 3 Maret 1924 telah terjadi tragedi besar bagi umat Islam, yaitu runtuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki. Mengingat demikian dahsyatnya tragedi ini bagi umat Islam, Syekh Dr. Fathī Zaghrūt dalam kitabnya Al-Nawāzil Al-Kubrā fī Al-Tārīkh Al-Islāmī, telah memasukkan runtuhnya Khilafah pada tahun 1924 tersebut sebagai salah satu dari 4 (empat) tragedi besar (al-nawāzil al-kubrā) yang menimpa umat Islam dalam sepanjang sejarah umat Islam.

 

Selengkapnya 4 (empat) tragedi besar (al-nawāzil al-kubrā) sepanjang sejarah umat Islam tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, runtuhnya Baghdad ke tangan Mongol (656 H/1258 M).

Kedua, runtuhnya Baitul Maqdis (Yerussalem) ke tangan kaum Salib alias kaum Kristen (492 H/1009 M).

Ketiga, runtuhnya Andalusia di Spanyol ke tangan Katolik (897 H/1492 M).

Keempat, runtuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki (1342 H/1924 M). (Fathī Zaghrūt, Al-Nawāzil Al-Kubrā fī Al-Tārīkh Al-Islāmī, hlm. 15 & 557).

 

Tragedi pertama dan kedua tersebut, menurut Syekh Dr. Fathī Zaghrūt, dapat direspon dan kemudian diatasi kaum muslimin saat itu dengan baik. Ini sangat berbeda dengan dua tragedi berikutnya, yaitu tragedi ketiga dan keempat, yang tidak direspon dan disikapi dengan semestinya oleh umat Islam. Akibatnya, dua tragedi terakhir tersebut belum teratasi tuntas sampai kini dan masih menyisakan memori kehinaan dan kekalahan yang menyakitkan bagi umat Islam, yang masih berkelanjutan sampai detik ini. (Fathī Zaghrūt, Al-Nawāzil Al-Kubrā fī Al-Tārīkh Al-Islāmī, hlm. 17-18).

Dalam tragedi pertama, Khilafah Abbasiyah runtuh saat kota Baghdad diserang oleh kaum kafir Mongol (Tartar) secara brutal dan biadab pada tahun 1258. Khalifah Abdullah Al-Mu’tashim Billah pun dibunuh dengan kejam saat itu. Kemudian terjadi kevakuman tanpa Khilafah selama 3 (tiga) tahun. Namun akhirnya tahun 1261 M, kaum muslimin dapat kembali membaiat Khalifah bagi mereka, yaitu Khalifah Ahmad Al-Mustanshir Billah II di Mesir.

Sedang tragedi kedua, yaitu runtuhnya Baitul Maqdis ke tangan kaum Kristen (492 H/1009 M) pada Perang Salib, akhirnya dapat direspon dengan tepat secara syariah, yaitu melancarkan jihād fī sabīlillāh guna melawan kaum kafir Kristen yang menduduki Baitul Maqdis tersebut. Terjadilah Perang Hittīn (dekat danau Tiberias, wilayah “Israel” masa kini) pada tanggal 3-4 Juli tahun 1187 M di bawah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi. Pertempuran ini dimenangkan oleh umat Islam, karena strategi cemerlang yang disusun oleh Shalahuddin Al-Ayyubi dan pasukan jihād fī sabīlillāh yang terlatih dengan baik. (Fathī Zaghrūt, Al-Nawāzil Al-Kubrā fī Al-Tārīkh Al-Islāmī, hlm. 17).

Adapun tragedi ketiga dan keempat, yakni runtuhnya Andalusia di Spanyol (1492) dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah di Turki (1924), ternyata tidak mendapat respon dan penyikapan yang selayaknya dari umat Islam. Kedua tragedi itu masih menyisakan memori kehinaan dan kekalahan yang menyakitkan bagi umat Islam hingga kini.

Terlebih lagi tragedi keempat, yaitu runtuhnya Khilafah tahun 1924, sungguh telah dan masih melahirkan berbagai kerusakan (al-fasād) dan kemudharatan (al-dharar) yang sangat besar bagi umat Islam dan terus berkelanjutan tanpa dapat dihentikan sampai detik ini, di antaranya :

Pertama, dengan runtuhnya Khilafah, syariah Islam tidak dapat lagi berperan sebagai pengatur berbagai interaksi dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh (kaffah). Misalnya pengatur di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, dan sebagainya. Islam akhirnya menjadi agama spiritual semata yang bersifat sekuler, seperti agama Kristen dari Barat yang hanya mengatur ibadah namun tidak mengatur berbagai aspek kehidupan.

Kedua, dengan runtuhnya Khilafah, akhirnya posisi Syariah Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan, digantikan dengan hukum-hukum kufur (thāghūt) yang berasal dari negara-negara kafir penjajah, baik hukum Eropa Kontinental maupun hukum Anglosaxon.

Ketiga, dengan runtuhnya Khilafah, umat Islam yang seharusnya merupakan umat yang satu, akhirnya menjadi terpecah belah menjadi banyak negara-bangsa (nation-state) atas dasar identitas kebangsaan masing-masing. Ini tentu semakin melemahkan umat Islam di satu sisi, dan di sisi lain semakin memudahkan kafir penjajah dari Barat untuk menjajah dan menghisap sumber daya alam milik umat Islam yang sangat melimpah.

Keempat, dengan runtuhnya Khilafah, akhirnya yang menjadi para penguasa umat Islam adalah pemimpin-pemimpin pengkhianat yang menjadi agen-agen dari negara-negara kafir penjajah, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan sebagainya.

Kelima, dengan runtuhnya Khilafah, entitas Yahudi Zionis akhirnya dapat ditanamkan secara paksa oleh kafir penjajah di tubuh umat Islam pada tahun 1948, yang akhirnya menjadi duri dalam daging di dalam tubuh umat Islam dan menjadi batu penghalang besar bagi bangkitnya dan bersatunya umat Islam.

(Lihat : Ustadz Sa’īd Ridhwān, Mādzā Khasira Al-Muslimūn bi-Ghiyāb Al-Khilāfah? ماذا خسر المسلمون بغياب الخلافة https://www.khilafah.net/archives/9856).

Itulah sebagian dari berbagai dampak buruk runtuhnya Khilafah pada tahun 1924 yang lalu, yang masih berkelanjutan sampai sekarang. Bisa kita bayangkan betapa besarnya dosa dan penderitaan umat Islam akibat hancurnya Khilafah itu sejak tahun 1924 hingga detik ini. Dan oleh sebab itu pula, kita dapat memahami sabda Nabi SAW yang dengan keras mencela muslim yang hidup tanpa mempunyai seorang Imam (Khalifah), dengan celaan “mati jahiliyyah”, dikarenakan betapa besarnya dosa yang terakumulasi di pundak umat Islam akibat tiadanya Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah. Rasulullah SAW telah bersabda :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851)

“Dan barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang Khalifah/Imam), maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.” (HR. Muslim, no. 1851).

Yang dimaksud dengan “seperti mati jahiliyyah” dalam hadits di atas bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan berdosa atau bermaksiat, yang terjadi karena seorang muslim tidak mempunyai seorang Imam (Khalifah). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani telah menjelaskan makna hadits itu sebagai berikut :

وَالْمُرَادُ بِالْمِيْتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ حَالَةُ الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مُطَاعٌ … وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُ يَمُوتُ كَافِرًا، بَلْ يَمُوتُ عَاصِيًا.  (فتح الباري 13/5)

“Yang dimaksud dengan ‘seperti mati jahiliyyah’ (al-mītah al-jāhiliyyah), huruf mim-nya dibaca kasrah, adalah kondisi kematian yang seperti matinya kaum jahiliyyah, yaitu mati dalam kesesatan dan tidak mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang ditaati…Jadi yang dimaksudkan bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat (berdosa).” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bārī, Juz 13, hlm. 5).

Walhasil, tragedi ketiga dan keempat tersebut, yaitu jatuhnya Andalusia (1492)  dan runtuhnya Khilafah (1924), sungguh tidak mendapat respon dan penyikapan yang semestinya dari umat Islam, bahkan berbagai efek buruk dan dosanya masih berkelanjutan sampai sekarang, khususnya tragedi runtuhnya Khilafah tahun 1924.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa respon dan penyikapan umat Islam untuk dua tragedi itu, tidak sampai pada level yang diharuskan dalam Islam? Penyebabnya adalah karena umat Islam telah mengalami kelemahan (al-dha’fu) dalam segala seginya, baik kelemahan di bidang aqidah, pemahaman terhadap Islam, keterikatan dengan syariat, dan sebagainya. Syekh Fathī Zaghrūt menjelaskan mengapa umat Islam gagal merespon tragedi kedua dan ketiga secara layak, jawabnya adalah karena terjadi kelemahan (al-dha’fu) dalam diri kita umat Islam. Syekh Fathī Zaghrūt berkata :

لَقَدْ اسْتَبَدَّ بِنَا الضَّعْفُ بِكُلِّ أَشْكَالِهِ وَأَنْوَاعِهِ حَتَّى أَصْبَحْنَا الْيَوْمَ غَيْرَ قَادِرِينَ عَلَى حِمَايَةِ تَارِيخِنَا، وَهَذِهِ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَى مَوَاتِ الْأُمَّةِ وَسُقُوطِهَا الْحَضَارِيِّ

“Sungguh kelemahan (al-dha’fu) telah menguasai kita dalam segala bentuk dan jenisnya, sampai-sampai saat ini kita tidak mampu menjaga sejarah kita, dan ini pertanda kematian umat dan kehancuran peradabannya.” (Fathī Zaghrūt, Al-Nawāzil Al-Kubrā fī Al-Tārīkh Al-Islāmī, hlm. 17).

Kelemahan pada diri umat Islam inilah, yang dalam satu hadits, disebut dengan istilah “Al-Wahn” oleh Rasulullah SAW, yang akhirnya membuat umat Islam mengalami kelemahan yang sangat parah, yang diumpamakan oleh Rasulullah SAW bagaikan hidangan yang menjadi santapan lezat oleh umat-umat non-muslim (kaum kafir). Perhatikanlah hadits berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ ‏ ‏تَدَاعَى ‏عَلَيْكُمْ كَمَا‏ ‏تَدَاعَى ‏الْأَكَلَةُ إِلَى ‏‏ قَصْعَتِهَا .‏ ‏فَقَالَ قَائِلٌ : وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ ، وَلَكِنَّكُمْ ‏غُثَاءٌ ‏كَغُثَاءِ ‏السَّيْلِ ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِعَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ . فَقَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Dari Tsauban RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Akan segera tiba umat-umat (selain Islam) akan mengerumuni kamu (umat Islam), layaknya orang-orang yang mengerumuni makanan yang berada di dalam wadahnya.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah karena kami waktu itu berjumlah sedikit?” Rasulullah SAW menjawab,”Bahkan jumlah kamu pada waktu itu banyak, namun kamu seperti buih di air yang mengalir. Sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh kamu rasa takut mereka kepada kamu, dan akan menanamkan ke dalam hati kamu Al-Wahn.” Seseorang lalu berkata,”Wahai Rasulullah, apa itu Al-Wahn?” Rasulullah SAW menjawab,”Cinta dunia dan benci kematian.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, nomor 3745).

Walhasil, runtuhnya Khilafah tahun 1924 sungguh merupakan tragedi yang teramat besar bagi umat Islam. Akumulasi dosa dan penderitaan akibat peristiwa dahsyat itu, sungguh terus berkelanjutan sampai detik ini tanpa dapat dihentikan.

Maka dari itu, runtuhnya Khilafah tahun 1924 ini tidak boleh kita lupakan. Tragedi ini harus terus kita ingat dalam memori bersama kita, guna mengambil pelajaran berharga darinya, agar kita mampu mengembalikan Khilafah itu sekali lagi di muka bumi, dengan izin dan pertolongan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Āmīn.

 

Isyarat-Isyarat Nabawiyyah Runtuhnya Khilafah

Runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924 tersebut, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, sesungguhnya merupakan tragedi yang sangat besar bagi umat Islam. Apakah tragedi yang sedemikian besar ini, pernah dikabarkan kepada kita oleh Rasulullah SAW? Pernahkah Rasulullah SAW memberi peringatan atau isyarat kepada umat Islam bahwa suatu saat nanti Khilafah akan runtuh? Jawabannya, ya, pernah.

 

Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW pernah memberikan peringatan kepada umat Islam bahwa umat Islam itu akan melepaskan diri dari ajaran Islam secara bertahap, satu ajaran demi satu ajaran, dan ajaran Islam yang pertama kali dilepaskan oleh umat Islam, ternyata adalah Khilafah, yakni ajaran Islam tentang kekuasaan (al-hukm). Perhatikan hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً ، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا ، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهنَّ الصَّلاَةُ. رواه أحمد (22160) والحاكم (258) وابن حبان (257).

Dari Abu Umamah Al-Bahili RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Sungguh akan terurai simpul-simpul (ajaran) Islam, satu simpul demi satu simpul. Setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan berpegang dengan simpul berikutnya. Maka yang paling awal terurai dari simpul (ajaran) Islam, adalah kekuasaan (al-hukm), sedang yang paling akhir terurai, adalah sholat.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, no. 22.160, Al-Hakim, Al-Mustadrak, no. 258; dan Ibnu Hibbān, Sunan Ibnu Hibbān, no. 257. Hadits ini dishahihkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani, lihat Shahīh Al-Jāmi’ Al-Shaghīr, Juz II, hlm. 905, nomor 5075).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW pernah memberi peringatan kepada umat Islam, bahwa Al-Qur`an dan kekuasaan itu suatu saat akan berpisah. Dan peringatan yang bersifat nubu`ah (berita wahyu untuk masa depan) ini betul-betul terwujud, ketika Khilafah di Turki runtuh tahun 1924, lalu digantikan dengan sistem republik yang bersifat sekuler, yaitu kekuasaan yang memisahkan agama dari kekuasaan. Perhatikan hadits berikut ini :

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَل رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :  أَلَا إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ ، فَلَا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ. رواه الطبراني في المعجم الكبير (20/90) ، و المعجم الصغير (2/ 42) ، و  مسند الشاميين  (1/ 379)

Dari Mu’adz bin Jabal RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Perhatikanlah! Sesungguhnya Al-Qur`an dan kekuasaan itu akan berpisah. Maka (jika itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al-Qur`an.” (HR. Al-Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabīr, (20/90), Al-Mu’jam Al-Shaghīr (2/42), dan Musnad Al-Syāmiyyīn (1/379). Hadits ini sanadnya dha’īf [lemah] tetapi maknanya shahih).

Dalam hadits yang lain lagi, terdapat isyarat yang jelas dari Rasulullah SAW bahwa suatu saat Khilafah akan lenyap dari muka bumi. Selengkapnya haditsnya adalah sebagai berikut :

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ، فَقُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهلْ بَعْدَ هذا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقُلتُ: هلْ بَعْدَ ذلكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ، قُلتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِيْ، وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، فَقُلتُ: هلْ بَعْدَ ذَلِكَ الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَن أَجَابَهُمْ إلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيْهَا، فَقُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا، قالَ: نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَمَا تَرَى إنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِيْنَ وإمَامَهُمْ، فَقُلتُ: فإنْ لَمْ تَكُنْ لهمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلكَ الفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ علَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حتَّى يُدْرِكَكَ المَوْتُ وَأَنْتَ علَىَ ذَلِكَ.رواه البخاري (7084)، ومسلم (1847)، وأبو داود (4244)، وأحمد (23429)

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman RA, dia berkata,”Dulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, akan tetapi aku bertanya kepadanya tentang keburukan, karena takut keburukan itu akan menjumpaiku. Aku bertanya,’Wahai Rasulullah! Dulu kami berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (kenabian) kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?’ Rasulullah SAW bersabda,’Ya’. Aku bertanya, ‘Apakah setelah keburukan ini akan ada kebaikan?’ Rasulullah SAW bersabda,’Ya, dan dalam kebaikan ini ada asapnya.’ Aku bertanya,‘Apa itu asapnya?’ Rasulullah SAW bersabda “Suatu kaum yang menjalankan sunnah akan tetapi bukan dengan sunnahku, dan akan berpetunjuk akan tetapi bukan dengan petunjukku. Kamu akan mengenali mereka dan kamu akan mengingkari mereka.’ Aku bertanya,’Apakah setelah kebaikan (yang ada asapnya itu) akan ada keburukan?’ Rasulullah SAW bersabda,’Ya, akan ada para penyeru (dā’i- dā’i) di pintu-pintu neraka Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, mereka akan menjerumuskan orang itu ke neraka Jahannam.’ Aku berkata,’Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami!’ Rasulullah SAW bersabda,’Baik. Mereka itu adalah suatu kaum yang kulitnya adalah seperti kulit kita (orang Arab), dan mereka berbicara dengan lisan-lisan kita (menggunakan Bahasa Arab).’ Aku berkata,’Wahai Rasulullah, apa yang Engkau perintahkan kepada aku jika hal itu terjadi pada diriku.’ Rasulullah SAW bersabda,’Berpeganglah kamu dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka.’ Aku berkata,’Bagaimana jika mereka tidak lagi mempunyai satu jamaah dan seorang imam?’ Rasulullah SAW bersabda,’Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun kamu harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjumpaimu, sedangkan kamu tetap teguh dalam kondisi itu.” (HR. Bukhari no. 7084; Muslim, no. 1847, Abu Dawud, no. 4244, dan Ahmad, no. 23.429).

 

Hadits di atas menjadi dalil bahwa terdapat taqrīr (persetujuan) dari Rasulullah SAW ketika beliau ditanya oleh Hudazifah bin Al-Yaman RA,”Bagaimanakah jika suatu saat tidak ada lagi jamaah kaum muslimin dan imam mereka?” Ternyata Rasulullah SAW tidak mengingkari pertanyaan itu andaikata pertanyaan Hudaifah bin Al-Yaman itu salah atau tidak mungkin terjadi. Rasulullah SAW hanya menjelaskan bagaimana menyikapi jika kondisi itu sudah terjadi, yaitu kondisi tidak adanya lagi jamaah kaum muslimin dan tidak adanya lagi imam atau khalifah bagi mereka, dengan berkata,” ’Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya…” (فَاعْتَزِلْ تِلكَ الفِرَقَ كُلَّهَا).

Ini berarti terdapat dalil hadits berupa taqrīr (persetujuan) dari Rasulullah SAW, bahwa suatu saat Khilafah akan lenyap dari muka bumi, sehingga kaum muslimin tidak lagi mempunyai suatu jamaah, yaitu jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah), dan tidak lagi mempunyai seorang Imam (Khalifah), yaitu pemimpin umat Islam di seluruh dunia yang menjadi pemimpin mereka dalam negara Khilafah. Kondisi buruk inilah yang kemudian betul-betul menjadi kenyataan yang sangat pahit dan menyakitkan bagi umat Islam, pada saat runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah di Turki tanggal 3 Maret tahun 1924.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa sebenarnya Rasulullah SAW telah memberikan isyarat-isyarat kepada umat Islam, bahwa suatu saat umat Islam akan kehilangan Khilafah dan khalifahnya sekaligus, suatu tragedi yang sangat dahsyat nan memilukan bagi umat Islam.

Kronologi detik-detik peristiwa yang teramat dahsyat itu begini : Pada malam Senin tanggal 2 Maret 1924, Khalifah Abdul Majid II sedang membaca Al-Qur’an di perpustakaan Istana Dolmabahçe, Istanbul, Turki. Seorang tentara muda anak buah Mustafa Kamal datang dengan surat yang memerintahkan Khalifah untuk pergi dari Turki. Awalnya Khalifah terakhir menolak, tetapi setelah orang militer itu mengancam, Khalifah terpaksa menerima keputusan tersebut. Keesokan harinya, hari Senin tanggal 3 Maret 1924, bertepatan dengan tanggal 27 Rajab tahun 1342 Hijriah, Khalifah Abdul Majid II dan keluarganya akhirnya diasingkan ke Swiss.

Subhānallāh. Berakhirlah sudah masa kekhilafahan yang sangat panjang sekitar 1300 tahun dalam sejarah umat Islam, sejak dibaiatnya Abu Bakar Shiddiq tahun 632 M menjadi Khalifah di Madinah sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah di Turki tahun 1924 M, akibat rekayasa jahat oleh kafir penjajah Inggris dan antek-anteknya Mustafa Kamal yang terkutuk.

 

Respon Yang Seharusnya Saat Khilafah Utsmaniyyah Runtuh

Umat Islam seharusnya mengangkat pedang dan berperang melawan Mustafa Kamal ketika dia menghancurkan Khilafah di Turki tanggal 3 Maret tahun 1924. Inilah sikap yang seharusnya diambil umat Islam di seluruh dunia, berdasarkan hadits-hadits shahih yang mengecualikan larangan memerangi penguasa dengan pedang dalam Darul Islam (Khilafah).

Jadi pada dasarnya ketika umat Islam hidup di Darul Islam (Khilafah), wajib hukumnya mentaati pemimpin, dan tidak boleh mengangkat pedang berperang untuk melawan pemimpin. Namun hukum asal ini (larangan memerangi penguasa) kemudian dikecualikan dalam satu keadaan, yaitu ketika pemimpin dalam Darul Islam (Khilafah), menampakkan kekufuran yang nyata (kufran bawāhan), yaitu kekufuran yang didasarkan pada dalil qath’i (dalil yang tegas) bahwa sesuatu itu memang kufur. Yang dimaksud dengan dalil qath’i, adalah dalil yang qath’i tsubūt dan qath’i dalālah. Qath’i tsubūt, artinya dalil itu (Al-Qur`an atau Al-Hadits), dipastikan berasal dari Rasulullah SAW, yaitu berupa Al-Qur`an dan Hadits Mutawatir (bukan hadits Āhād). Sedangkan qath’i dalālah, artinya adalah dalil itu (Al-Qur`an atau Al-Hadits), hanya mempunyai makna tunggal yang tegas, bukan dalil yang multi-tafsir, yakni yang mempunyai makna lebih dari satu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 260-261).

Contoh-contoh kekufuran yang nyata (kufran bawāhan) adalah sbb : misalkan penguasa dalam Darul Islam mengizinkan khamr, perzinaan, atau riba. Kebijakan penguasa di Darul Islam ini jelas kekufuran yang nyata, karena bertentangan dengan dalil yang qath’i tsubūt dan qath’i dalālah, yang mengharamkan khamr (QS. Al-Mā`idah :90), perzinaan (QS. Al-Isrā` : 32), atau riba (QS. Al-Baqarah : 275) secara tegas, tanpa ada perbedaan pendapat (khilāfiyah) di kalangan ulama. Termasuk kekufuran nyata adalah ketika penguasa dalam Darul Islam meninggalkan berhukum dengan Syariah Islam dan menerapkan hukum-hukum selain Islam. Ini karena Islam dengan tegas (dengan dalil qath’i tsubūt dan qath’i dalālah) telah mewajibkan berhukum dengan Syariah Islam dan sebaliknya telah mengharamkan menerapkan hukum-hukum selain hukum Islam. (lihat QS Al-Mā`idah : 44, 45, dan 47).

Nah, ketika nampak kekufuran yang nyata (kufran bawāhan) dari penguasa dalam Darul Islam (Khilafah), maka boleh dan bahkan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk memerangi penguasa dengan pedang. Dalilnya adalah hadits-hadits shahih berikut ini :

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبايَعْناهُ، فقالَ فِيما أخَذَ عَلَيْنا: أنْ بايَعَنا علَى السَّمْعِ والطَّاعَةِ، في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا، وعُسْرِنا ويُسْرِنا، وأَثَرَةً عَلَيْنا، وأَنْ لا نُنازِعَ الأمْرَ أهْلَهُ، إلَّا أنْ تَرَوْا كُفْرًا بَواحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فيه بُرْهانٌ.  رواه النسائي (4151) واللفظ له، و رواه البخاري (7199، 7200)، ومسلم  (1709)

 Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah menyeru kami, maka kami kemudian membaiat beliau. Beliau berkata mengenai isi bai’at yang menjadi kewajiban kami, yaitu bahwa kami membaiat beliau untuk mendengar dan mentaati (beliau) dalam hal yang kami senangi maupun yang kami benci; dalam keadaan kami yang sulit maupun yang mudah; dan dalam kondisi ketika kami tidak diutamakan; dan juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, lalu Rasulullah SAW bersabda,’Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian mempunyai bukti dari Allah mengenai kekufuran itu.” (HR. Bukhari, no. 7199, Muslim, no.1709; Al-Nasa`i, no. 4151, hadits ini menggunakan redaksi Imam Al-Nasa`i).

 

Dalam hadits yang lain, disebutkan bahwa :

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خِيارُ أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ ويُحِبُّونَكُمْ، وتُصَلُّونَ عليهم ويُصَلُّونَ علَيْكُم، وشِرارُ أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ ويُبْغِضُونَكُمْ، وتَلْعَنُونَهُمْ ويَلْعَنُونَكُمْ، قالوا: قُلْنا: يا رَسولَ اللهِ، أفَلا نُنابِذُهُمْ عِنْدَ ذلكَ؟ قالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاةَ. رواه مسلم (1855)

Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda,”Sebaik-baik imam (khalifah) kalian adalah mereka yang mencintai kalian dan kalian pun mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk imam (khalifah) adalah mereka yang membenci kalian dan kalian pun membenci mereka, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita tidak memerangi mereka?” Rasulullah bersabda,”Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian (yakni masih menegakkan hukum-hukum Islam).” (HR. Muslim, no. 1855).

Yang dimaksud dengan kalimat “selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian” (مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاةَ) dalam hadits di atas adalah selama mereka masih menegakkan hukum-hukum Islam, bukan menegakkan sholat saja seraya meninggalkan hukum-hukum Islam lainnya selain sholat. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

الْمُرَادُ بِإِقَامَةِ الصَّلَاةِ الْحُكْمُ بِالْإِسْلَامِ أَيْ تَطْبِيقُ أَحْكَامِ الشَّرْعِ، مِنْ بَابِ تَسْمِيَةِ الْكُلِّ بِاسْمِ الْجُزْءِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ، وَالْمُرَادُ تَحْرِيرُ الْعَبْدِ كُلِّهِ، لَا تَحْرِيرُ رَقَبَتِهِ

“Yang dimaksud dengan “mendirikan shalat” adalah berhukum dengan Islam, yaitu menerapkan hukum-hukum syariat Islam, ini (dipahami secara majas) yakni bermaksud menyebut keseluruhan tetapi menyebutkan sebagiannya saja (pars pro toto), sebagaimana firman Allah SWT : “Hendaklah dia memerdekakan (leher) (raqabah) budak.” (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) tetapi yang dimaksud adalah membebaskan seluruh tubuh budak, bukan memerdekakan lehernya saja.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 258).

 

Hadits-hadits di atas telah menunjukkan adanya kewajiban syariah untuk berperang melawan penguasa di dalam Darul Islam yang menampakkan kekufuran yang terang-terangan (kufran bawāhan). (Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 258, Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilāfah, hlm. 206).

Jadi, pada saat Mustafa Kamal menghapuskan Khilafah pada tanggal 3 Maret tahun 1924 dan menggantinya dengan sistem republik yang kufur, yang membolehkan penerapan hukum-hukum kufur (hukum selain Islam), sesungguhnya sudah wajib hukumnya atas umat Islam untuk mengangkat pedang dan berperang melawan Mustafa Kamal. Namun sungguh sangat disayangkan, ternyata saat itu tidak ada seorang pun juga yang mengangkat pedang melawan Mustafa Kamal. Astaghfirullāhal ‘azhiem. (Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilāfah, hlm. 206).

Kewajiban mengangkat pedang dan berperang melawan Mustafa Kamal tersebut, saat ini sudah kadaluwarsa dan tidak dapat diberlakukan lagi, sejak kematian Mustafa Kamal –la’natullāhi ‘alaihi— pada tanggal 10 November 1938, ketika kondisi Turki sudah berubah total dari semula Darul Islam (Khilafah) menjadi Darul Kufur (Darul Harbi).

 

Berita Gembira Kembalinya Khilafah

Memang sangatlah menyedihkan jika kita berbicara mengenai tragedi besar runtuhnya Khilafah pada tahun 1924 yang lalu. Namun sungguh Allah SWT memang Maha Adil dan Maha Welas Asih kepada kita umat Islam. Allah SWT tidak ingin membiarkan kita terus-menerus larut dalam kesedihan dan perasaan berdosa yang berkepanjangan. Alhamdulillāh, ternyata Allah SWT juga memberikan kabar gembira kepada kita, sebagai suatu penghiburan, harapan, dan optimisme kepada kita, bahwa Khilafah yang runtuh pada tahun 1924 itu in syā’a Allah akan dapat tegak kembali di muka bumi.

Namun tegaknya kembali Khilafah ini tentu memerlukan syarat-syaratnya, menuntut ikhtiyar (usaha/perjuangan) dari kita, serta juga mengharuskan kita untuk siap berkorban di jalan perjuangan yang suci dan mulia ini demi kembalinya Khilafah.

Perjuangan yang kita lakukan, tentu harus sesuai kaidah kausalitas (sebab-akibat) dan sesuai dengan metode (tharīqah) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kegiatan dakwah beliau, baik di periode dakwah beliau di Makkah, maupun di periode dakwah beliau di Madinah. (Lihat : Manhaj Hizb Al-Tahrīr fi Al-Taghyīr).

Adapun kabar gembira kembalinya Khilafah itu, jumlahnya banyak dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah SWT :

 وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Nūr : 55).

 

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisīr Al-Karīm Al-Rahmān fī Tafsīr Kalām Al-Mannān menjelaskan makna ayat di atas dengan mengatakan :

هَذَا مِنْ وُعُودِهِ الصَّادِقَةِ فَإِنَّهُ وَعَدَ مَنْ قَامَ بِالْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَنْ يَسْتَخْلِفَهُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَكُونُونَ هُمْ الْخُلَفَاءَ فِيهَا ، الْمُتَصَرِّفُونَ فِي تَدْبِيرِهَا، وَأَنْ يُمَكِّنَ لَهُمْ دِينُهُمْ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ، الَّذِي فَاقَ كُلَّ الْأَدْيَانِ، ، ارْتِضَاهُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ لِشَرَفِهَا، وَفَضْلِهَا وَنِعْمَتِهِ عَلَيْهَا بِأَنْ يَتَمَكَّنُوا مِنْ إِقَامَةِ شَرَائِعِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ فِي أَنْفُسِهِمْ وَفِي غَيْرِهِمْ

“Ini adalah salah satu janji dari janji-janji-Nya yang benar, karena Dia telah berjanji kepada siapa pun di antara umat Islam ini yang beriman dan melakukan amal shaleh, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa muka bumi, maka mereka akan menjadi khalifah-khalifah di muka bumi, yang melakukan pengelolaan terhadap segala pengaturan urusan di muka bumi itu. Dan Dia (Allah) (juga berjanji) akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya bagi mereka, yaitu agama Islam yang melampaui segala agama. Dia ridha terhadap umat Islam ini karena kehormatannya, serta karena karunia dan nikmat yang diberikan-Nya kepada umat Islam ini, sehingga mereka dapat melaksanakan hukum-hukum-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi diri mereka sendiri dan juga bagi diri orang-orang lain.” (Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisīr Al-Karīm Al-Rahmān fī Tafsīr Kalām Al-Mannān, hlm. 670).

Selain Al-Qur`an, kabar gembira kembalinya Khilafah juga terdapat dalam banyak Al-Hadits. Di antaranya adalah hadits Nabi SAW berikut ini, bahwa kekuasaan umat Islam, suatu saat akan meliputi bagian-bagian timur dan barat dari bumi. Ini sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat Islam. Dan ini tentunya tidak mungkin terjadi, kecuali dengan adanya kekuasaan umat Islam (yaitu Khilafah) yang hadir kembali di muka bumi. Perhatikan hadits berikut ini :

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا. رواه مسلم.

Dari Tsauba, RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan bumi untukku lalu aku dapat melihat timur-timur dan barat-baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dihimpunkan oleh Allah untukku.” (HR. Muslim, no. 4144).

 

Dalam hadits yang lain, Nabi SAW mengabarkan bahwa kota Roma (ibukota Italia), sebagai pusat agama Kristen (Katolik), kediaman Paus sebagai pemimpin tertinggi kaum Katolik sedunia, akan dapat ditaklukkan oleh pasukan jihād kaum muslimin. Dan tentu ini tidak mungkin terjadi, kecuali jika Khilafah telah tegak kembali di muka bumi dan kemudian melancarkan jihād fī sabilīllāh, hingga akhirnya dapat menaklukan kota Roma di Italia. Haditsnya sebagai berikut :

عَنْ حُيَيِّ بْنِ هَانِئٍ الْمَعَافِرِيِّ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العاص رضي الله عنهما فَسُئِلَ: أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً؟، الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، أَوْ رُومِيَّةُ؟، فَدَعَا عَبْدُ اللهِ بِصُنْدُوقٍ لَهُ حَلَقٌ فَأَخْرَجَ مِنْهُ كِتَاباً، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: بَيْنَمَا نَحْنُ حَوْلَ رَسُولِ اللهِ ﷺ نَكْتُبُ إِذْ سُئِلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً؟ قُسْطَنْطِينِيَّةُ، أَوْ رُومِيَّةُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ »لَا، بَلْ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً« رواه أحمد و الدارمي والحاكم.

Dari Huyyai bin Hani` Al-Ma’afiri, dia berkata,”Kami dahulu pernah berada di sisi ‘Abdullah bin ‘Amar Ibnu Al-‘Āsh, lalu dia ditanya manakah dari dua kota yang akan ditaklukkan lebih dahulu, Konstantinopel ataukah Roma? Kemudian dia (‘Abdullah bin ‘Amar Ibnu Al-‘Āsh) meminta kotak yang ada cincinnya, lalu dia  mengeluarkan sebuah kitab, dan kemudian berkata,’Suatu ketika kami sedang menulis di sekitar Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW ditanya,“Manakah dari dua kota yang akan ditaklukkan lebih dahulu, apakah Konstantinopel atau Roma?” Rasulullah SAW menjawab,“Bahkan kota Heraklius yang akan ditaklukkan lebih dahulu.” (HR. Ahmad, 2/176; Al-Dārimi, 1/126; Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 47 / 153 / 2; Ibnu ‘Amar Al-Dānī, Al-Sunan Al-Wāridah fī Al-Fitan, 2/116; Al-Hākim, 3/422 dan 4/508; ‘Abdul Ghanī Al-Maqdisi, Kitāb Al-‘Ilmi, 2 / 30 / 1, dia berkata,”Ini adalah hadits yang hasan isnadnya.” (Syekh Nāshiruddin Al-Albānī, Silsilah Al-Ahādīts Al-Shahīhah, 4/3094).

 

Kemudian, dalam hadits yang lain yang statusnya berkisar antara shahīh atau hasan, bukan berstatus dha’īf (lemah), Nabi SAW mengabarkan kembalinya Khilāfah ‘Alā Minhājin Nubuwwah, sebuah kekhilafahan yang persis seperti masa Khulafā`ur Rāsyidīn terdahulu. Kabar gembira ini diriwayatkan oleh sahabat Nabi SAW Hudzaifah bin Al-Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنَ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (khilāfah ‘alā minhājin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (mulkan ‘ādhdhan), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (mulkan jabriyyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (khilāfah ‘alā minhājin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Al-Ahādīts Al-Shahīhah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al-Arna’ūth, Juz 4 nomor 18.430; dan dinilai shahih oleh Al-Hafizh Al-‘Irāqī dalam Mahajjah Al-Qurab fī Mahabbah Al-‘Arab, 2/17).

 

Penutup

Sungguh runtuhnya Khilafah tahun 1924, merupakan salah satu tragedi besar yang paling memilukan bagi umat Islam. Tragedi ini tidak boleh dilupakan, karena dampak-dampak buruknya dan dosa-dosanya masih mengalir berkelanjutan hingga detik ini bagi umat Islam.

Sikap umat Islam tentunya tidaklah mendiamkan runtuhnya Khilafah ini, apalagi turut merayakannya, sebagaimana sikap kaum kafir dan munafik. Umat Islam wajib berjuang menegakkan kembali Khilafah itu, sebagai sebuah kewajiban syariah yang agung dari Allah SWT, yang menjadi tumpuan bagi penerapan syariah Islam secara keseluruhan (kāffah) (lihat QS. Al-Baqarah : 208). Perjuangan mengembalikan Khilafah ini wajib menjadikan metode dakwah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang baik (uswatun ahsanah). (lihat QS. Al-Ahzab : 21).

Tentu, perjuangan mengembalikan Khilafah ini tidaklah mudah. Namun dengan disertai sikap sabar dalam berjuang, serta sikap siap berkorban, in syā’a Allah Khilafah akan dapat kembali hadir dimuka bumi. Apalagi, ada kabar gembira dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang dapat mengokohkan mental kita yang terkadang down (jatuh) menghadapi berbagai tantangan dakwah yang brutal dan kejam dari kafir penjajah atau penguasa agen kafir penjajah, bahwa Khilāfah ‘Alā Minhāj Al-Nubuwwah akan kembali hadir di muka bumi, walaupun orang-orang kafir membencinya. Firman Allah SWT :

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

 “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff : 8).

 

Wallāhu a’lam.

 

Surakarta, 22 Maret 2025 (22 Ramadhan 1446 H).

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi