Home Afkar KHILAFAH PRODUK POLITIK BUATAN MANUSIA, BENARKAH? (long version)

KHILAFAH PRODUK POLITIK BUATAN MANUSIA, BENARKAH? (long version)

15

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Umat Islam di Indonesia dikejutkan dengan munculnya ribuan massa umat Islam dalam Aksi Bela Palestina di Jakarta, hari Ahad 26 Januari 2025 yang lalu. Setelah itu, puluhan ribu umat Islam lainnya serentak melakukan aksi serupa di 22 kota di Indonesia pada hari Ahad 2 Februari 2025 yang lalu.

Seruan yang digaungkan dalam aksi-aksi tersebut, yakni “Hanya dengan jihad dan Khilafah kita bebaskan Palestina” telah memicu munculnya beragam reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Di antaranya, ada yang mengatakan bahwa Khilafah itu produk politik buatan manusia, seperti halnya demokrasi. Dengan kata lain, menurut dia Khilafah itu bukan ajaran Islam. Jadi tidak perlu diperjuangkan atau ditegakkan. Bagaimana kita merespon pernyataan tersebut? Inilah pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini.

 

Tiga Syarat Ajaran Islam

Pernyataan bahwa Khilafah produk politik buatan manusia, dalam arti bukan ajaran Islam, adalah kebohongan yang tidak sesuai dengan fakta. Hal ini karena Khilafah benar-benar terbukti sebagai ajaran Islam, karena memenuhi 3 (tiga) syarat wajib agar suatu konsep layak disebut ajaran Islam, khususnya Syariah Islam, yaitu;

 

Pertama, ada nash (teks) syariah yang menyebutkannya, baik nash Al-Qur`an maupun nash As-Sunnah. Syarat ini menjadi wajib karena Islam itu adalah wahyu dari Allah SWT. Maka dari itu, bukti bahwa sesuatu ajaran itu bagian dari ajaran Islam, harus dapat dibuktikan dengan bukti wahyu, baik melalui nash Al-Qur`an maupun nash As-Sunnah. Firman Allah SWT :

اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu ikuti pelindung selain Dia. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf : 3).

Berdasarkan ayat tersebut, sholat misalnya, terbukti merupakan ajaran Islam, karena ada nash Al-Qur`an yang memerintahkan umat Islam untuk menegakkan sholat, antara lain surat Al-Baqarah ayat ke-43 :

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

”Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah : 43).

 

Kedua, ada status hukum-nya, yaitu terkategori ke dalam salah satu hukum dari hukum-hukum yang lima (al-ahkām al-khamsah), atau ada hukum taklīfi-nya, apakah wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Hal ini karena nash-nash syariah baik Al-Qur`an maupun As-Sunnah, telah datang tidak sekedar dengan menyebut nama ajaran Islam, misalnya sholat, shaum (puasa), haji, dan sebagainya, tetapi juga disertai dengan perintah-perintah syariah (al-awamir al-syar’iyyah) dan larangan-larangan syariah (al-nawahi al-syar’iyyah) yang terdapat pada suatu perbuatan yang diperintah atau yang dilarang. Berbagai perintah-perintah syariah (al-awamir al-syar’iyyah) dan larangan-larangan syariah (al-nawahi al-syar’iyyah) inilah yang dalam ilmu Ushul Fiqih, disebut dengan istilah Khithāb Al-Syāri’ (firman atau seruan dari Allah sebagai Pembuat Hukum). (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, hlm. 30).

Jika perintah syariah itu disertai qarinah jazim, yakni petunjuk yang menunjukkan ketegasan perintah, maka hukum taklifi-nya adalah wajib atau fardhu. Jika qarinahnya ghairu jazim, yakni tidak disertai petunjuk yang menunjukkan ketegasan perintah, maka hukum taklifi-nya adalah mandub (sunnah). Jika larangan syariah itu disertai qarinah jazim, yakni petunjuk yang menunjukkan ketegasan larangan, maka hukum taklifi-nya adalah haram. Jika qarinahnya ghairu jazim, yakni tidak disertai petunjuk yang menunjukkan ketegasan larangan, maka hukum taklifi-nya adalah makruh. Jika nash syariah yang ada menunjukkan kebolehan memilih (takhyir), yakni boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan, maka hukum taklifi-nya adalah mubah.  (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, Bab Al-Ahkam Al-Khamsah, hlm. 31).

Sebagai contoh, terdapat perintah syariah untuk sholat, dalam firman Allah SWT :

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

”Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah : 43).

Perintah syariah untuk sholat ini ternyata disertai qarinah jazim, yakni petunjuk yang menunjukkan ketegasan perintah, maka hukum taklifi untuk sholat adalah wajib atau fardhu. Petunjuk itu antara lain firman Allah SWT yang menegaskan bahwa orang yang tidak sholat di dunia, akan dimasukkan ke dalam neraka kelak di Hari Kiamat, sesuai firman Allah SWT :

مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ ۝٤٢ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ ۝٤٣

 “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar? Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat.” (QS. Al-Muddatstsir : 42-43).

Dengan demikian, selain adanya nash, syarat wajib untuk suatu ajaran Islam (Syariah) adalah ada hukum taklifi-nya, apakah wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Misalnya, dalam kitab-kitab fiqih, para ulama telah menjelaskan wajibnya sholat, misalnya kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah yang menjelaskan bahwa :

لِلصَّلَاةِ مَكَانَةٌ عَظِيمَةٌ فِي الْإِسْلَامِ. فَهِيَ آكَدُ الْفُرُوضِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَأَفْضَلُهَا، وَأَحَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الْخَمْسَةِ

”Sholat mempunyai poisisi yang agung dalam Islam. Sholat merupakan kefardhuan yang paling kuat dan paling afdhol setelah dua kalimat syahadat, dan merupakan salah satu rukun-rukun Islam yang lima.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27/51).

 

Ketiga, ada pengamalan-nya, yaitu terbukti dalam sejarah umat Islam bahwa suatu konsep pernah dipraktikkan oleh umat Islam, khususnya oleh Rasulullah SAW dan generasi shahabat Nabi SAW, khususnya generasi Khulafa`ur Rasyidin. Dalilnya sabda Rasulullah SAW :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

”Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku, dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (sesudah aku), dan gigitlah oleh kalian sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Maka dari itu, syarat ketiga ini sifatnya relatif untuk generasi pasca Khulafa`ur Rasyidin, karena boleh jadi ajaran Islam yang hakiki tidak diamalkan lagi oleh umat Islam, baik karena ditinggalkan sama sekali oleh umat Islam, maupun masih dipraktikkan tetapi menyimpang dari ketentuan syariah yang sebenarnya.

Jika kita terapkan tiga syarat ajaran Islam di atas untuk Khilafah, akan terbukti bahwa Khilafah itu benar-benar ajaran Islam, karena :

 

Pertama, terdapat banyak teks (nash) yang menyebutkan kosakata Khilafah, atau Khalifah, atau sinonimnya, yaitu Imamah atau Imam. Kata Khalifah misalnya terdapat dalam ayat QS. Al-Baqarah : 30, yang berbunyi :

إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً

innī jā’ilun fil ardhi khalīfah”, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Ayat ini menurut Imam Al-Qurthubi, merupakan dalil wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Imam Al-Qurthubi berkata :

هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتَجْتَمِعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذُ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيفَةِ

“Ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan Imam atau Khalifah, yang wajib untuk didengarkan dan ditaati (perintahnya), agar kalimat kaum muslimin menjadi satu, dan agar dapat ditegakkan hukum-hukum Islam yang diperintahkan oleh Khalifah.” (Imam Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li Ahkāmil Qur`ān,  1/264).

Nash-nash semacam ini banyak, yakni yang menyebutkan kosakata khalifah, imam, dan segala derivatnya. Misalnya yang dicantumkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahīh-nya, dalam Bab Kitābul Ahkām, juga oleh Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya, dalam Bab Kitābul Imārah. Dalam kitab-kitab hadits yang lain, seperti Musnad Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dan lain-lain, juga banyak nash hadits yang menyebut kosakata Khilafah. Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW :

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُونْ مَا شَاءَ اَللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونَ مُلكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيًّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَتَ

Kenabian (Al-Nubuwwah) akan ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendakinya, maka Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Khilāfah ‘Alā Minhāj Al-Nubuwwah (Khilafah dengan metode kenabian), maka akan terjadi apa yang dikehendaki Allah, kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Ādhan), dan akan terjadi apa yang dikehendaki Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator (Mulkan Jabriyyan), maka akan terjadi apa yang dikehendaki Allah, kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Lalu akan ada Khilāfah ‘Alā Minhāj Al-Nubuwwah (Khilafah dengan metode kenabian), lalu Rasullah SAW diam.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, no. 18.406; Al-Bazzar, Al-Musnad, no. 2796; Al-Baihaqi, Dalā`il Al-Nubuwwah, 6/491; hadits hasan). (Lihat : Syekh Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Al-Ahādīts Al-Shahīhah, 4/3094).

 

Contoh lain, sabda Nabi SAW :

يا ابنَ حَوَالَةَ ! إذا رأيتَ الخِلافةَ قد نَزَلَتِ الأرضَ المُقَدَّسَةَ ، فقد دَنَتِ الزلازلُ ، والبَلابلُ ، والأمورُ العِظامُ ، والساعةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ من الناسِ من يَدِي هذه مِن رأسِكَ

“Hai Ibnu Hawalah, jika Engkau sudah melihat Khilafah yang muncul di tanah yang disucikan (Syam), maka sungguh telah dekat gempa-gempa bumi, berbagai macam huru hara, dan perkara-perkara yang besar. Dan Hari Kiamat pada saat itu lebih dekat kepada manusia daripada tanganku ini yang ada di kepalamu.” (HR. Abu Dawud, no. 2535; Ahmad, no. 2287; Al-Baihaqi, dalam Dala`il Al-Nubuwwah, 6/238, dinilai sebagai hadits shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani, dalam kitabnya Shahih Abu Dawud, nomor hadits 2535).

 

Kedua, banyak penjelasan ulama mengenai status hukum menegakkan Khilafah (Imamah). Imam ‘Abdul Wahhāb Al-Sya`rānī (w. 973 H/1565 M), seorang ulama bermazhab Syafi’i, berkata :

اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ

”Para imam (yang empat) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu hukumnya.” (‘Abdul Wahhāb Al-Sya`rānī, Al-Mīzān Al-Kubrā, 1/173).

 

Syeikh Wahbah Al-Zuhaili mengatakan :

تَرَى اْلأَكْثَرِيَّةُ السَّاحِقَةُ مِنْ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ وَهُمْ أَهْلُ السُّنَةِ وَالْمُرْجِئَةُ وَالشِّيْعَةُ وَاْلمُعْتَزِلَةُ إِلاَّ نَفَراً مِنْهُمْ، وَاْلخَوَارِجُ مَا عَدَا النَّجْدَاتِ : ) أَنَّ اْلإِمَامَةَ أَمْرٌ وَاجِبٌ أَوْ فَرْضٌ مُحَتَّمٌ ).الفقه الإسلامي و أدلّته ج 8 ص 272

 ”Mayoritas besar dari ulama Islam –yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syi’ah, dan Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan Khawarij kecuali An-Najdat– berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz VIII, hlm. 272).

 

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa :

( أَجْمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلىَ وُجُوْبِ عَقْدِ اْلإِمَامَةِ وَعَلىَ أَنَّ اْلأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا اْلاِنْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ يُقِيْمُ فِيْهِمْ أَحْكَامَ اللهِ وَيَسُوْسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ أَتىَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَخْرُجْ عَنْ هَذَا اْلإِجْمَاعِ مَنْ يُعْتَدُّ بِخِلاَفِهِ ). الموسوعة الفقهية الكويتية ج 6 ص 217

 ”Telah sepakat umat Islam mengenai wajibnya akad Imamah (Khilafah) dan wajibnya umat mentaati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah yang dibawa Rasulullah SAW. Dan tak ada yang keluar dari Ijma’ ini orang yang teranggap pendapatnya ketika berbeda dengan Ijma’ tersebut.”  (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VI hlm. 217).

 

Ketiga, secara amal, terbukti bahwa Khilafah telah diamalkan dalam sejarah umat Islam kurang lebih selama 1300 tahun, sejak Khalifah Abu Bakar Shiddiq (632 M) sebagai Khalifah pertama, hingga Khalifah terakhir dalam Khilāfah Utsmāniyyah (Ottoman) di Turki, yaitu Sultan Abdul Majid II (1924 M).

 

Kesimpulan

Kesimpulannya, Khilafah adalah benar-benar ajaran Islam, karena terbukti ada nashnya, ada hukum taklifi-nya, dan ada ‘amal-nya. Tidak boleh mengatakan secara dusta bahwa Khilafah adalah produk politik buatan manusia seperti halnya demokrasi, yang memang sama sekali bukan ajaran Islam, karena tidak memenuhi ketiga syarat ajaran Islam di atas.

Mereka yang mengingkari wajibnya Khilafah, dengan berbagai narasi dan argumentasi palsu, sesungguhnya tidak sedang berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin, namun sedang berkhidmat kepada kaum kafir penjajah dan kepada iblis yang terkutuk. Sungguh jahat dan keji mereka itu, dan semoga umat Islam terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang mereka lakukan.

 

Wallāhu a’lam.

 

 

Surabaya, 22 Februari 2025

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 Catatan : Tulisan ini adalah pengembangan dari karya Penulis dengan judul yang sama.