Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamualaikum wr. wb., minta penjelasan hadist ini. Dari ‘Iyādh bin Ghanam RA, bahwa Nabi SAW berkata :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
”Barangsiapa hendak menasehati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah bersepi-sepi dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya kepada penguasa itu.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, 3/403-404) (Al-Haitsami, Majma’ Al-Zawā`id, 5/232). (0896-7860-4569)
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Hadits di atas statusnya dha’īf (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dalil syar’i landasan hukum), karena 2 (dua) alasan sebagai berikut ;
(1) karena sanadnya terputus (inqithā’), karena ada seorang periwayat hadits dari generasi tābi’īn, yang bernama Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadhrami, yang tidak pernah mendengar riwayat hadits tersebut dari periwayat generasi shahabat, yaitu ‘Iyādh bin Ghanam dan Hisyām bin Hakīm. (Al-Haitsami, Majma’ Al-Zawā`id, 5/229).
(2) karena dalam hadits tersebut ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismā’il bin ‘Ayāsy Al-Himshi (محمد بن إسماعيل بن عياش الحمصي). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhāsabah Al-Hukkām, hlm. 41-43).
(Lihat : https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/52).
Kalaupun andaikata hadits tersebut shahih, hukum syara’ yang terkandung di dalam hadits tersebut hanya bersifat anjuran (keafdholan) untuk menasehati penguasa diam-diam, namun hukumnya tidak sampai mengharamkan nasehat yang disampaikan kepada penguasa secara terbuka di muka umum. Hal ini dibuktikan dengan praktik para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka di muka umum, di antaranya :
Pertama, diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar RA, ketika Khalifah Umar bin Khaththab RA menaklukkan Syam, beliau tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal RA memprotes Khalifah Umar bin Khaththab RA dengan berkata :
لَتَقْسِمَنَّهاَ أَوْ لَنَتَضَارَبَنَّ عَلَيْهَا بِالسَّيْفِ
”Kamu harus membagi tanah itu atau kita harus ambil tanah itu dengan pedang!” (HR Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, Juz VII, hlm. 318, no. 18764, hadits shahih).
Hadits ini menunjukkan Bilal telah mengkritik Khalifah Umar bin Khaththab RA secara terbuka di hadapan umum. (Ziyād Ghazzāl, Masyrū’ Qānūn Wasā’il Al-I’lām fī Ad-Daulah Al-Islāmiyah, hlm.24).
Kedua, diriwayatkan dari ‘Ikrimah RA, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah menjatuhkan hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup kepada kaum zindīq (kaum yang secara lahiriah menunjukkan keislaman, tetapi sebenarnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya). Berita ini telah sampai kepada Ibnu ‘Abbas RA, maka berkatalah beliau mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib RA,”Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda :
لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَابِ اللَّهِ
”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku (Ibnu ‘Abbas) akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW :
مَن بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (keluar dari agama Islam), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari, no. 3017).
Dalam hadits ini jelas Ibnu Abbas RA mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib RA secara terbuka di muka umum. (Ziyād Ghazzāl, Masyrū’ Qānūn Wasā’il Al-I’lām fī Ad-Daulah Al-Islāmiyah, hlm.25).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, boleh hukumnya mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum, baik di media massa seperti di internet, sosial media, koran, majalah, maupun saat berdemonstrasi, di pasar, di kampus, dan sebagainya. Walaupun demikian, kalau nasehat tersebut disampaikan secara diam-diam kepada penguasa, maka itu lebih baik, meskipun hukumnya tidak wajib menurut syara’ (hukum Islam).
(Lihat : https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/23).
Wallāhu a’lam.
Jakarta, 4 Januari 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi