Home Aqidah ISRA’ MI’RAJ DIMENSI SPIRITUAL DAN POLITIK

ISRA’ MI’RAJ DIMENSI SPIRITUAL DAN POLITIK

48

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Isra’ Mi’raj merupakan mu’jizat Nabi SAW yang sangat dahsyat. Peristiwa ini dapat ditinjau dari dua dimensi. Pertama, dalam dimensi spiritual, Isra’ Mi’raj menunjukkan istimewanya sholat. Kedua, dalam dimensi politik, Isra’ Mi’raj menunjukkan isyarat kepemimpinan Islam memimpin dunia.

Dimensi Spiritual Isra’ Mi’raj

Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan salah peristiwa yang menjadi mu’jizat Rasulullah SAW. Salah satu pelajaran (‘ibrah) yang diambil dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah istimewanya shalat lima waktu.

Sholat lima waktu ini dikatakan ibadah yang istimewa, karena beberapa alasan, di antaranya ada 6 (enam) keistimewaan ibadah sholat sebagai berikut :

Pertama, karena sholat lima waktu merupakan satu-satunya ibadah yang diwajibkan Allah SWT dengan cara yang khusus, yaitu Rasulullah SAW mendapat langsung perintah sholat lima waktu di Sidratul Muntaha secara langsung dari Allah SWT. (Lihat Bab Kayfa Furidhat al-Shalāt fī al-Isrā`, Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fatḥul Bārī Syaraḥ Shahīh al-Bukhāri, Juz I, hlm. 545).

Kedua, karena sholat lima waktu ini merupakan ibadah yang secara khusus disebut bersama sabar, sebagai cara kita meminta pertolongan kepada Allah SWT. Firman Allah SWT :

واسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 45).

Ketiga, karena sholat lima waktu ini merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab kelak di Hari Kiamat, sesuai sabda Nabi SAW :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ. رواه والترمذي (413)

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Al-Tirmidzi, no. 413).

Keempat, karena sholat lima waktu ini merupakan pembeda antara mukmin dan kafir. Sabda Nabi SAW :

إنَّ بيْنَ الرَّجُلِ وبيْنَ الشِّرْكِ والْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاةِ

 “Antara seorang muslim dan seorang musyrik dan kafir adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim, no. 82).

Imam Nawawi men-syarah hadits di atas dengan mengatakan :

وَأَمَّا تَارِكُ الصَّلاَةِ فَإِنْ كَانَ مُنْكِراً لِوُجُوْبِهاَ فَهُوَ كاَفِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ خاَرِجٌ مِنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ قَرِيْبَ عَهْدٍ بِاْلإِسْلاَمِ وَلَمْ يُخَالِطِ الْمُسْلِمِيْنَ مُدَّةً يَبْلُغُهُ فِيْهَا وُجُوْبُ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ، وَإِنْ كاَنَ تَرْكُهُ تَكَاسُلاً مَعَ اعْتِقَادِهِ وُجُوْبُهَا كَمَا هُوَ حَالُ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ فَذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ رَحِمَهُمَا اللهَ وَالْجَمَاهِيْرُ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ إِلىَ أَنَّهُ لاَ يُكَفَّرُ بَلْ يُفَسَّقُ… وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ إِلىَ أَنَّهُ يُكَفَّرُ …وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللهُ،…وَذَهَبَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ… إِلىَ أَنَّهُ لاَ يُكَفَّرُ وَلاَ يُقْتَلُ بَلْ يُعَزَّرُ وَيُحْبَسُ حَتىَّ يُصَلِّيَ

“Adapun orang yang meninggalkan sholat, (ada rincian hukumnya, yaitu) jika dia mengingkari kewajiban sholatnya, maka dia kafir menurut ijmā’ (kesepakatan) kaum muslimin, yakni sudah keluar (murtad) dari agama Islam, kecuali kalau dia baru masuk Islam dan belum berinteraksi dengan kaum muslimin dalam jangka waktu tertentu yang belum sampai kepadanya kewajiban sholat atasnya. Jika dia meninggalkan sholat karena malas namun dia masih meyakini wajibnya sholat, sebagaimana keadaan banyak orang, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik, Imam Syafi’i, rahimahumāllāhu, dan jumhur ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa orang itu tidak dikafirkan melainkan hanya difasikkan…Segolongan ulama salaf berpendapat bahwa orang itu (orang yang meninggalkan sholat) dikafirkan…ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullāh… Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang itu tidak dikafirkan dan tidak dijatuhi hukuman mati melainkan di-ta’zīr dan dipenjara hingga dia mau melakukan sholat.” (Imam Nawawi, Shahīh Muslim bi Syarah Al-Nawawī, 2/70).

 Kelima, karena sholat lima waktu inilah yang disebut dalam Al-Qur`an akan mencegah pelakunya dari (perbuatan) keji dan mungkar. Firman Allah SWT :

اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt : 45).

Keenam, karena sholat lima waktu ini yang membedakan orang mukmin (yang mampu bersujud) dan munafik (yang tak mampu bersujud) di Hari Kiamat nanti, sesuai firman Allah SWT :

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَّيُدْعَوْنَ اِلَى السُّجُوْدِ فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَۙ خَاشِعَةً اَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۗوَقَدْ كَانُوْا يُدْعَوْنَ اِلَى السُّجُوْدِ وَهُمْ سٰلِمُوْنَ

“(Ingatlah) pada hari ketika betis disingkapkan (Hari Kiamat) dan mereka (orang munafik) diseru untuk bersujud; maka mereka tidak mampu (bersujud). Pandangan mereka tertunduk ke bawah, diliputi kehinaan. Dan sungguh, dahulu (di dunia) mereka telah diseru untuk bersujud (sholat lima waktu) pada waktu mereka sehat (tetapi mereka tidak melakukan sholat).” (QS. Al-Qalam : 42-43)

Dimensi Politik Isra’ Mi’raj

Peristiwa Isra’ Mi’raj mengisyaratkan kepemimpinan Islam, yaitu isyarat kepemimpinan umat Islam atas seluruh agama, bangsa, dan umat lain di seluruh dunia. Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie telah menerangkan isyarat kepemimpinan itu dalam kitabnya, Qirā`ah Siyāsiyyah li As-Sīrah An-Nabawiyyah (Beirut : Dār Al-Nafā`is, Cetakan I, 1416 H/1996 M, hlm. 75-83). Dalam peristiwa Isra’, Rasulullah SAW diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.

Nah, di Masjidil Aqsha inilah, Rasulullah SAW shalat bersama para nabi dan Rasulullah SAW tampil sebagai imam. Berarti di belakang Rasululah SAW adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi, di antaranya Nabi Musa dan Nabi Isa, ‘alaihimā as-salām.

Dari peristiwa itulah, ada isyarat kepemimpinan umat Islam. Kata Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam peristiwa shalat jamaah tersebut telah terjadi pencabutan kepemimpinan Bani Israil yang memimpin dunia saat itu yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad SAW. Dengan demikian, sejak peristiwa itu, manusia menjadi tidak sah beramal dengan agama-agama Bani Israil (Yahudi dan Nasrani) yang telah mengalami banyak sekali distorsi dan perubahan (tahrīf).

Bagaimana realisasi dari isyarat agung ini dalam kenyataan? Dalam sejarah kepemimpinan umat ini benar-benar terbukti dua kali.

Perwujudan Isyarat Kepemimpinan Yang Pertama

Setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah (622 M) dan kemudian menegakkan negara dan masyarakat Islam, kepemimpinan Islam mulai terwujud. Sebab di negara baru tersebut, umat Islam memimpin umat-umat lain. Dalam masyarakat Islam ada warga negara kaum Yahudi sebagaimana disebut dalam Piagam Madinah (Watsīqah Al-Madinah). Tercatat, kaum Yahudi itu adalah Yahudi Bani Auf, Yahudi Bani Najjar, Yahudi Bani Harits, Yahudi Bani Saidah, Yahudi Bani Jusyam, Yahudi Bani Aus, dan Yahudi Bani Tsa’labah.

Dalam perkembangan berikutnya, kaum Yahudi Bani Quraizhah, Yahudi Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’ juga menandatangani Piagam Madinah itu (Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islāmiyyah, hlm. 54).

Kepemimpinan umat Islam di masa Nabi atas kaum Nasrani juga mulai terwujud. Inilah perwujudan isyarat kepemimpinan umat Islam yang pertama.

Perwujudan Isyarat Kepemimpinan Yang Kedua

Untuk pertama kalinya, kaum muslimin berperang dengan kaum Nasrani di wilayah Syam dalam Perang Mu`tah. Memang dalam perang kali ini kaum muslimin tidak menang dan juga tidak kalah. Namun Perang Mu`tah ini menjadi jalan awal untuk penaklukan Syam (Fathu Syām) di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab inilah, penaklukan Syam terjadi pada tahun 15 H.

Dalam penaklukan Syam ini, Khalifah Umar dan para sahabat Rasulullah serta pasukan kaum muslimin memasuki kota Al-Quds dengan penuh kehormatan. Khalifah Umar menerima kunci kota Al-Quds dari kepala pemerintahaan Nasrani, yaitu Sefrounius. Setelah memasuki kota Al-Quds ini, Khalifah Umar dan kaum muslimin melakukan sholat di Masjidil Aqsha.

Inilah sholat yang kedua di bawah kepemimpinan umat Islam, setelah sholat pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada malam Isra`. (As’ad Bayūdh At-Tamīmī, Impian Yahudi dan Kehancurannya Menurut Al-Qur`an, hlm. 21).

Subhānallāh, inilah perwujudan isyarat kepemimpinan umat Islam yang kedua, yang terwujud sempurna. Maka dari itu, jelaslah bahwa umat Islam saat ini, berkewajiban merebut kembali kepemimpinan dunia yang kini dipegang kembali kaum kafir Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi dan Nasrani saat ini tidak boleh lagi menjadi pemimpin dunia, sebab yang seharusnya memimpin adalah umat Islam, bukan umat kafir.

 Namun kepemimpinan umat ini membutuhkan dua syarat yang penting, seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya, Qirā`ah Siyāsiyyah li As-Sīrah An-Nabawiyah (hlm. 80). Dua syarat tersebut adalah :

 Pertama, adanya sistem kehidupan yang baik, yang terwujud dalam pelaksanaan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan dalam negara Khilafah, bukan dalam negara sekuler saat ini.

 Kedua, adanya pemimpin yang amanah, yaitu seorang khalifah, bukan pemimpin pengkhianat yang menjadi agen Barat, khususnya Amerika Serikat, seperti saat ini.

Dengan dua syarat ini, insya Allah kepemimpinan umat Islam atas seluruh manusia dunia akan dapat terwujud kembali di masa depan. Inilah salah satu pelajaran terpenting dari peristiwa Isra’ Mi’raj dalam dimensi politik. Wallāhu a’lam.