Home Fiqih Fiqih Muamalah PERSYARATAN “SETIAP BARANG YANG DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN”, BOLEHKAH?

PERSYARATAN “SETIAP BARANG YANG DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN”, BOLEHKAH?

108

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, saya penjual mainan anak-anak, harganya sekitar Rp 200 ribu. Dalam struk pembelian tertulis ketentuan bahwa “setiap barang yang sudah dibeli tak dapat ditukar atau dikembalikan.” Nah, dalam satu kasus, ada anak yang membeli suatu mainan, ternyata kemudian ibu anak tersebut tidak setuju dan mau membatalkan jual beli. Saya sebagai penjual keberatan dengan pembatalan jual beli dan memberi alternative untuk menukar mainan yang dibeli dengan mainan lain asalkan mainan yang dibeli masih mulus. Bagaimana hukumnya Ustadz? (Astri, Yogyakarta).

 

Jawab :

Tidak boleh dalam jual beli menetapkan suatu syarat yang berbunyi “setiap barang yang sudah dibeli tak dapat ditukar atau dikembalikan,” karena syarat ini bertentangan dengan syara’, yaitu adanya khiyar ‘aib yang dimiliki oleh pembeli. Khiyar ‘aib adalah hak pilih (opsi) yang dimiliki oleh pembeli untuk memilih antara meneruskan atau membatalkan (fasakh) jual beli jika terdapat cacat pada barang yang sudah dibeli.

 

Setiap syarat yang bertentangan dengan syara’ tidak diperbolehkan, sesuai sabda Nabi SAW :

 

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

 

“Setiap-tiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka syarat itu batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari, no. 2729; Muslim, no. 1504; Ibnu Majah, no. 2521).

 

Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna, para fuqoha merumuskan sebuah kaidah fiqih yang berbunyi :

 

اَلأصْلُ فِي الشُّرُوْطِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِعَقْدِ الْبَيْعِ الإبَاحَةُ إلاَّ شَرْطًا خَالَفَ الشَّرْعَ أوْ تَنَافَى مَعَ مُقْتَضَى الْعَقْدِ

 

Al-ashlu fi as-syurûth al-muta’alliqati bi ‘aqd al-bai’ al-ibâhah illa syarthan khalafa as-syar’a aw tanâfa ma’a muqtadhâ al-‘aqd. (Hukum asal mengenai syarat-syarat yang berkaitan dengan akad jual beli adalah boleh, kecuali syarat yang menyalahi syara’ atau yang menafikan konsekuensi akad). (Ziyâd Ghazzâl, Masyrû’ Qânûn Al-Buyû’ fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm. 28).

 

Adapun adanya khiyar ‘aib bagi pembeli, telah ditetapkan berdasarkan sejumlah hadits Nabi SAW, di antaranya sabda Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang sering tertipu dalam jual beli :

 

إِذَا بِعْتَ فَقُلْ : لَا خِلَابَةَ , ثُمَّ أَنْتَ فِي كُلِّ سِلْعَةٍ تَبْتَاعُهَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثَ لَيَالٍ , فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ , وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا

 

“Jika kamu membeli, maka katakanlah [kepada penjual],”Tidak boleh ada penipuan.” Kemudian pada settiap barang yang sudah kamu beli, kamu mempunyai pilihan selama tiga malam. Jika kamu rela, peganglah barang itu, dan jika kamu tidak rela, kembalikanlah barang itu kepada penjualnya.” (HR Ibnu Majah, no. 1921; Ad-Dâraquthnî, no. 2640, hadits hasan menurut Syekh Nâshiruddin Al-Albânî dalam Shahîh Ibnu Mâjah, no. 1921).

 

Mengenai jangka waktu dalam khiyar ‘aib ini, menurut ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, lamanya maksimal tiga hari saja. (Imam Al-Kâsâni, Badâ`i’u Ash-Shanâ`i’, 5/174; Imam Al-Khathib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtâj, 2/47). Menurut ulama Hanabilah, boleh lebih dari tiga hari (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughnî, 3/585). Menurut ulama Malikiyyah, jangka waktunya berbeda-beda sesuai barangnya. Jika berupa buah-buahan, maksimal satu hari. Jika berupa baju atau hewan ternak, maksimal tiga hari. Jika berupa rumah, jangka waktunya satu bulan, dan seterusnya. (Imam Ad-Dasuki, Hâsyiyah Ad-Dasûqî, 3/91).

 

Pendapat yang râjih (lebih kuat) menurut kami, adalah pendapat bahwa jangka waktunya boleh lebih dari tiga hari asalkan sesuai kesepakatan penjual dan pembeli, berdasarkan  sabda Rasulullah Nabi SAW :

 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

 

“Kaum Muslimin mengikuti syarat-syarat yang mereka sepakati di Antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau yang menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no. 3594; Ibnu Hibban, no. 5091; Tirmidzi, no. 1370).

 

Jika barang yang dibeli tidak cacat dan hendak dikembalikan oleh pembeli kepada penjual, maka di sini dapat diamalkan apa yang disebut dengan al-iqâlah, yaitu pembatalan akad jual beli berdasarkan kesepakatan dari dua pihak (penjual dan pembeli). (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughnî, 6/201; Imam Al-Kâsâni, Badâ`i’u Ash-Shanâ`i’, 5/308).

 

Al-iqâlah hukumnya sunnah (mustahab) sesuai hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda :

 

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 

 

“Barang siapa yang menerima pembatalan akad jual beli dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada Hari Kiamat nanti.”  (HR. Abu Dawud, no. 3460; Ibnu Majah, no. 2199; hadis shahih).

 

Berdasarkan penjelasan ini, boleh hukumnya dalam kasus yang ditanyakan di atas, pihak pembeli meminta pembatalan jual beli kepada penjual. Jika penjual menerima pembatalan ini, alhamdulillah. Namun jika penjual tidak menerima pembatalan, maka dia tidak berdosa dan pihak pembeli tidak berhak memaksakan pembatalan akad kepada pihak penjual. Wallâhu a’lam.

 

Yogyakarta, 14 Nopember 2022

M. Shiddiq Al-Jawi