
KEUTAMAAN MEMAAFKAN DALAM ISLAM
(فَضْلُ الْعَفْوِ فِي اْلإِسْلاَمِ)
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengertian Memaafkan
Memaafkan (al-‘afwu) artinya adalah mengampuni atau menggugurkan celaan dan dosa (al-‘afwu huwa al-shafhu wa isqāth al-laumi wa al-dzanbi). (Mahmūd ‘Abdurrahmān ‘Abdul Mun’im, Mu’jam Al-Mushthalahāt wa Al-Alfāzh Al-Fiqhiyyah, Juz II, hlm. 514). Dalam pengertian yang sama, memaafkan (al-‘afwu) adalah menggugurkan hak yang menjadi kewajiban atas orang lain (kepada kita). (al-‘afwu huwa isqāth al-haqq alladzī ‘ala al-ghair). (Rawwās Qal’ah Jī, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 285).
Memaafkan ini dapat terwujud dalam berbagai fakta, sesuai dengan bermacam-macamnya perbuatan haram atau perbuatan zalim yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Misalnya seseorang mencaci maki orang lain, seseorang menuduh zina kepada orang lain, seseorang mengambil harta orang lain secara zalim (misal merampas, membegal, mencuri, menipu, mencurangi takaran atau timbangan, dsb). Memaafkan juga dapat terwujud dalam kasus ketika seseorang membunuh atau menganiaya orang lain secara fisik, seperti memukul, menempeleng, melukai, dan sebagainya.
Hukum Memaafkan
Dalam semua perbuatan zalim tersebut, Islam telah memberi solusi dengan berbagai hukum syariahnya di dalam Al-Qur`an dan As Sunnah, baik solusi bagi pelaku kezaliman, maupun solusi bagi pihak korban kezaliman.
Bagi pelaku kezaliman, Islam telah mewajibkan dia untuk meminta maaf atau meminta penghalalan (istihlāl) kepada korban kezalimannya. Jika pelaku kezaliman tidak meminta maaf atau meminta penghalalan (istihlāl) di dunia, maka Islam menjelaskan bahwa urusan ini akan berlanjut hingga di akhirat kelak ketika Allah SWT menegakkan keadilan di antara para makhluk-Nya.
Adapun bagi korban kezaliman, Islam telah membolehkan bahkan mensunnahkan (mandūb) untuk memaafkan orang yang pernah menzaliminya. Inilah hukum asal memaafkan, yaitu sunnah (mandūb). Artinya lebih baik kita memaafkan daripada kita menuntut hak kita, atau kita menuntut dijatuhkannya sanksi syariah kepada orang lain tersebut dalam suatu peradilan syariah, atau kita menuntut orang lain itu di hadapan Allah SWT di Hari Kiamat kelak. Di sinilah letak keutamaan memaafkan dalam agama Islam, yang menjadi judul tulisan ini.
Di antara dalil yang menunjukkan keutamaan memaafkan, firman Allah SWT :
وَجَزٰٓؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثۡلُهَا فَمَنۡ عَفَا وَاَصۡلَحَ فَاَجۡرُهٗ عَلَى اللّٰهِ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيۡنَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya adalah dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syūrā : 40).
Namun para ulama menjelaskan, boleh jadi yang disunnahkan itu, bukanlah memaafkan, namun justru tidak memberi maaf. Ini dapat terjadi dalam kondisi khusus, yaitu kondisi jika kita memaafkan orang lain yang melakukan kezaliman kepada kita, ternyata perbuatan zalimnya itu tidak berhenti atau bahkan semakin menjadi-jadi. Dalam kondisi demikian, yang sunnah (mandūb) justru kita tidak memberi maaf kepada orang lain dan justru kita harus menuntut tegaknya keadilan secara Islam kepada orang yang berbuat zalim kepada kita.
Imam Al-Qurthubi berkata dalam konteks tafsir QS Asy-Syūrā ayat 40 di atas tentang pemberian maaf kepada orang lain yang telah berbuat zalim kepada kita :
وَبِالْجُمْلَةِ الْعَفْوُ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ، ثُمَّ قَدْ يَنْعَكِسُ الْأَمْرُ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ فَيُرْجِعُ تَرْكُ الْعَفْوِ مَنْدُوبًا إلَيْهِ كَمَا تَقَدَّمَ
“Secara umum, memaafkan itu hukumnya mandub (sunnah), namun terkadang hukumnya bisa jadi sebaliknya dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu yang disunnahkan justru tidak memaafkan, seperti penjelasan sebelumnya (yaitu jika dimaafkan maka kezaliman akan terus terjadi).” (Imam Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur`ān, Juz XVIII, hlm. 496).
Adapun dalil bahwa Islam telah mewajibkan pelaku kezaliman untuk meminta maaf atau meminta penghalalan (istihlāl) kepada korban kezalimannya, dan bahwa jika pelaku kezaliman tidak melakukannya maka urusan ini akan berlanjut hingga Hari Kiamat, adalah hadits berikut ini :
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْهُ ِمِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْه.ِ رواه البخاري (2449)، أحمد (506) وابن حبان (7361).
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,”Barangsiapa yang telah berbuat zalim kepada saudaranya, yang berkaitan dengan kehormatan atau sesuatu apa pun, hendaklah dia meminta penghalalan dari saudaranya itu pada hari ini, sebelum (datang Hari Kiamat) yang tidak ada lagi dinar atau pun dirham. Jika dia memiliki amal shalih, maka akan diambil darinya (pahala amal shalihnya) sesuai kadar kezalimannya. Jika dia tidak lagi memiliki (pahala-pahala) kebaikan-kebaikan, maka akan diambil dosa-dosa orang yang dizalimi lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2449, 6534; Ahmad 2/435, 506; Ibnu Hibban no. 7361).
Pelaku kezaliman itu di dalam hadits yang lain, disebut sebagai orang yang bangkrut/pailit (al-muflis), yaitu orang yang di dunia punya banyak pahala dari berbagai ibadah, seperti sholat, puasa, dan zakat, tetapi pahala-pahala itu ternyata hangus dan tak tersisa karena harus digunakan untuk mengganti berbagai kezaliman yang dilakukannya kepada orang lain. Bahkan setelah pahala-pahala itu sirna semua tanpa sisa, namun dia masih harus mengganti kezaliman-kezalimannya, maka dia akan mendapat limpahan dosa-dosa dari orang yang dizaliminya. Perhatikan hadits Nabi SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتِيْ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيامَةِ بِصَلاَةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكاَةٍ، وَيَأْتِيْ قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هذا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَناتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِن خَطايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (2581)
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Apakah kalian tahu apa itu muflis (orang yang bangkrut) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang bangkrut) di tengah kita itu adalah orang yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Lalu Nabi SAW berkata,“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku ialah, orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa (pahala-pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci maki orang lain, menuduh berzina kepada orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain. Maka orang-orang itu masing-masing akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, padahal belum selesai apa yang menjadi tanggung jawabnya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).
Demikianlah hukum syara’ yang berlaku bagi pelaku kezaliman, bahwa wajib hukumnya dia meminta maaf atau meminta penghalalan (istihlāl) kepada korban kezalimannya, dan bahwa jika dia tidak mau minta maaf, atau tidak meminta penghalalan (istihlāl), maka urusannya akan terus berlanjut hingga Hari Kiamat nanti. Na’ūzhu billāh min dzālik.
Adapun hukum bagi korban kezaliman, maka Islam menjelaskan bahwa hukum asalnya adalah sunnah (mandūb) baginya memberikan maaf kepada orang yang melakukan kezaliman kepadanya. Dalil-dalilnya banyak sekali, di antaranya firman Allah SWT :
﴿وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ (آل عمران: 133-134)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 133-134).
Imam Al-Thabarī menafsirkan kalimat “dan orang yang memaafkan kesalahan orang lain” (وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ) bahwa yang dimaksudkan adalah :
وَالصَّافِحِينَ عَنْ النَّاسِ عُقُوبَةُ ذُنُوبِهِمْ إِلَيْهِمْ، وَهُمْ عَلَى الِانْتِقَامِ مِنْهُمْ قَادِرُونَ، فَتَارِكُوهَا لَهُمْ
“(Orang-orang yang memaafkan orang lain adalah), orang-orang yang menghapuskan hukuman untuk dosa-dosa orang lain kepada mereka, padahal mereka sanggup menuntut balas kepada orang lain itu, namun mereka meninggalkan hukuman bagi orang lain itu (yakni tidak menuntut balas).” (Tafsīr Al-Thabarī, Juz VI, hlm. 57).
Contoh orang yang dimaafkan, sesuai penafsiran Imam Al-Thabarī di atas, adalah orang yang telah melakukan pembunuhan atas anggota keluarga seseorang, baik pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) maupun pembunuhan tersalah/tak sengaja (al-qatlu al-khatha`), maka keluarga korban pembunuhan itu ternyata tidak menuntut qishāsh (hukuman mati) dan/atau tidak menuntut diyat (tebusan).
Firman Allah SWT yang berkaitan dengan pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) adalah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishāsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf itu) membayar tebusan (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah [2] : 178).
Firman Allah SWT yang berkaitan dengan pembunuhan tersalah (al-qatlu al-khatha`) :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُوا۟ ۚ
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan (diyat) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran.” (QS. Al-Nisā` [4] : 92).
Korban kezaliman yang yang memberi maaf ini, telah digolongkan oleh Allah sebagai orang-orang yang muhsinīn (berbuat baik). Dan sebagai balasannya, telah disediakan bagi orang-orang yang memaafkan ini surga yang luasnya seluas langit dan bumi. (Lihat QS. Ali ‘Imrān [3] : 133).
Janji surga bagi korban kezaliman yang memberi maaf ini, ditegaskan dalam hadits yang panjang yang sangat menyentuh hati berikut ini :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه ُ، قَالَ : بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ ، إِذْ رَأَيْنَاهُ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ ثَنَايَاهُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّيْ؟ قَالَ : رَجُلَانِ مِنْ أُمَّتِيْ جَثَيَا بَيْنَ يَدَيْ رَبِّ الْعِزَّةِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: يَا رَبِّ خُذْ لِيْ مَظْلِمَتِي مِنْ أَخِيْ ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : أعْطِ أَخَاكَ مَظْلِمَتَهُ قَالَ: يَا رَبِّ، لَمْ يَبْقَ لِيْ مِنْ حَسَناَتِهِ شَيْءٌ فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلطَّالِبِ: فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِأَخِيْكَ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ حَسَنَاتِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ: يَا رَبِّ فَلْيَحْمِلْ مِنْ أَوْزَارِيْ قَالَ : وَفَاضَتْ عَيْنَا رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبُكَاءِ ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ ذَاكَ الْيَوْمَ عَظِيْمٌ ، يَحْتَاجُ النَّاسُ أَنْ يُحْمَلَ عَنْهُمْ مِنْ أَوْزَارِهِمْ فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلطَّالِبِ : اِرْفَعْ بَصَرَكَ فَانْظُرْ فِي الْجِنَانِ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ ، فَقَالَ: يَا رَبِّ أَرَىْ مَدَائِنَ مِنْ ذَهَبٍ وَقُصُوْرًا مِنْ ذَهَبٍ مُكَلَّلَةً بِالُّلؤْلُؤِ ؛ لِأَيِّ نَبِيٍّ هَذَا ؟ أَوْ لِأَيِّ صِدِّيْقٍ هَذَا ؟ أَوْ لِأَيِّ شَهِيْدٍ هَذَا ؟ قَالَ: هَذَا لِمَنْ أَعْطَى الثَّمَنَ! قَالَ: يَا رَبِّ وَمَنْ يَمْلِكُ ذَلِكَ ؟ قَالَ: أَنْتَ تَمْلِكُهُ ، قَالَ: بِمَاذَا؟ قَالَ: بِعَفْوِكَ عَنْ أَخِيكَ ، قَالَ: يَا رَبِّ فَإِنِّي قَدْ عَفَوْتُ عَنْهُ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: فَخُذْ بِيَدِ أَخِيْكَ فَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: اتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُصْلِحُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ. ِ رواه الحاكم في المستدرك (4/ 620) (8758) وقال الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه.
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata,”Pada saat Rasulullah SAW tengah duduk-duduk dengan kami (para shahabat), tiba-tiba kami melihat Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi-gigi depannya. Kemudian Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, demi Engkau, Ayah dan Ibuku sebagai tebusannya, apa yang membuat Engkau tertawa?” Lalu Rasulullah menjawab,“(Aku melihat pada Hari Kiamat nanti), ada dua orang laki-laki yang bersimpuh di hadapan Allah. Salah satunya berkata kepada Allah, ‘Ya Rabb, ambilkan untukku (balasan) dari kezaliman yang dilakukan oleh saudaraku ini.” Allah Azza wa Jalla berfirman (kepada laki-laki satunya, yang berbuat zalim), “Berikan kepada saudaramu (balasan) dari kezaliman yang menimpanya.” Laki-laki itu (korban kezaliman) berkata,”Ya Rabb, tidak tersisa lagi (pahala) kebaikan-kebaikannya sedikit pun.” Maka Allah berfirman kepada penuntut,“Apa yang akan kamu lakukan terhadap saudaramu, jika tidak tersisa lagi (pahala) kebaikan-kebaikannya sedikit pun?” Laki-laki yang menuntut berkata,”Kalau begitu ya Rabb, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya.” (Periwayat hadits berkata) Kedua mata Rasulullah SAW berlinangan air mata karena menangis. Kemudian Rasulullah berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, dimana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosanya.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada laki-laki yang menuntut,”Angkatlah kepalamu! Dan lihatlah apa yang ada di surga!” Orang itu lalu mengangkat kepalanya, lalu mengatakan, “Ya Rabb, aku melihat kota-kota dari emas dan istana-istana dari emas yang bermahkotakan mutiara. Untuk nabi siapakah ini? Untuk orang shiddiq yang mana ini? Atau untuk syuhada yang mana ini?” Allah berfirman, “Ini untuk siapa saja yang mampu membayar harganya.” Orang itu lalu bertanya, “Siapakah yang mampu membayar harganya?” Allah berfirman, “Engkau pun mampu membayar harganya.” Orang itu berkata, “Dengan apa?” Allah berfirman,“Dengan maaf yang engkau berikan kepada saudaramu.” Orang itu berkata, “Ya Rabb, sungguh aku telah memaafkan saudaraku.” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kalau begitu, gandenglah tangan saudaramu itu, dan ajaklah dia masuk ke dalam surga.” Pada saat itulah, Rasulullah SAW bersabda,“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya kalian memperbaiki hubungan di antara kalian, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.” (HR. Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, Juz IV, hlm. 620, nomor 8758. Imam Al-Hakim berkata,”Hadits ini shahih isnadnya meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya, yakni Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim).
Penutup
Demikianlah sekilas penjelasan tentang keutamaan memaafkan dalam agama Islam. Bagi pelaku kezaliman, wajib hukumnya meminta maaf atau meminta penghalalan (istihlāl) kepada korban kezalimannya. Jika pelaku kezaliman tidak mau melakukannya, maka urusannya akan menjadi panjang hingga ditegakkan keadilan Ilahi yang sempurna di Hari Kiamat kelak.
Keadilan Ilahi yang sempurna yang akan ditegakkan di hari Kiamat itu adalah, pelaku kezaliman akan diambil pahala-pahala amal shaleh atau amal ibadahnya, seperti pahala sholat, zakat, dan puasa, lalu pahala-pahala ini diberikan kepada korban kezaliman. Jika semua pahala dari pelaku kezaliman ini sudah habis, sementara urusannya belum selesai, maka dosa-dosa dari korban kezaliman, akan dipikulkan kepada pelaku kezaliman. Akhirnya pelaku kezaliman menjadi orang yang bangkrut dan akan dijebloskan ke dalam neraka. Na’ūzhu billāh min dzālik.
Bagi korban kezaliman, hukum asalnya adalah sunnah (mandūb) untuk memaafkan orang lain yang sudah berbuat zalim kepada kita. Terdapat berbagai keutamaan memaafkan dalam agama Islam, di antaranya adalah disediakan kepada mereka yang memaafkan itu surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Namun para ulama seperti Imam Al-Qurthubi menjelaskan, boleh jadi yang disunnahkan adalah sebaliknya, yakni tidak memberi maaf, jika pemberian maaf kepada pelaku kezaliman ternyata tidak menghentikan kezalimannya, atau justru membuat kezalimannya terus berkelanjutan semakin menjadi-jadi. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 13 April 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi