Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon penjelasan mengenai hukum syirkah mudhārabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah saat ini. (Faiz, Klaten).
Jawab :
Sebelumnya perlu dijelaskan lebih dulu definisi dan hukum syirkah mudhārabah, baru setelahnya kami jelaskan hukum syirkah mudhārabah di bank syariah dewasa ini, dengan studi kasus pada BSI (Bank Syariah Indonesia).
Definisi syirkah mudhārabah menurut para fuqahā` adalah sebagai berikut :
اَلْمُضَارَبَةُ هِيَ عَقْدُ شِرْكَةٍ يَكُوْنُ فَيْهَا الْمَالُ مِنْ طَرَفٍ وَالْعَمَلُ مِنْ طَرَفٍ آخَرَوَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا عَلىَ ماَ شَرَطاَ وَالْخَسَارَةُ عَلىَ صَاحِبِ الْمَالِ، وَتُسَمَّى الْقِرَاضَ.
“Syirkah mudhārabah adalah akad syirkah yang di dalamnya terdapat modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lainnya, dengan keuntungan yang dibagi di antara keduanya sesuai kesepakatan kedua pihak itu, dan kerugian ditanggung oleh pemodal. Syirkah mudhārabah disebut juga qirādh.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 404).
Namun definisi di atas adalah definisi untuk syirkah mudhārabah yang dasar (basic). Jadi selengkapnya ada beberapa model mudharabah, yaitu :
Pertama, seperti dalam definisi sebelumnya, model pertama mudhārabah adalah modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lainnya.
Kedua, termasuk mudhārabah juga, modal dari pihak pertama dan pihak kedua, sedang pengelola modal adalah salah satu dari kedua pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :
وَمِنَ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالاَنِ وَبَدَنُ أَحَدِهِماَ
“Termasuk syirkah mudhārabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal (shāhibul māl), dengan pengelola modal (mudhārib/’ āmil) salah satu dari dua orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 155).
Ketiga, termasuk mudhārabah juga, modal dari pihak pertama dan pihak kedua, sedang pengelola modal adalah pihak ketiga yang bukan kedua pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :
وَكَذَلِكَ مِنَ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالاَنِ وَبَدَنُ غَيْرِهِماَ
“Demikian juga termasuk syirkah mudhārabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal (shāhibul māl), dengan pengelola modal (mudhārib/’ āmil) pihak lain di luar dua pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 155).
Keempat, termasuk mudharabah juga, ada dua pengelola modal (mudhārib), yang berakad dengan satu orang pemilik modal (shāhibul māl). Imam Taqiyuddin An-Nabhani telah menjelaskan syirkah wujūh, yang salah satu bentuknya sebenarnya termasuk syirkah mudhārabah sbb :
هِيَ أَنْ يَشْتَرِكَ بَدَنَانِ بِماَلِ غَيْرِهِماَ
“Syirkah wujūh (yang hakikatnya termasuk mudhārabah) adalah berserikatnya dua orang pengelola modal, dengan modal dari pihak lain di luar keduanya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 156).
Demikianlah beberapa model mudhārabah, yang walaupun berbeda-beda variasinya, namun semuanya termasuk ke dalam kategori syirkah mudhārabah.
Hukum Syirkah Mudharabah
Hukum syirkah mudhārabah itu boleh (jā`iz) berdasarkan hadits Nabi SAW dan Ijma’ Shahabat. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 155).
Dalil hadits Nabi SAW, antara lain hadits sebagai berikut :
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ ماَلًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلىَ صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا ، وَلاَ يَشْتَرِيْ بِهِ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ ، فَرَفَعَ شَرْطَهَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَأَجَازَهُ . رواه الطبراني
“Bahwa Al-’Abbās bin ‘Abdul Muththalib jika menyerahkan modal sebagai mudhārabah, mensyaratkan kepada mitranya agar tidak membawa (barang) melewati laut, tidak membawa (barang) menuruni lembah, dan tidak membeli hewan ternak. Jika mitranya melakukan itu, maka dia harus bertanggung jawab. Al-’Abbās menyampaikan syarat ini kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya.” (HR Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 760).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, karena para shahabat Nabi SAW telah menyetujui syirkah-syirkah mudhārabah yang dilakukan di kalangan para shahabat Nabi SAW sbb :
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ دَفَعَ مَالَ الْيَتِيْمِ مُضَارَبَةً. رواه البيهقي
Dari ‘Umar bahwa dia telah menyerahkan modal milik anak yatim untuk melakukan syirkah mudhārabah.” (HR Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubrā, 6/184; no.11.608).
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan :
وَعَنْ مَالِكٍ عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ عُثْمَانَ قَارَضَهُ
Dari Malik dari ‘Ala` bin Abdirrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan pernah melakukan qirādh (mudhārabah) dengan dia. (Ibnu Qudamah, Al-Syarah Al-Kabīr, 5/130).
Dalam kitab Takmilah Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab disebutkan riwayat sbb :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ وَحَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُمَا قَارَضَا
Dari ‘Abdullah bin Mas’ūd dan Hakīm bin Hizām, bahwa keduanya pernah melakukan qirādh (mudhārabah).” (M. Najib Al-Muthi’i, Takmilah Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 14/360).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani setelah meriwayatkan praktik-praktik mudhārabah yang dilakukan para shahabat tersebut, menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengingkari praktik-praktik mudharabah tersebut. Maka ini menunjukkan adanya Ijma’ Shahabat mengenai bolehnya syirkah mudharabah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 156).
Hukum Syirkah Mudharabah di Bank Syariah
Meskipun syirkah mudhārabah dalam Islam itu boleh, namun tidak berarti hukum mudhārabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah, otomatis juga boleh. Hal ini karena praktik mudharabah di bank syariah cukup rumit karena merupakan kombinasi dari praktik bank syariah di bawah pengaruh sistem ekonomi kapitalisme, dengan unsur-unsur syariah Islam berupa hukum-hukum Islam seputar syirkah mudhārabah.
Sebagai contoh, BSI (Bank Syariah Indonesia), meskipun mengklaim dirinya sebagai bank dengan prinsip syariah, yang melaksanakan praktik-praktik berbagai akad syariah seperti murābahah dan mudhārabah, ternyata mengambil bentuk PT (Perseroan Terbatas), yang sebenarnya merupakan bagian dari syirkah ra`sumāliyyah (syirkah dalam sistem ekonomi kapitalis).
Nama resmi BSI adalah PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), secara resmi lahir pada tanggal 1 Februari 2021, sebagai hasil merger antara PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI Syariah) https://ir.bankbsi.co.id/corporate_history.html).
BSI (Bank Syariah Indonesia) juga mengikuti program penjaminan simpanan yang diselenggarakan oleh LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan). Kode kepesertaan BSI (PT Bank Syariah Indonesia Tbk) dalam program penjaminan simpanan di situs LPS adalah : 20300005. (https://apps.lps.go.id/bankpesertapenjaminan).
Penjaminan itu berarti, jika BSI menjadi bank gagal atau melakukan fraud (kecurangan) sehingga terjatuh menjadi bank gagal, maka dana nasabah tidak hilang, melainkan dijamin aman dan dikembalikan kepada nasabah asalkan jumlahnya maksimal Rp 2 miliar.
(https://money.kompas.com/read/2023/05/16/184000826/lps–simpanan-nasabah-bsi-dijamin-tapi-)
Berdasarkan setidaknya 3 (tiga) fakta yang sudah kami paparkan sebelumnya di atas, yaitu ;
Pertama, hukum mudhārabah dalam fiqih Islam,
Kedua, bank syariah (sebagai contoh BSI) mengambil bentuk PT (Perseroan Terbatas), sebagai syirkah ra`sumāliyyah (syirkah dalam sistem ekonomi kapitalisme),
Ketiga, bank syariah (sebagai contoh BSI) mengikuti program penjaminan simpanan di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),
maka kami berpendapat bahwa hukum syirkah mudharabah yang dipraktikkan di bank syariah (contoh kasusnya BSI) adalah haram dan tidak sah menurut syariah.
Adapun alasan keharaman syirkah mudharabah di bank syariah (contoh kasusnya BSI) dikarenakan 2 (dua) alasan utama sebagai berikut :
Pertama, karena adanya penjaminan (dhomān) yang diberikan bank syariah kepada para nasabahnya, berdasarkan program penjaminan simpanan yang diikuti oleh bank di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Ini berarti jika bank syariah menjadi bank gagal, dana nasabah tidak akan hilang (hangus), melainkan akan dikembalikan oleh bank syariah kepada nasabah.
Adanya penjaminan ini, telah mengubah status modal mudhārabah yang disetor nasabah, menjadi pinjaman (qardh). Di sinilah masalahnya. Dalam situs fatwa www.islam.qa dijelaskan syarat modal syirkah, yaitu tidak boleh ada penjaminan atas modal tersebut sbb:
أَلاَّ يَضْمَنَ الْعَامِلُ رَأْسَ الْمَالِ، لأِنَّهُ إِنْ ضَمِنَهُ صاَرَتِ الْمُعَامَلَةُ دَائِرَةً بَيْنَ أَحَدِ أَمْرَيْنِ –وَكِلاَهُمَا مُحَرَّمٌ-: إِمَّا مُضَارَبَةٌ فَاسِدَةٌ ، وَإِمَّا رِبَا، لِأَنَّهُ بِضَمَانِ رَأْسِ الْمَالِ تَكُوْنُ الْمُعَامَلَةُ قَرْضًا، وَتَكُوْنُ اْلأَرْبَاحُ الَّتِيْ يَأْخُذُهَا صَاحِبُ رَأْسِ الْمَالِ هِيَ فِيْ مُقَابَلَةِ الْقَرْضِ، فَتَكُوْنَ رِبًا.
Artinya :
“Tidak boleh ‘āmil (pengelola modal) memberi penjaminan atas modal, karena jika pengelola modal memberi penjaminan atas modal, maka mu’āmalah yang ada akan berkisar pada dua hukum (keduanya hukumnya sama-sama haram), yaitu boleh jadi mudharabahnya akan berstatus fasād (rusak/cacat hukum), dan boleh jadi akan terjadi riba. Hal ini karena dengan penjaminan modal, maka muamalah yang ada sesungguhnya berubah menjadi pinjaman (qardh). Dengan demikian keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh pemilik modal, hakikatnya adalah imbalan dari adanya qardh, yaitu riba.” (https://www.google.com/amp/s/islamqa.info/amp/ar/answers/389447).
Kedua, karena bank syariah (contoh kasusnya BSI) bentuknya adalah PT kapitalis (syirkah ra`sumāliyah), maka pengelola dana nasabahnya adalah sebuah syakhshiyyah ma’nawiyah / syakhshiyyah i’tibāriyyah (Bld : recht persoon, Ingg : legal person), yakni manusia secara hukum, bukan manusia hakiki (mukallaf) yang berhak melakukan perbuatan hukum (al-tasharruf).
Padahal perbuatan hukum (al-tasharruf) dalam mengelola modal dari nasabah, misalnya melakukan akad jual beli, sewa menyewa, dsb, seharusnya dilakukan oleh orang hakiki, yaitu mukallaf yang memenuhi syarat kecakapan melakukan perbuatan hukum (ahliyyat al-tasharruf), bukan oleh syakhshiyyah ma’nawiyah (rechtpersoon). Setiap perbuatan hukum (al-tasharruf) yang tidak dilakukan oleh manusia hakiki, adalah batil.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani ketika mengkritik syakhshiyyah ma’nawiyah (syakhshiyyah i’tibāriyah) yang ada di sebuah PT (syirkah musāhamah), dengan mengatakan :
…تَكُوْنُ التَّصَرُّفاَتُ الَّتِيْ تَحْصُلُ مِنَ الشِّرْكَةِ بِوَصْفِهَا شَخْصِيَّةً مَعْنَوِيَّةً بَاطِلَةٌ شَرْعاً، لِأَنَّ التَّصَرُّفاَتِ يَجِبُ أَنْ تُصْدِرَ عَنْ شَخْصٍ مُعَيَّنٍ
“Perbuatan-perbuatan hukum (al-tasharruf) yang lahir dari syirkah musahamah (PT) dalam sifatnya sebagai syakhshiyyah ma’nawiyah adalah batil menurut syara’, karena perbuatan hukum itu wajib muncul dari pribadi yang tertentu (orang hakiki).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 172).
Kesimpulan
Hukum syirkah mudhārabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah haram dan tidak sah menurut syariah, karena 2 (dua) alasan utama;
Pertama, karena bank syariah telah melakukan penjaminan (dhomān) terhadap modal yang disetor nasabah. Penjaminan ini telah mengubah status modal (ra`sul māl) menjadi pinjaman (qardh). Konsekuensinya, keuntungan yang dihasilkan dari pengelolaan modal ini, hakikatnya adalah riba yang haram, bukan laba yang halal.
Kedua, karena bank syariah bentuknya adalah PT kapitalis (syirkah ra`sumāliyah), sehingga konsekuensinya yang mengelola modal nasabah adalah syakhshiyyah ma’nawiyah, padahal pengelolaan modal sebagai suatu tasharruf (perbuatan hukum) hanya sah dilakukan oleh orang mukallaf yang hakiki, bukan oleh syakhshiyyah ma’nawiyah. Wallāhu a’lam.
Jakarta, 3 Januari 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi