
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, izin mau bertanya perihal jual rumah atas rumah yang diwakafkan dari donatur kepada kami (sebuah lembaga filantropi). Jadi donatur menyerahkan rumahnya untuk diwakafkan ke pembangunan masjid dengan memperbolehkan kami untuk menjual rumahnya, lalu hasil penjualannya digunakan untuk membangun masjid. Lalu dari kami punya rencana strategi untuk jual melalui pihak lain (broker) seperti Ray and White, Era, Brighton, dsb. Akadnya adalah samsarah. Nah, biar tidak terjadi samsaroh ala samsaroh, ketentuan apa saja yang perlu dibuat agar sesuai syar’i. Mohon penjelasannya Ustadz. (Hamba Allah, Jakarta).
Jawab :
Dari pertanyaan di atas, nampak bahwa ada 3 (tiga) akad yang sudah dan akan dilakukan, yaitu :
Pertama, akad antara donatur dengan lembaga filantropi.
Kedua, akad antara lembaga filantropi dengan broker (Ray and White, dsb)
Ketiga, akad antara broker dengan pembeli.
Namun meskipun ada tiga akad, akad pertamalah yang menjadi dasar dari akad-akad lainnya dan jawaban kami akan fokus pada akad pertama ini. Namun yang menjadi masalah, akad pertama ini tidaklah terlalu jelas bagi kami, apakah akadnya adalah akad wakaf atau akad yang lain? Ataukah mungkin ada akad lainnya, misalnya wakālah bil ujrah? Akad wakālah bil ujrah yang dimaksud di sini adalah akad wakalah antara donatur yang menyerahkan rumahnya kepada lembaga filantropi agar lembaga tsb menjualkan rumahnya itu dengan memberi upah kepada lembaga filantropi.
Kami akan menganalisis dua kemungkinan akad tersebut;
Kemungkinan akad pertama, jika akadnya adalah akad wakaf, yaitu pihak donatur mewakafkan rumahnya kepada pihak lembaga. Dengan demikian, sesuai rukun-rukun akad wakaf, berarti :
- wāqif (pewakaf) adalah donatur
- mauqūf ‘alaihi (penerima wakaf), adalah lembaga filantropi.
- mauqūf (barang wakaf), adalah rumah.
- shighat (redaksi ijab dan kabul), adalah surat perjanjian wakaf di antara wāqif dan mauqūf ‘alaihi. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 44, hlm. 122-171)
Padahal salah satu hukum syara’ yang terkait dengan al-mauqūf (barang wakaf), adalah tidak boleh penerima wakaf (al-mauqūf ‘alaihi) atau pengurus wakaf (nāzhir waqaf) menjualbelikan barang wakaf itu.
Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan dan Imam Muslim bahwa Umar bin Khaththab RA ingin menyedekahkan kebun kurma miliknya di Khaibar. Maka beliau meminta saran kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW menyuruh Umar bin Khaththab RA untuk mewakafkan kebun kurma itu dengan bersabda bersabda:
تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ
“Sedekahkanlah (hasil dari) pokoknya, tidak dijual (harta pokoknyaitu), dan tidak dihibahkan, tidak diwariskan, akan tetapi diinfakkan buahnya”. (HR. Al-Bukhari, nomor 2764; dan Muslim, nomor 2764).
Syaikh Abdullāh Al-Bassām berkata dalam kitabnya Taysīr Al-’Allām Syarah ‘Umdat Al-Ahkām menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ: (لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ) حُكْمُ التَّصَرُّفِ فِي الْوَقْفِ، فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ نَقْلُ الْمِلْكِ فِيهِ، وَلَا التَّصَرُّفُ الَّذِي يُسَبِّبُ نَقْلَ الْمِلْكِ…
“Diambil dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi (لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ) yang berarti : “Harta pokoknya tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan,” hukum memanfaatkan harta wakaf, yaitu bahwa tidak boleh memindahkan kepemilikan barang wakaf, juga tidak boleh ada pemanfaatan (tasharruf) yang menyebabkan pemindahan kepemilikan…” (Syaikh Abdullāh Al-Bassām, Taysīr Al-’Allām Syarah ‘Umdat Al-Ahkām, hlm.535).
Kesimpulannya, jika akadnya adalah akad wakaf, yaitu wakaf dari donatur kepada lembaga filantropi, maka status rumah itu adalah barang wakaf (al-mauqūf). Padahal barang wakaf (al-mauqūf) menurut syariah Islam tidak boleh dijualbelikan, sesuai apa yang sudah kami jelaskan sebelumnya di atas.
Maka dari itu, jika lembaga filantropi itu menjual rumah itu, baik menjual sendiri maupun melalui broker dengan akad samsarah, seperti Ray and White, dsb, hukumnya adalah haram dan sudah melampaui batas yang dibolehkan syariah.
Kemungkinan akad kedua, adalah akad wakālah bil ujrah, yaitu akad wakalah antara donatur yang menyerahkan rumahnya kepada lembaga filantropi, agar lembaga filantropi tersebut menjualkan rumahnya itu dengan memberi upah kepada lembaga filantropi, lalu uang hasil penjualannya diwakafkan untuk membangun masjid.
Apakah boleh akad wakālah bil ujrah tersebut, yang berujung pada wakaf uang (cash waqf) dari pihak donatur untuk keperluan membangun sebuah masjid?
Jawabannya : Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai hukum wakaf uang (cash waqf). Jumhur ulama (mayoritas ulama), yaitu ulama dari 3 (tiga) mazhab, yakni mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, tidak memperbolehkan zakat uang. Sedang mazhab Maliki, memperbolehkan.
Pendapat yang rājih (lebih kuat), adalah pendapat yang tidak memperbolehkan. Mengapa pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang rājih (lebih kuat)? Karena wakaf uang tidak memenuhi syarat syarat barang wakaf, yaitu zat barang wakaf harus tetap ada ketika barang wakaf dimanfaatkan. Dalam hal wakaf uang, uang itu akan lenyap atau habis dari tangan penerima wakaf, jika uang sebagai barang wakaf itu dimanfaatkan. Maka wakaf uang tidak sah atau tidak diperbolehkan menurut syariah.
Berikut ini beberapa kutipan pendapat yang mewakili jumhur ulama yang tidak memperbolehkan wakaf uang (cash waqf);
Pertama, pendapat Imam Ibnul Hummam (w. 681 H) (ulama mazhab Hanafi).
يَقُولُ ابْنُ الْهُمَامِ : « وَأَمَّا وَقْفُ مَا لَا يُنْتَفَعُ بِهِ إلَّا بِالْإِتْلَافِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ، وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِّيٍّ». فتح القدير، لابن الهمام (6/219).
Imam Ibnul Hummām berkata,”Adapun mewakafkan apa-apa yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan melenyapkan (zat barang wakaf), seperti emas, perak, makanan, minuman, maka hukumnya tidak boleh menurut umumnya fuqoha. Yang dimaksud dengan emas dan perak, adalah dinar dan dirham, dan apa-apa yang bukan perhiasan.” (Ibnul Hummām, Fathul Qadīr, Juz VI, hlm. 219).
Kedua, pendapat dalam kitab Al-Fatāwā Al-Hindiyyah (mazhab Hanafi).
وَفِي الْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ : « وَلَوْ وَقَفَ دَرَاهِمَ أَوْ مِكْيَلًا أَوْ ثِيَابًا لَمْ يَجُزْ». الفتاوى الهندية، للجنة علماء برئاسة نظام الدين البلخي (2/365)
Dalam kitab Al-Fatāwā Al-Hindiyyah disebutkan,”Kalau (seseorang) mewakafkan dirham (uang) atau satu takaran (makanan) atau sehelai baju, hukumnya tidak boleh.” (Lajnah Ulama di bawah pimpinan Nizhamuddin Al-Balkhi, Al-Fatāwā Al-Hindiyyah, Juz II, hlm. 365).
Ketiga, pendapat Imam Ibnu Qudamah (w. 629 H) (ulama mazhab Hambali).
يَقُولُ ابْنُ قُدَامَةَ فِي الْمُغْنِي : « وَمَا لَا يُنْتَفَعُ بِهِ إلَّا بِالْإِتْلَافِ، مِثْلُ الذَّهَبِ وَالْوَرَقِ وَالْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ، فَوَقْفُهُ غَيْرُ جَائِزٍ».
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughnī,”Apa-apa yang tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya zat (barang), seperti dinar, dirham, makanan, minuman, maka mewakafkannya tidak boleh.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Juz V, hlm. 374).
Dengan demikian, jika akadnya adalah akad wakālah bil ujrah, yang berujung pada wakaf uang (cash waqf) dari pihak donatur untuk keperluan membangun sebuah masjid, hukumnya tidak boleh, sesuai pendapat jumhur ulama yang tidak membolehkan wakaf uang.
Kesimpulannya, akad pertama pada muamalah yang ditanyakan di atas, yaitu akad antara donatur dengan lembaga filantropi, baik akad pertama itu diasumsikan sebagai akad wakaf, maupun diasumsikan sebagai akad wakālah bil ujrah, hukumnya tidak boleh menurut Syariah Islam.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari tidak bolehnya akad pertama, maka akad-akad selanjutnya, yaitu akad kedua (akad antara lembaga filantropi dengan broker), dan akad ketiga (akad antara broker dengan pembeli), hukumnya juga tidak diperbolehkan secara syariah, karena dua akad tersebut hukumnya mengikuti hukum akad pertama. Kaidah fiqih yang terkait dengan masalah ini menyebutkan :
اَلتَّابِعُ تَابِعٌ
At-Tābi’u tābi’un. Artinya, segala sesuatu yang mengikuti (sesuatu yang lain), hukumnya mengikuti (sama dengan) sesuatu yang lain (yang diikuti itu). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz I, hlm. 352).
Selain itu, jika akad pertama sudah terbukti tidak boleh secara syariah, maka akad-akad selanjutnya, yaitu akad kedua dan akad ketiga, hukumnya juga tidak boleh, karena akad kedua dan ketiga ini dibangun di atas dasar akad pertama yang terbukti tidak boleh. Kaidah fiqih lain yang terkait dengan masalah ini menegaskan :
إِذَا سَقَطَ اْلأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ
Idza saqatha al-ashlu saqatha al-far’u. Artinya, jika masalah yang dasar sudah gugur (tidak sah/haram/batil), maka gugur pula masalah yang menjadi cabangnya. (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz I, hlm. 271). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 11 April 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi