Home Fiqih Fiqih Muamalah SYIRKAHNYA TIGA ORANG, DUA ORANG BERKONTRIBUSI MODAL DAN KERJA, SATU ORANG HANYA...

SYIRKAHNYA TIGA ORANG, DUA ORANG BERKONTRIBUSI MODAL DAN KERJA, SATU ORANG HANYA BERKONTRIBUSI KERJA

21

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, ada tiga orang bersyirkah, A, B, dan C. Pihak A dan B sama-sama berkontribusi modal dan kerja, dengan modal masing-masing sebesar Rp 500 juta. Sedangkan pihak C hanya berkontribusi kerja, namun tidak berkontribusi modal sama sekali. Bolehkah bentuk syirkah seperti ini? (Hamba Allah, Bandung).

 

Jawab :

Syirkah yang diamalkan dalam kasus ini, menurut kami terbukti telah menyalahi syara’, karena tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān dan Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan syara’, sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām.

Syirkah yang diamalkan tersebut, adalah syirkah antara 3 (tiga) syarīk (pesyirkah), yang terdiri dari dua syarīk yang masing-masing berkontribusi modal dan kerja, yaitu A dan B, dengan satu syarīk lainnya, yaitu C, yang hanya berkontribusi kerja, tanpa berkontribusi modal.

Syirkah yang diamalkan di atas, telah menyalahi syara’, karena tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān, yang definisinya adalah sebagai berikut :

شَرِكَةُ الْعِنَانِ هِيَ أَنْ يَشْتَرِكَ بَدَنَانِ بِمَالَيْهِمَا، أَيْ أَنْ يَشْتَرِكَ شَخْصَانِ بِمَالَيْهَا عَلَى أَنْ يَعْمَلَا فِيهِ بِأَبْدَانِهِمَا وَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا

Syirkah ‘Inān adalah berserikatnya dua badan (dua orang pengelola modal),  dengan modal yang berasal dari keduanya (keduanya sama-sama berkontribusi modal). Artinya, syirkah ‘inan adalah berserikatnya dua orang dengan kontribusi modal dari keduanya, yang keduanya akan sama-sama bekerja dalam syirkah terrsebut, dengan keuntungan (bagi hasil) sesuai kesepakatan di antara keduanya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 150, Bab Syirkah ‘Inān).

 

Berdasarkan definisi Syirkah ‘Inān tersebut, syirkah yang ditanyakan telah menyalahi syara’ karena ada satu orang syarīk yang hanya berkontribusi kerja (tanpa berkontribusi modal), sedang dua orang syarīk lainnya, telah berkontribusi modal dan kerja sekaligus.

Syirkah yang diamalkan ini sebenarnya dapat disyariahkan menjadi Syirkah ‘Inān, dengan cara mengulangi akad syirkah yang ada, dan pada akad yang baru, syarīk yang awalnya hanya berkontribusi kerja, diminta untuk berkontribusi modal dalam jumlah modal yang sewajarnya (bukan sekedar jumlah formalitas), seperti dua orang syarīk lainnya. Namun hal ini tidak terjadi, sehingga akhirnya terjadi cacat hukum pada syirkah yang ditanyakan tersebut, karena tidak memenuhi definisi Syirkah ‘Inān tersebut.

Di sini kami menegaskan, bahwa kontribusi modal dari syarīk yang hanya berkontribusi kerja tersebut, hendaknya dalam jumlah modal yang sewajarnya, bukan sekedar formalitas dalam sembarang jumlah agar menjadi Syirkah ‘Inān. Misalnya, syarīk tersebut hanya berkontribusi Rp 5 juta, sementara syarīk-syarīk lainnya berkontribusi modal sebesar Rp 500 juta. Tentu jumlah modal ini hanya sekedar formalitas dan tidak sewajarnya, padahal yang dituntut oleh syara’ adalah jumlah modal yang sewajarnya, yang dapat merujuk pada kebiasaan umum dalam masyarakat untuk usaha (bisnis) yang serupa.

Terdapat kaidah fiqih yang relevan dalam masalah ini, yang berbunyi :

كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ وَلَا فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى الْعُرْفِ

Kullu mā warada bihi al-sy syar’u muthlaqan wa lā dhābitha lahu fīhi wa lā fī al-lughati yarji’u fīhi ila al-‘urfi. Artinya, “Segala sesuatu ketentuan syariah yang bersifat mutlak, yang tidak ada patokannya menurut Syariah Islam atau menurut Bahasa Arab, maka patokannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat (‘urf).” (Imam Jalaluddin As-Suyūthī, Al-Asybāh wa Al-Nazhā`ir, hlm. 98).

Jadi, syirkah yang diamalkan di atas, telah terbukti melanggar syara’ karena tidak sesuai dengan definisi Syirkah ‘Inān, yang mensyaratkan semua syarīk untuk berkontribusi dua hal sekaligus, yaitu modal dan kerja.

Syirkah yang diamalkan di atas, juga tidak sesuai dengan bentuk syirkah lain, yaitu Syirkah Mudhārabah, dalam bermacam-macam modelnya. Terdapat 4 (empat) model/bentuk syirkah mudharabah yang dibolehkan syara’ sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, yaitu :

 

Model Pertama, syirkah mudharabah antara seorang pemodal (shāhibul māl) dan seorang pengelola modal (mudhārib). Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

شَرِكَةُ الْمُضَارَبَةِ هِيَ أَنْ يَشْتَرِكَ بَدَنٌ وَمَالٌ

“Syirkah mudharabah adalah berserikatnya satu orang pengelola modal dengan satu orang pemodal.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 154, Bab Syirkah Mudhārabah).

Model Kedua, syirkah mudharabah antara dua orang pemodal, dengan pengelola modal salah satu dari dua orang pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

وَمِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالَانِ وَبَدَنُ أَحَدِهِمَا

“Dan termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal, dengan pengelola modal salah satu dari dua orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 155, Bab Syirkah Mudhārabah).

Model Ketiga, syirkah mudharabah antara dua orang pemodal, dengan pengelola modal orang ketiga di luar dua orang pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

وَكَذَلِكَ مِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالَانِ وَبَدَنُ غَيْرِهِمَا

“Dan demikian pula, termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal, dengan pengelola modal pihak ketiga di luar dua orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 155, Bab Syirkah Mudharabah).

Model Keempat, syirkah mudharabah antara dua orang pengelola modal (mudhārib), dengan pemodal (shāhibul māl) orang ketiga di luar dua orang pengelola modal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

وَمِنْ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ َبَدَناَنِ بِمَالِ غَيْرِهِمَا

“Dan termasuk dalam kategori syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pengelola modal, dengan pemodal orang ketiga di luar dua orang pengelola modal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 156, Bab Syirkah Wujūh, dengan sedikit perubahan redaksional tanpa mengubah makna).

 

Setelah kami melakukan studi induktif (al-istiqrā`) terhadap model-modal syirkah mudharabah yang dibolehkan syara’ menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas, kami menyimpulkan, terdapat pola (pattern) yang bersifat konsisten dan berulang, yang akhirnya menjadi satu ciri khas yang selalu ada dalam syirkah mudharabah, yaitu adanya pemodal murni yang dapat didefinisikan sebagai pihak yang hanya berkontribusi modal tanpa ikut berkontribusi kerja. Pihak ini dalam istilah Bahasa Inggris disebut dengan istilah sleeping partner atau silent partner.

Jika kita mencermati dan menelusuri model-modal syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas, akan kita dapati bahwa pihak pemodal murni ini, selalu ada dalam keempat model/bentuk syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas.

Berdasarkan hal ini, maka terbukti telah terjadi pelanggaran syariah dalam syirkah yang ditanyakan di atas, yaitu syirkah antara 3 (tiga) syarīk (pesyirkah), yang terdiri dari dua orang syarīk (pihak A dan B) yang masing-masing berkontribusi modal dan kerja, dengan satu syarīk lainnya sebagai syarīk ketiga (pihak C), yang hanya berkontribusi kerja, tanpa berkontribusi modal. Letak pelanggaran syariahnya, adalah adanya syarīk ketiga ini (pihak C), yang hanya berkontribusi kerja. Adanya syarīk ketiga ini, telah membuat syirkah yang diamalkan tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu model dari empat model Syirkah Mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dan juga tidak dapat dikategorikan sebagai Syirkah ‘Inān, sebagaimana penjelasan sebelumnya di atas.

Kami perlu sedikit menambahkan, mengenai studi induktif (al-istiqrā`), yang telah kami amalkan terhadap model-modal syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sehingga kami menyimpulkan secara umum bahwa ciri khas syirkah mudharabah menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah selalu adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa ikut berkontribusi kerja.

 

Pengertian al-istiqrā` (studi induktif) adalah sebagai berikut :

الإِسْتِقْرَاءُ (فِي عِلْمِ أُصُوْلِ الْفِقْهِ) هُوَ اِسْتِنْتاجُ حُكْمٍ كُلِّيٍّ مِنْ تَتَبُّعِ جُزْئِيَّاتِهِ

Al-Istiqrā` (dalam ilmu ushul fiqih) adalah penyimpulan hukum syara’ kulli (yang bersifat menyeluruh/general) dari penelusuran hukum-hukum syara’ parsialnya.

(https://ar.wikipedia.org/wiki/استقراء_(أصول_الفقه)

 

Al-Istiqrā` ini diamalkan oleh para ulama dalam dua hal, yaitu :

  1. Perumusan qawā’id fiqhiyyah.
  2. Perumusan qawā’id ushūliyah.

(https://feqhweb.com/vb/threads/الاستقراء-عند-الأصوليين-على-شكل-وورد.13766/ ).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani sendiri telah menggunakan metode Al-Istiqrā` tersebut untuk merumuskan qā’idah (prinsip) hukum Islam secara general (kulli), setidaknya dalam 3 (tiga) masalah sebagai berikut;

Pertama, dalam sistem pemerintahan Islam, terdapat 4 (empat) hukum syariah kulli berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu : (1) kedaulatan di tangan syara’; (2) kekuasaan di tangan umat Islam; (3) kewajiban mengangkat satu orang khalifah; dan (4) hanya khalifah yang berhak melakukan legislasi hukum syariah menjadi Konstitusi Syariah atau Undang-Undang Syariah.

(Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz I, hlm. 109 – 110; Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 40).

Kedua, dalam sistem ekonomi Islam, terdapat 3 (tiga) hukum syariah kulli berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu 3 (tiga) qā’idah (dasar/prinsip) dalam sistem ekonomi Islam, yaitu;

Pertama, Kepemilikan (اَلْمِلْكِيَّةُ).

Kedua, Pengelolaan Kepemilikan (اَلتَّصَرُّفُ فِي الْمِلْكِيَّةِ).

Ketiga, Distribusi Kekayaan Kepada Masyarakat (تَوْزِيْعُ الثَّرْوَةِ بَيْنَ النَّاسِ).

(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, hlm. 66).

Ketiga, dalam ilmu ushul fiqih, terdapat 5 (lima) bagian dari Al-Qur`an dan Al-Sunnah (aqsām al-Kitāb wa Al-Sunnah), yang disimpulkan berdasarkan metode Al-Istiqrā`, yaitu :

(1) Amar dan Nahi.

(2) ‘Umūm dan Khushūsh.

(3) Mutlak dan Muqayyad.

(4) Mujmal dan Mubayyan.

(5) Nāsikh dan Mansūkh.

(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, Juz III [Ushul Al-Fiqh], hlm. 201).

Demikianlah contoh-contoh penggunaan metode Al-Istiqrā` yang sudah dipraktikkan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani untuk merumuskan hukum syariah yang bersifat kulli (general) berdasarkan studi terhadap hukum-hukum syariah yang bersifat juz’i (parsial). Metode Al-Istiqrā` inilah yang juga kami praktikkan terhadap macam-macam model/bentuk Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan oleh Taqiyuddin An-Nabhani. Dengan mengkajinya, kami menyimpulkan bahwa ciri khas syirkah mudharabah secara umum menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah selalu adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa berkontribusi kerja.

 

Kesimpulannya, syirkah yang ditanyakan dalam kasus ini, terbukti tidak sesuai dengan model Syirkah ‘Inān dan Syirkah Mudhārabah yang dibolehkan syara’, sesuai pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Nizhām al-Iqtishādi fī al-Islām, yang ciri khasnya (untuk Syirkah Mudhārabah) secara umum adalah adanya pemodal murni yang hanya berkontribusi modal tanpa berkontribusi kerja. Pemodal murni ini tidak ditemukan dalam syirkah mudharabah yang ditanyakan.

Kami menegaskan, status syirkah yang diamalkan dalam kasus ini statusnya adalah batil, karena cacat hukumnya terjadi pada rukun akad pertama dari tiga rukun akad muamalah (arkān al-‘aqad), yaitu dua pihak yang berakad (al-‘āqidāni) dalam akad syirkah.

Inilah pendapat yang rājih menurut kami. Di sini kami katakan “pendapat yang rājih”, maksudnya adalah dalam masalah ini memang ada khilāfiyah, dan kami tahu ada pendapat lain yang berbeda dengan pendapat kami, namun kami menganggap pendapat tersebut marjūh (pendapat yang lemah secara tarjih), meskipun kami tetap menghormati pendapat lain tersebut, dan mengakui bahwa pendapat lain tersebut masih merupakan pendapat yang Islami (al-ra`yu al-Islāmī). Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 17 Mei 2025

Muhammad Shiddiq Al-Jawi