
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Assalamualaikum wr.wb. Apa kabar kyai? Sehat selalu ya kyai. Afwan izin bertanya. Ada pertanyaan dari ibu saya bagaimana hukum berkurban untuk si mayit? Tanggal 1 April 2025 kemarin bapak saya meninggal dunia kyai, sebelumnya pernah berencana bersama ibu untuk berkurban tahun ini. Apakah niat itu masih bisa dilaksanakan sementara bapak sudah meninggal? Mohon penjelasannya kyai. Jazakallah Khairan katsiran. (Irwansyah Daeng, Bandung).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Ada 2 (dua) kemungkinan hukum syara’ yang dapat diterapkan untuk menjawab kasus di atas;
Pertama, jika rencana ayah tersebut bentuknya adalah wasiat atau nadzar, maka wajib hukumnya berkurban untuk ayah tersebut, dengan biaya berasal dari harta waris yang ditinggalkan oleh ayah tersebut.
Kedua, jika rencana ayah tersebut bentuknya bukan nadzar atau wasiat, maka sunnah hukumnya seorang anak berkurban untuk ayahnya yang sudah meninggal, dengan biaya yang berasal dari anak itu sendiri, bukan dari ayah yang sudah meninggal tersebut.
Kemungkinan pertama, jika kurban untuk orang yang sudah meninggal itu, dalam rangka melaksanakan wasiat dari orang tersebut, termasuk juga nadzar, hukumnya wajib berdasarkan hadits sbb :
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ. فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ، فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ» أخرجه أبو داود -واللفظ له- والترمذي والبيهقي.
Dari Hanasy RA, dia berkata,”Aku melihat Ali menyembelih dua ekor kambing, lalu aku bertanya,’Apa ini?’ Maka Ali RA kemudian menjawab,”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku agar aku menyembelih kurban untuk beliau, maka saya menyembelih kurban atas nama beliau.” (HR. Abu Dawud, no. 2790; Al-Tirmidzi, no. 1495; dan Al-Baihaqi. Hadits ini menggunakan lafazh menurut Imam Abu Dawud).
Dalam redaksi (lafazh) hadits menurut Imam Al-Tirmidzi (tanpa lafazh wasiat) :
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ : أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَالْآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : أَمَرَنِي بِهِ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا أَدَعُهُ أَبَدًا
Dari Hanasy RA dari Ali RA,” Bahwasanya dia (Ali RA) telah menyembelih dua ekor kambing, yang satu adalah sembelihan atas nama Rasulullah SAW, sedang yang satu lagi, adalah sembelihan atas nama dia sendiri. Lalu ada yang bertanya kepada dia, kemudian Ali RA berkata,’Beliau telah memerintahkan kepadaku, yakni yang memerintah itu Nabi SAW, untuk melakukan itu (menyembelih kurban), maka aku tidak akan meninggalkan perintah itu selamanya.” (HR. Al-Tirmidzi, no. 1495).
Hadits di atas adalah dalil wajibnya melaksanakan wasiat dari seseorang yang meninggal untuk menyembelih kurban atas nama dia, dengan biaya dari harta orang yang meninggal tersebut (maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan, sesuai hukum wasiat).
Sama hukumnya dengan wasiat, adalah jika seseorang bernadzar akan menyembelih kambing, lalu sebelum nadzarnya terlaksana, dia meninggal dunia. Dalam kondisi ini wajib hukumnya atas ahli waris untuk melaksanakan nadzar orang tersebut, dengan biaya dari harta orang yang meninggal tersebut, karena dianggap utang (al-dain) yang menjadi beban si mayyit.
Kemungkinan kedua, yakni kurban tersebut bukan dalam dalam rangka melaksanakan wasiat atau nadzar dari orang tersebut, hukumnya sunnah (tidak wajib), berdasarkan hadits sbb :
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أنَّ رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: أُتِيَ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ عَظِيمَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ، فَأَضْجَعَ أَحَدَهُمَا، وَقَالَ: «بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ»، ثُمَّ أَضْجَعَ الْآخَرَ، فَقَالَ: «بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ مَنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلَاغِ» أخرجه أبو يعلى في “مسنده” -واللفظ له- وابن ماجه وأبو داود والبيهقي في “سننهم”، والطبراني في “المعجم الكبير”، والحاكم في “المستدرك” وصححه.
Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa Rasulullah SAW telah didatangkan kepada beliau dua ekor kambing (yang masing-masing memiliki tanduk yang melengkung dan bulu yang hitam), dan yang berukuran besar, yang siap untuk disembelih. Kemudian Rasulullah SAW membaringkan salah satunya (untuk disembelih), lalu beliau mengucapkan: ‘Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, ini dari Muhammad dan keluarganya.’ Kemudian, beliau juga membaringkan kambing yang lain (untuk disembelih), lalu Rasulullah SAW mengucapkan,’Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, ini dari Muhammad dan dari umatnya yang bersaksi untuk-Mu dengan tauhid dan yang bersaksi untukku bahwa aku sudah menyampaikan (risalah Islam).” (HR. Abu Ya’la dalam Al-Musnad, Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan al-Hakim).
Dalam kitab ‘Aunul Ma’būd (Syarah Sunan Abu Dawud), Imam Syamsul Haq al-’Azhim Abadi mensyarah hadits tersebut sbb :
الثَّابِتُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي عَنْ أُمَّتِهِ مِمَّنْ شَهِدَ لَهُ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ، وَعَنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَا يَخْفَى أَنَّ أُمَّتَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهِدَ لَهُ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ كَانَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ مَوْجُودًا زَمَنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ تُوُفُّوا فِي عَهْدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ؛ فَالْأَمْوَاتُ وَالْأَحْيَاءُ كُلُّهُمْ مِنْ أُمَّتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ دَخَلُوا فِي أُضْحِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَالْكَبْشِ الْوَاحِدِ كَمَا كَانَ لِلْأَحْيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ كَذَلِكَ لِلْأَمْوَاتِ مِنْ أُمَّتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِلَا تَفْرِقَةٍ. (عون المعبود ج 7 ص 344)
“Telah terbukti bahwa Nabi SAW pernah menyembelih kurban untuk umatnya, dari untuk orang-orang dari umatnya yang bersaksi untuk Allah dengan tauhid dan yang bersaksi bahwa Nabi SAW sudah menyampaikan (risalah Islam), juga terbukti beliau telah menyembelih untuk beliau dan keluarga beliau. Padahal tidaklah tersembunyi, bahwa umat beliau yang “bersaksi untuk Allah dengan tauhid dan yang bersaksi bahwa Nabi SAW aku sudah menyampaikan (risalah Islam)” banyak di antara mereka yang ada (masih hidup) di zaman Nabi SAW, namun banyak pula dari mereka yang sudah meninggal di masa Nabi SAW. Jadi umatnya yang sudah meninggal dan masih hidup, semuanya masuk ke dalam sembelihan Rasulullah SAW…tanpa ada perbedaan.” (Imam Syamsul Haq al-’Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’būd Syarah Sunan Abū Dāwud, 7/344)
Hadits di atas adalah dalil sunnahnya menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal (al-tadh-hiyyah ‘an al-mayyit), tanpa ada wasiat dan juga tanpa nadzar, dari orang yang sudah meninggal tersebut.
Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu ulama-ulama dari mazhab Hanafi dan mazhab Hambali; juga pendapat dari sebagian ulama mazhab Syafi’i, seperti Imam Nawawi dalam Al-Majmū’ (8/406) dan dalam Raudhat Al-Thālibīn (6/202), dan Imam Al-Khathib Al-Syarbaini dalam Mughnī Al-Muhtāj (6/138). (https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/20771/).
Adapun pendapat mazhab Maliki, memakruhkan penyembelihan kurban untuk orang yang sudah meninggal, dengan alasan dapat menimbulkan riya` dan membanggakan diri (al-mubāhāh). (Jadi kalau tidak terjadi riya` atau membanggakan diri, hukumnya boleh).
Pendapat mazhab Syafi’i, hanya membolehkan penyembelihan kurban untuk orang yang sudah meninggal, dengan syarat ada wasiat dari orang yang meninggal tersebut. Jika tidak ada wasiat, tidak boleh.
Inilah pendapat berbagai ulama dalam masalah ini, namun berdasarkan kajian dalil, yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yang mensunnahkan penyembelihan kurban untuk orang yang sudah meninggal, walau pun tidak ada wasiat darinya.
Kesimpulannya, ada 2 (dua) kemungkinan mengenai hukum berkurban untuk ayah yang sudah meninggal, sesuai “rencana” ayah tersebut sebelum meninggal, sbb;
Pertama, jika rencana ayah tersebut bentuknya adalah wasiat atau nadzar, maka wajib hukumnya berkurban untuk ayah tersebut, dengan biaya berasal dari harta waris yang ditinggalkan oleh ayah tersebut.
Kedua, jika rencana ayah tersebut bentuknya bukan nadzar atau wasiat, maka sunnah hukumnya seorang anak berkurban untuk ayahnya yang sudah meninggal, dengan biaya yang berasal dari anak itu sendiri, bukan dari ayah yang sudah meninggal tersebut.
Dari dua kemungkinan tersebut, kami mempunyai dugaan kuat (ghalabat al-zhann) bahwa rencana ayah tersebut bentuknya bukan wasiat atau nadzar, dengan dalil (bukti) bahwa pihak penanya sama sekali tidak mennyinggung-nyinggung adanya “wasiat” atau “nadzar” dari sang ayah.
Maka dari itu, pertanyaan yang diajukan, yakni “Apakah niat (berkurban) itu masih bisa dilaksanakan sementara bapak saya sudah meninggal?”, jawabannya adalah : “Boleh bahkan sunnah hukumnya menyembelih kurban untuk ayah yang sudah meninggal, dengan biaya dari anak, bukan dari harta waris ayah yang meninggal.” Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 9 Mei 2025 Muhammad Shiddiq Al-Jawi