Home Hikmah TEROBOSAN FIQIH ISLAM DALAM ISU IJAZAH PALSU JOKOWI

TEROBOSAN FIQIH ISLAM DALAM ISU IJAZAH PALSU JOKOWI

3

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Perkembangan kasus isu ijazah palsu Jokowi per hari Rabu 16 April 2025 menunjukkan fenomena kebuntuan hukum dan ketidakmampuan hukum positif untuk mengatasi isu ijazah palsu Jokowi.

Mengapa demikian? Karena di satu sisi, pihak TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) menuntut Jokowi menunjukkan ijazah aslinya. Sementara di sisi lain, Jokowi dan para kuasa hukumnya berkeras kepala berpegang pada prinsip hukum “Barangsiapa yang mendalilkan, maka dia harus membuktikan”. Artinya, beban pembuktian itu menjadi kewajiban TPUA, bukan kewajiban Jokowi.

Maka dari itu, Jokowi berkeras kepala hanya mau menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan, atau jika diperintahkan oleh pengadilan. Sikap Jokowi dan para kuasa hukumnya itu seolah-olah nampak benar dan logis, yaitu menyelesaikan isu ijazah palsu Jokowi di pengadilan.

Akan tetapi, dalam konteks kekinian, menyelesaikan sengketa di pengadilan, bukan pilihan yang tepat dan malah terlihat naif, dengan 2 (dua) alasan sbb:

Pertama, tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan sedang anjlok secara drastis, setelah terbongkarnya kaus suap 20 miliar rupiah bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dkk, dalam kasus korupsi CPU (crude palm oil).

Kedua, Jokowi sudah terbukti melakukan berbagai intervensi (cawè-cawè) pada berbagai lembaga, termasuk MK (Mahkamah Konstitusi) yang akhirnya meloloskan Gibran menjadi Wapres, dengan mengubah norma hukum tentang usia minimal Wapres.

 

Maka dari itu, isu ijazah palsu Jokowi nampaknya berada pada pilihan-pilihan sulit yang mengarah pada kebuntuan hukum, karena pihak Jokowi berpegang dengan kaidah hukum mengenai beban pembuktian,“Barang siapa mendalilkan (mendakwa/menuduh), maka dia harus membuktikan.”

Sementara pihak penentang Jokowi jika ingin meladeni Jokowi lewat jalur hukum agar dapat mengajukan bukti-bukti kepalsuan ijazah Jokowi, juga sangat dilematis. Ini karena pengadilan saat ini bukanlah lembaga yang berisi hakim-hakim yang mulia, yang jujur dan adil, melainkan lembaga yang sudah sangat busuk yang dipenuhi oleh hakim-hakim korup yang hina dan cenderung hanya membela siapa yang bayar.

Di sinilah perlu terobosan hukum, khususnya terobosan menurut fiqih Islam bagaimana caranya menyelesaikan kebuntuan hukum dalam isu ijazah palsu Jokowi.

 

Terobosan Fiqih Islam

Terobosan Fiqih Islam yang kami maksudkan adalah 2 (dua) poin sbb;

Pertama, dalam Fiqih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam fiqih Islam terdapat anjuran atau kesunnahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan.

Kesunnahan menunjukkan bukti-bukti bagi pihak tertuduh ini, dapat berubah hukumnya menjadi wajib, jika pihak yang dituduh merupakan ulama atau pemimpin masyarakat yang menjadi panutan.

Kedua, dalam Fiqih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur hukum Islam sbb :

(1), perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga.

(2), arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam (mediator non-hakim).

Jadi, penyelesaian sengketa seputar isu ijazah palsu Jokowi saat ini, menurut kami tidak layak diserahkan kepada pengadilan saat ini, karena lembaga pengadilan saat ini tidak layak dipercaya oleh publik, karena kasus korupsi para hakimnya yang sudah sangat gila-gilaan dan karena teramat rawan terjadi intervensi (cawè-cawè) kepada para hakim, baik intervensi oleh penguasa (eksekutif/pejabat) dengan kekuatan kekuasaannya maupun oleh pengusaha (oligarki) dengan kekuatan uangnya.

 

Penjelasan Poin Pertama

Dalam Fiqih Islam, pada dasarnya beban pembuktian itu memang menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan). Dalilnya (dasarnya) adalah hadits Nabi SAW berikut ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَومٍ وَدِمَاءَهُمْ، وَلَكِنِ البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ. حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اْلبَيْهَقِيّ وغيره هَكَذَا بَعْضُهُ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ.

Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Seandainya setiap orang dikabulkan sesuai dengan dakwaannya niscaya orang-orang akan menuntut harta dan darah suatu kaum. Akan tetapi bukti itu harus ditegakkan oleh orang yang mendakwakan dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang mengingkari (dakwaan).” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan ahli hadits lainnya. Sebagian lafadznya terdapat dalam Shahīh Al-Bukhārī dan Shahīh Muslim). (HR. Al-Baihaqi (10/252) dan sebagian lafazhnya diriwayatkan oleh Al-Bukhārī (2514, 2668 dan 4552) dan Muslim (1711). (Muhammad Al-Zuhailī, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, hlm. 589-590).

 

Dalil hadits tersebut dalam redaksi yang lebih ringkas, berbunyi :

الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

“Bukti harus ditunjukkan oleh pihak yang mendakwakan, sedangkan sumpah diberikan oleh pihak yang mengingkari (dakwaan itu).” (HR. Al-Dāraquthnī, dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin Al-‘Āsh RA).

 

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) untuk hadits ini dengan berkata :

وَهَذَا الْحَدِيثُ قَاعِدَةٌ كَبِيرَةٌ مِنْ قَوَاعِدِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ، فَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْإِنْسَانِ فِيمَا يَدَّعِيهِ بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ، بَلْ يَحْتَاجُ إِلَى بَيِّنَةٍ أَوْ تَصْدِيقِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ، فَإِنْ طَلَبَ يَمِينَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَلَهُ ذَلِكَ

“Hadits ini adalah satu kaidah yang agung di antara kaidah-kaidah syariah Islam. Jadi di dalam hadits ini terdapat ketentuan bahwa tidak diterima perkataan manusia mengenai apa saja yang dia dakwakan hanya dengan dakwaannya itu, melainkan perkataannya itu memerlukan pembuktian, atau pembenaran (pengakuan) dari pihak yang didakwa (dituduh). Jika pihak penuduh meminta pihak tertuduh untuk bersumpah (dalam rangka untuk membantah tuduhan/dakwaan pihak penuduh), maka pihak penuduh berhak untuk memintanya.” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, 11/36).

 

Namun demikian, dalam Fiqih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam fiqih Islam terdapat anjuran atau kesunnahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak pertama (yang menuduh/mendalilkan).

 

Dalilnya hadits Nabi SAW sbb :

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أنَّهَا جَاءَتْ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُوْرُهُ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ في الْمَسْجِدِ، في العَْشْرِ اْلأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ مَعَهَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حتَّى إذَا بَلَغَ قَرِيْبًا مِنْ بَابِ المَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَرَّ بهِمَا رَجُلَانِ مِنَ الأنْصَارِ، فَسَلَّمَا علَىَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ نَفَذَا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيِّ، قَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ! وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا ذَلِكَ، فَقالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإنِّي خَشِيْتُ أَنْ يَقْذِفَ في قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا. رواه البخاري  3101

Artinya :

Dari Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay RA, bahwa beliau datang kepada Rasulullah SAW mengunjungi beliau, sedang beliau sedang beri’tikaf di masjid, pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian (setelah selesai) Shafiyah berdiri dan hendak kembali, dan Rasulullah SAW (juga) berdiri dan membersamai Shafiyyah. Hingga ketika Rasulullah SAW hendak mencapai pintu masjid di dekat pintu Ummu Salamah (istri Nabi SAW), ada dua orang Anshar yang melintasi keduanya. Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian hendak pergi. Lalu Rasulullah SAW,”Hendaklah kalian berdua jalan perlahan-lahan! Sesungguhnya dia itu Shafiyyah binti Huyay (istriku sendiri).” Keduanya berkata,”Subhānalah, wahai Rasulullah!” (Hal ini terasa berat bagi keduanya). Kemudian Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya syaitan itu dapat mencapai pada manusia segala bagian tubuh yang dialiri oleh darah, dan sesungguhnya saya khawatir syaitan melemparkan suatu tuduhan (yang tidak-tidak) ke dalam hati kalian berdua.” (HR. Al-Bukhari, no, 3101).

 

Imam Al-Khaththābī memberi syarah (penjelasan) untuk hadits ini dengan berkata :

فِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنْ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يُحْذَرَ الْإِنْسَانُ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ مِنْ الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ الظُّنُونُ، وَيَخْطِرُ بِالْقُلُوبِ، وَأَنْ يَطْلُبَ السَّلَامَةَ مِنْ النَّاسِ بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ مِنْ الرِّيْبِ

“Dalam hadits ini terdapat ilmu, bahwa disunnahkan (dianjurkan) agar seseorang berhati-hati terhadap setiap perkara yang tidak disukai (fitnah, tuduhan, dsb) yang dapat mendatangkan berbagai prasangka (buruk) orang lain, atau menjadi pikiran (negatif) dari orang lain. Hadits ini juga menuntut seseorang untuk mencari posisi yang aman dari manusia dengan memperlihatkan bebasnya dia dari berbagai prasangka.” (Imam Al-Khaththābī, Ma’ālimus Sunnan Syarah Sunan Abu Dāwud, 2/63; 3/314).

 

Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam Fiqih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian untuk suatu tuduhan/klaim itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun terdapat kesunnahan (anjuran) agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak yang menuduh (mendalilkan).

Bahkan untuk orang-orang yang tertentu, seperti para ulama, atau orang yang menjadi panutan, semisal pemimpin, pejabat, dsb, upaya melepaskan diri dari fitnahan atau tuduhan itu bukan sekedar anjuran (sunnah), melainkan sudah menjadi kewajiban syariah, sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ibnu Daqieqil ‘Ied :

فِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى التَّحَرُّزِ مِمَّا يَقَعُ فِي الْوَهْمِ نِسْبَةُ الْإِنْسَانِ إلَيْهِ مِمَّا لَا يَنْبَغِي، وَهَذَا مُتَأَكِّدٌ فِي حَقِّ الْعُلَمَاءِ وَمَنْ يُقْتَدَى بِهِمْ، فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا فِعْلًا يُوجِبُ ظَنَّ السُّوءِ بِهِمْ، وَإِنْ كَانَ لَهُمْ فِيهِ مُخْلِصٌ، لِأَنَّ ذَلِكَ سَبَبٌ إِلَى إِبْطَالِ الِانْتِفَاعِ بِعِلْمِهِمْ

Artinya :

“Dalam hadits ini terdapat dalil untuk menghindarkan diri agar (tidak) terjatuh pada waham (prasangka lemah) yang menisbatkan manusia dengan hal-hal yang tidak sepatutnya. Ini lebih tegas lagi bagi para ulama, dan bagi siapa saja yang panutan. Jadi tidak boleh bagi mereka melakukan perbuatan yang dapat mendatangkan prasangka buruk (sū’uzh zhann) kepada mereka, meskipun mereka mempunyai alasan melepaskan diri (dari fitnahan, tuduhan, dsb) mengenai perbuatan itu, karena adanya prasangka buruk itu dapat menyebabkan tersia-siakannya ilmu dari mereka (ulama).” (Imam Al-Qasthalānī, Irsyād Al-Sārī li Syarh Shahīh Al-Bukhārī, Juz IV, hlm. 608).

 

Penjelasan Poin Kedua

Dalam Fiqih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur hukum Islam sbb :

(1), perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga.

(2), arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam (mediator non-hakim).

 

Menyelesaikan sengketa ini melalui pengadilan saat ini, tidak kami rekomendasikan, karena hakim-hakimnya tidak dapat dipercaya, apalagi hukum yang digunakan untuk mengadili, bukan hukum Islam.

Definisi perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) adalah :

اَلصُّلْحُ هُوَ عَقْدٌ يَرْفَعُ النِّزَاعَ بِالتَّرَاضِيْ

“Perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) adalah suatu akad yang menghilangkan persengketaan, yang terjadi atas dasar saling ridha (suka sama suka).” (Rawwās Qal’ah Jī, Mu’jam Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 248).

 

Dalil pensyariatan perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) adalah hadits Nabi SAW berikut ini :

ألصُّلْحٌ جَائِزٌ بَيْنَ المُسلِمينَ، إلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلًا، أَوْ أحَلَّ حَرَامًا

“Perdamaian itu boleh hukumnya di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal, atau yang menghalalkan yang haram.” (HR. Al-Tirmidzi, no. 1352; Ibnu Majah, no. 2353; Abu Dawud, no. 3594; Ibnu Hibban, no. 5091, hadits shahih).

 

Definisi arbitrase/tahkīm adalah :

اَلتَّحْكِيْمُ هُوَ اخْتَيارُ الْمُتُخَاصِمِيْنِ شَخْصًا لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ

“Tahkim (arbitrase) adalah tindakan para pihak yang bersengketa untuk memilih seseorang agar dia memutuskan hukum di antara mereka.” (Rawwās Qal’ah Jī, Mu’jam Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 103).

 

Dalil pensyariatan tahkīm dari Al-Qur`an adalah firman Allah SWT  :

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَابۡعَثُوۡا حَكَمًا مِّنۡ اَهۡلِهٖ وَحَكَمًا مِّنۡ اَهۡلِهَا‌ ۚ اِنۡ يُّرِيۡدَاۤ اِصۡلَاحًا يُّوَفِّـقِ اللّٰهُ بَيۡنَهُمَا‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيۡمًا خَبِيۡرًا

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” (QS An-Nisā` : 35).

 

Dalil pensyariatan tahkīm dari As-Sunnah antara lain hadits berikut ini :

عَنْ هَانِئِ بْنِ يَزِيْد بْنِ نهيك أَبِيْ شُرَيْحٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ قَوْمِيْ إِذَا اخْتَلَفُوْا فِيْ شَيْءٍ أَتَوْنِيْ فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كِلَا الْفَرِيقَيْنِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا أَحْسَنَ مِنْ هَذَا

Dari Hāni` bin Yazīd bin Nahīk Abu Syuraih RA, dia berkata (kepada Rasulullah SAW), “Sesungguhnya kaumku jika mereka berselisih dalam suatu perkara, mereka datang kepadaku lalu aku memutuskan perkara di antara mereka, dan kedua pihak merasa ridha (terhadap keputusan saya).” Maka Rasulullah SAW bersabda,”Alangkah bagusnya kamu ini.” (HR. Abu Dawud, no. 4955, hadits shahih).

 

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tahkīm (arbitrase) merupakan suatu jalan syariah di luar pengadilan untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi di antara kaum muslimin.

Menyelesaikan sengketa ini melalui pengadilan saat ini, tidak kami rekomendasikan secara mutlak, karena hakim-hakimnya tidak dapat dipercaya, karena moralnya pada bejat (na’ūzhu billāh min dzālik), apalagi hukum yang digunakan untuk mengadili, bukan hukum Islam.

Menyerahkan urusan kepada pihak yang tidak dapat dipercaya, artinya menyerahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya, ini jelas tidak boleh dalam agama Islam, sesuai hadits berikut ini;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ: كَيْفَ إضَاعَتُهَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. رواه البخاري 59

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,’Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah Hari Kiamat. (Periwayat hadits) bertanya,”Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda,”Jika suatu perkara telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 59).

 

Apalagi, hukum yang digunakan untuk mengadili, bukanlah hukum Islam, maka menyerahkan sengketa kepada pengadilan saat ini, hukumnya haram tanpa keraguan lagi.

Bagi hakim muslim yang mengingkari Syariah Islam, berlaku firman Allah SWT :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Mā`idah : 44).

 

Adapun bagi hakim muslim yang masih beriman kepada Syariah Islam, namun karena satu dan lain hal mengadili dengan hukum selain Islam, berlaku kepada mereka firman Allah SWT pada dua ayat berikut ini :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mā`idah : 45).

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Mā`idah : 47).

 

Penutup

Demikianlah penjelasan kami mengenai terobosan Fiqih Islam yang dapat digunakan sebagai solusi kebuntuan hukum dalam isu ijazah palsu Jokowi. Intinya adalah sebagai berikut :

 Pertama, dalam Fiqih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam fiqih Islam terdapat anjuran atau kesunnahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan.

Kesunnahan menunjukkan bukti-bukti bagi pihak tertuduh ini, dapat berubah hukumnya menjadi wajib, jika pihak yang dituduh merupakan ulama atau pemimpin masyarakat yang menjadi panutan.

 Kedua, dalam Fiqih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur hukum Islam sbb :

(1), perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga.

(2), arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam (mediator non-hakim).

 

Penyelesaian sengketa seputar isu ijazah palsu Jokowi saat ini, tidak layak diserahkan kepada pengadilan yang ada pada saat ini. Wallāhu a’lam.

 

 

Yogyakarta, 17 April 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 

www.shiddiqaljawi.com

www.fissilmi-kaffah.com