Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, ada seseorang pada tahun 2000 berhutang Rp 20 juta. Tahun ini 2022 dia pingin melunasi hutang tersebut. Akan tetapi yang menghutangi memberi catatan sebagai berikut : tahun 2000-an Rp 20 juta bisa mendapat 20 gram emas. Sekarang harga 20 gram emas Rp160 juta. Emas tidak naik, namun juga tidak turun, sedangkan rupiah selalu turun. Apakah yang berhutang tetap harus membayar Rp 20 juta? Atau kalau yg menghutangi meminta pembayaran seperti perhitungan emas di atas, bukannya termasuk riba? Bagaimana solusinya tadz? (Fanani, Bogor)
Jawab :
Hukum asalnya dalam pengembalian pinjaman (qardh) adalah wajib hukumnya dikembalikan dengan yang semisal (raddul mitsli), yaitu sama jenisnya dan sama jumlahnya. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :
فَلاَ يَحِلُّ إِقْرَاضُ شَيْءٍ لِيُرَدَّ إِلَيْكَ أَقَلَّ أِوْ أَكْثَرَ، وَلاَ مِنْ نَوْعٍ آخَرَ أَصْلاً. لَكِنْ مِثْلُ مَا أَقْرَضْتَ فِيْ نَوْعِهِ وَمِقْدَارِهِ
“…maka tidak halal meminjamkan suatu harta agar dikembalikan kepadamu dengan jumlah yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, dan tidak boleh pula dikembalikan dengan jenis yang lain menurut hukum asalnya. Tetapi pengembalian itu wajib semisal dengan apa yang kamu pinjamkan, dalam jenisnya dan dalam jumlahnya (kuantitasnya).” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Iqtishâdi fi Al-Islâm, hlm. 259, Bab Ar-Ribâ wa Ash-Sharf).
Maka dari itu, jika seseorang meminjam Rp 20 juta, maka dia wajib mengembalikan pinjaman (qardh) dalam jenis yang sama, yaitu dalam mata uang rupiah, tidak boleh dengan mata uang lain, misalnya dolar AS. Demikian pula pengembalian itu wajib dalam jumlah yang sama, yaitu Rp 20 juta, yakni tidak boleh ada tambahan misalnya menjadi Rp 25 juta, tidak boleh pula ada pengurangan misalnya menjadi Rp 15 juta.
Namun jika terjadi penurunan nilai uang, misal karena inflasi, para ulama berbeda pendapat mengenai cara pengembalian pinjaman dalam kasus seperti ini. Secara garis besar ada dua pendapat dalam masalah ini;
Pertama, pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, juga satu pendapat (qaul) dari Imam Abu Hanifah, bahwa pengembalian pinjaman tetap wajib dikembalikan dengan yang semisal (raddul mitsli), tanpa mempedulikan terjadinya kenaikan atau penurunan nilai uang. (‘Utsmân Falîh Hasan Al-Muhammadî, Taghayyur Qîmat An-Nuqûd, hlm. 204-205).
Berdasarkan pendapat ini, misalnya seseorang meminjam Rp 1 juta rupiah pada tahun 2015, yang waktu itu dengan Rp 1 juta dia dapat membeli 2 gram emas. Maka jika dia mengembalikan pinjaman itu pada tahun 2022, ketika dengan Rp 1 juta hanya dapat membeli 1 gram emas, maka dia wajib tetap mengembalikan pinjaman pada tahun 2022 sebesar Rp 1 juta, bukan mengembalikan Rp 2 juta dengan alasan mempertahankan nilai uang.
Kedua, pendapat Imam Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah, bahwa pengembalian pinjaman menyesuaikan dengan kenaikan atau penurunan dari nilai uang. Maka pengembalian pinjaman besarnya menyesuaikan dengan nilai pinjaman saat pengembalian, bukan dengan jumlah yang sama saat peminjaman. (‘Utsmân Falîh Hasan Al-Muhammadî, Taghayyur Qîmat An-Nuqûd, hlm. 204-205).
Berdasarkan pendapat ini, misalnya seseorang meminjam Rp 1 juta rupiah pada tahun 2015, yang waktu itu dengan Rp 1 juta dia dapat membeli 2 gram emas. Maka jika dia mengembalikan pinjaman itu pada tahun 2022, dia wajib mengembalikan pinjaman pada tahun 2022 ini sebesar Rp 2 juta, dengan alasan mempertahankan nilai uang, yaitu nilai uang pada tahun 2015 ketika Rp 1 juta senilai dengan 2 gram emas.
Pendapat yang râjih (lebih kuat) dari dua pendapat tersebut, adalah pendapat jumhur ulama yang menegaskan bahwa pengembalian pinjaman tetap wajib dikembalikan dengan yang semisal (raddul mitsli), tanpa melihat lagi kenaikan atau penurunan nilai uang.
Pendapat jumhur inilah yang kemudian dipilih dalam Majallat Al-Ahkâm Al-‘Adliyyah (Kodifikasi Hukum Islam Khilafah Utsmaniyyah) pada pasal ke-750 yang berbunyi :
وَإِذَا كَانَ القَرْضُ فُلوسًا أَوْ دَراهِمَ مُكَسَّرَةً ، أَوْ أَوْرَاقًا نَقْديَّةً ، فَغَلَّتْ أَوْ رَخَّصَتْ أَوْ كَسَدَتْ ، وَلَمْ تَحْرُمْ المُعامَلَةُ بِهَا وَجَبَ رَدُّ مِثْلُها
“Dan jika pinjaman itu berupa fulûs (uang tembaga) atau dirham pecahan, atau uang kertas, lalu uang itu mengalami kenaikan nilai, atau penurunan nilai, atau tak berlaku lagi, maka tidak dilarang untuk bermuamalah dengan berbagai bentuk uang tersebut, dan wajib mengembalikannya dengan yang semisal.” (Lihat https://al-maktaba.org/book/8356/9836).
Pendapat jumhur itu pulalah yang difatwakan oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmî dalam sidangnya di Kuwait pada tanggal 15 Desember tahun 1988 :
العِبْرَةُ فِي وَفاءِ الدُّيونِ الثّابِتَةِ بِعُمْلَةٍ مَا ، هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ لِأَنَّ الدُّيونَ تُقْضَى بِأَمْثالِها ، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيونِ الثّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ أَيًّا كَانَ مَصْدُها بِمُسْتَوَى الأَسْعارِ
“Yang menjadi patokan dalam pengembalian utang-utang yang telah tetap dalam mata uang apa pun, adalah pengembalian yang semisal, bukan pengembalian dengan nilainya, karena utang-utang itu dilunasi dengan yang semisalnya. Maka tidak boleh mengaitkan utang-utang yang telah tetap –dari manapun sumbernya- dengan tingkat harga-harga [misal mengaitkan utang dengan harga emas pada saat peminjaman].” (‘Alî Ahmad As-Sâlûs, Mausû’ah Al-Qadhâyâ Al-Mu’âshirah wa Al-Iqtishâd Al-Islâmî, Qathar : Dâr Ats-Tsaqâfah, 2006, hlm. 427; Muhammad Taqî ‘Utsmânî, Bûhûts fî Qadhâyâ Fiqhiyyah Mu’âshirah, Damaskus : Dâr Al-Qalam, Juz I, hlm. 169).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa pengembalian pinjaman (qardh) jika terjadi penurunan nilai uang, adalah tetap wajib hukumnya dengan yang semisal (raddul mitsli), tidak ada penambahan atau pengurangan.
Maka jawaban kami untuk kasus di atas, bahwa pengembalian utang kepada pihak pemberi utang pada tahun 2022 adalah tetap dengan uang sejumlah Rp 20 juta, bukan dengan uang Rp 160 juta seperti yang diklaim oleh pemberi utang.
Jika pemberi utang (kreditur) menerima pengembalian Rp 20 juta itu, dengan memahami dalil-dalilnya, alhamdulillah masalahnya sudah selesai. Namun jika kreditur tidak menerima pengembalian itu karena merasa dirugikan, maka solusinya secara syariah adalah solusi umum untuk setiap sengketa (al-khushûmât, dispute), yaitu secara bertahap mengikuti tiga solusi syariah sebagai berikut :
Pertama, al-ishlâh, atau ash-shulhu, yaitu perdamaian antara para pihak, dalam hal ini antara kreditur dan debitur, untuk berunding dan menentukan besarnya pengembalian utang yang dapat diterima oleh kreditur dan disanggupi oleh debitur. Solusi tahap pertama ini dalam istilah hukum positif di Indonesia sering disebut dengan istilah “musyawarah untuk mufakat.”
Kedua, at-tahkîm, atau arbitase syariah, yaitu melibatkan pihak ketiga sebagai mediator non-hakim, misalnya seorang ulama ahli fiqih muamalah, untuk menentukan besarnya pengembalian utang yang dapat diterima oleh kreditur dan disanggupi oleh debitur.
Ketiga, al-qâdha` asy-syar’î, yaitu peradilan syariah yang akan menyelesaikan sengketa ini berdasarkan hukum syara’ yang diputuskan oleh qâdhî (hakim syariah) dalam suatu sidang di pengadilan syariah.
Kesimpulannya, hukum asalnya dalam pengembalian pinjaman (qardh) adalah wajib hukumnya dikembalikan dengan yang semisal (raddul mitsli), tanpa mempertimbangkan terjadinya kenaikan atau penurunan nilai uang. Jika pihak pemberi pinjaman tidak menerima, maka solusinya adalah menyelesaikan sengketa ini secara bertahap melalui al-ishlâh, kemudian at-tahkîm, kemudian al-qâdha` asy-syar’î. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 29 Agustus 2022
M. Shiddiq Al Jawi