Home Fiqih Fiqih Siyasah PERLUNYA PENYATUAN AL-QUR`ĀN DAN AS-SULTHĀN (KEKUASAAN)

PERLUNYA PENYATUAN AL-QUR`ĀN DAN AS-SULTHĀN (KEKUASAAN)

122
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Pendahuluan

Sesungguhnya Al-Qur`an memerlukan kembaran atau pasangannya, yaitu kekuasaan (as-sulthān), agar dapat teramalkan sebagai petunjuk bagi manusia dalam segala aspek kehidupan secara keseluruhan (kaffah). Kekuasaan (as-sulthān) itu didefinisikan sebagai berikut :

الحُكْمُ المَلِكُ والسُّلْطانُ بِمَعْنًى وَاحِدٍ ، وَهُوَ السُّلْطَةُ اَلَّتِي تُنَفِّذُ الْأَحْكاَمَ ، أَوْ هُوَ عَمَلُ الإِمارَةِ اَلَّتِي أَوْجَبَهاَ الشَّرْعُ عَلَى المُسْلِمِيْنَ

“(Kata) al-hukmu, al-mulku, dan as-sulthān mempunyai pengertian yang sama (kekuasaan/pemerintahan), yaitu otoritas (kewenangan) untuk melaksanakan berbagai hukum (peraturan), atau merupakan aktivitas kepemimpinan yang diwajibkan oleh syariah Islam atas kaum muslimin.” (‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 15).

Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111M) dalam kitabnya Al-Iqtishād fi Al-I’tiqād telah menjelaskan bahwa Al-Qur`an dan kekuasaan (as-sulthān) itu bagaikan dua saudara kembar yang saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain, tidak cukup hanya dengan salah satunya dengan meninggalkan yang lainnya :

اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطاَنُ تَوْأَمَانِ ، اَلدِّيْنَ أُسٌّ وَالسُّلْطاَنُ حاَرِسٌ وَمَا لَا أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ ، وَمَا لَا حاَرِسَ لَهُ فَضائِعٌ

“Agama dan kekuasaan itu seperti dua saudara kembar, agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak mempunyai asas maka dia akan runtuh, dan apa saja yang tidak mempunyai penjaga maka dia akan hilang.” (Imam Al-Ghazali, Al-Iqtishād fi Al-I’tiqād, hlm. 292-293).

 

Nabi SAW Berdoa Memohon Sulthānan Nashīrā

Mengingat pentingnya kekuasaan untuk tegaknya agama Islam, sebagaimana perkataan Imam Ghazali tersebut, tidaklah mengherankan bahwa Nabi SAW sebelum hijrah pernah berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuasaan yang menolong agama Islam (sulthānan nashīrā). Perhatikan firman Allah SWT :

وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا

“Katakanlah (Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku) (sulthānan nashīrā).” (QS Al-Isrā` : 80).

Pengertian سُلْطَانًا نَّصِيرًا (sulthānan nashīrā) dalam QS Al-Isrā` : 80 itu, dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir (w. 774 H/1374 M) sebagai berikut :

قَالَ قَتَادَةُ : عَلِمَ نَبيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَنْ لَا طَاقَةَ لَهُ بِهَذَا الأَمْرِ إِلَّا بِسُلْطاَنٍ [ نَصِيْرٍ ] فَسَأَلَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا : كِتابَ اللَّهِ وَحُدودَهُ وَإِقامَةَ دِيْنِهِ .

“Qatadah berkata,’Nabiyullah SAW telah mengetahui bahwa beliau tidak punya kemampuan menegakkan urusan ini (agama Islam) kecuali dengan kekuasaan (yang menolong), maka Nabi SAW kemudian memohon kekuasaan yang menolong itu, yakni yang menolong Kitabullah, hudūd-Nya, dan penegakan agama-Nya.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, Juz IX, hlm. 67).

Dan alhamdulillah, doa tersebut pun dikabulkan oleh Allah, ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah (622 M), dan mendapat kekuasaan (as-sulthān) dari suku ‘Auz dan Khazraj melalui Bai’at Al-‘Aqabah II di Makkah, untuk melaksanakan agama Islam secara kaffāh (keseluruhan) dalam Daulah Islamiyyah di Madinah. Firman Allah SWT:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).

Dengan kekuasaan (as-sulthān) yang menolong agama Islam itulah, akan dapat dicegah apa yang tidak dapat dicegah oleh Al-Qur`an semata. Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan RA (w. 35 H/656 M) telah berkata :

إنَّ اللهَ يَزَعُ  بِالسُّلْطاَنِ ماَ لاَ يَزَعُ  بِالْقُرْآنِ

“Sesungguhnya Allah bisa mencegah dengan kekuasaan (as-sulthān) apa yang tidak bisa dicegah dengan al-Qur’an.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, Juz IX, hlm. 67).

Perkataan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan RA itu sangat tepat, karena betapa banyak orang muslim yang tidak cukup diingatkan dengan Al-Qur`an, misalnya,”Hai jangan berzina kamu, karena zina itu diharamkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an.” Peringatan dengan Al-Qur`an ini akan diabaikan begitu saja oleh muslim yang lemah imannya sehingga dia tidak takut kepada Allah SWT untuk berzina. Maka di sinilah, diperlukan kekuasaan Islam, yang akan dapat mencegah muslim untuk berzina, dengan cara menerapkan sanksi pidana Islam yang sangat tegas, yaitu hukuman cambuk seratus kali cambukan bagi pezina ghairu muhshan (yang belum menikah) (QS An-Nur : 2), atau hukuman rajam, yakni dilempar batu sampai mati, bagi pezina muhshan (yang sudah menikah), berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW yang shahīh. (‘Abdurrahmān Al-Mālikiy, Nizhām Al-’Uqūbāt, hlm. 14-16).

Hanya saja, dalam satu hadits, Nabi SAW pernah mengabarkan bahwa kesatuan kekuasaan (as-sulthān) dengan al-Qur`an itu pada suatu saat akan berpisah, sesuai sabda Nabi SAW :

أَلَا إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ ، فَلَا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ

“Perhatikanlah, sesungguhnya Al-Kitab (Al-Qur`an) dan kekuasaan ini akan berpisah, maka (jika itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al-Qur`an.” (HR. At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabīr, 20/90; Al-Mu’jam Al-Shaghīr, 2/42; Musnad Syāmiyyīn, 1/379).

Dan sudah menjadi kehendak-Nya, terjadilah kemudian secara nyata pemisahan kekuasaan (as-sulthan) dari al-Qur`an itu, ketika Khilafah Utsmaniyyah dihancurkan pada 3 Maret 1924, atau 28 Rajab 1342 M oleh Musthafa Kamal (w. 1938 M) yang murtad.

Dengan perubahan Khilafah menjadi Republik sebagai sistem yang bersifat sekular, kekuasaan pun kemudian dipisahkan dari agama, dan akhirnya, kekuasaan tidak lagi difungsikan untuk menolong agama Islam. Malah yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu kekuasaan yang ada telah diperalat oleh Musthafa Kamal untuk menghancurkan agama Islam.

Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, pengasuh situs islamstory.com, dengan sangat tajam menjelaskan profil Mustafa Kamal yang jahat itu :

”Mustafa Kemal Ataturk adalah thaghut zaman ini, imamnya kaum sekuler, dan panutan bagi para antek-antek dan pengkhianat. Dia menjadi contoh bagi setiap pembenci dan pendengki agama Islam, dan model untuk seseorang yang menyusup ke barisan kaum muslimin dan menembus di dalamnya untuk memecah belah dan menghancurkan umat Islam…”

(Lihat : https://islamstory.com/ar/artical/20827/مصطفى-أتاتورك).

Kejahatan-kejahatan Mustafa Kemal Ataturk untuk menghancurkan Islam, dijelaskan secara detail oleh Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, di antaranya :

  • Menghancurkan Khilafah, dan menggantinya dengan sistem sekuler, yaitu sistem republik.
  • Menghapuskan Kementerian Wakaf (semacam kementerian Agama).
  • Manghapuskan sekolah-sekolah Islam (al-madrasah al-dīniyyah).
  • Mengubah masjid-masjid jāmi’ menjadi museum (seperti Masjid Aya Sofia).
  • Melarang haji dan umrah.
  • Melarang hijab bagi muslimah.
  • Melarang huruf Arab (dan menggantinya dengan huruf Latin).
  • Mewajibkan orang Turki beribadah dengan Bahasa Turki (seperti adzan dengan Bahasa Turki).
  • Mengubah libur hari Jumat menjadi libur hari Ahad (seperti kaum Nashrani).
  • Menghapuskan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
  • Menghapuskan perayaan hari-hari besar Islam (seperti peringatan Maulid Nabi, dsb).
  • Melarang tarbus (topi tradisional Turki) dan menggantinya dengan topi khas Perancis (Al-Qub’ah Al-Faranjah), yang menjadi simbol Kristen di masa Perang Salib.

(Lihat : https://islamstory.com/ar/artical/20827/مصطفى-أتاتورك).

 

Jangan Berpisah Dengan Al-Qur`an

Maka setelah kondisi buruk tersebut terjadi pada umat Islam tahun 1924 di Turki, yaitu terpisahnya kekuasaan (as-sulthan) dari al-Qur`an, marilah kita ingat kembali sabda Rasulullah SAW ketika Al-Qur`an dan kekuasaan sudah terpisah; yaitu hendaknya kita tetap mengikuti Al-Qur`an, jangan berpisah dari Al-Qur`an, sesuai sabda Nabi SAW :

أَلَا إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ ، فَلَا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ

“Perhatikanlah, sesungguhnya Al-Kitab (Al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah, maka (jika itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al-Qur`an.” (HR. At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabīr, 20/90; Al-Mu’jam Al-Shaghīr, 2/42; Musnad Syāmiyyīn, 1/379).

Di antara petunjuk Al-Qur`an yang kita tidak boleh berpisah dengannya, adalah firman Allah SWT yang mewajibkan kita mengamalkan agama Islam secara kaffah (menyeluruh), tak hanya dalam ibadah ritual atau akhlaq, tapi juga ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sesuai firman-Nya :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).

Petunjuk Al-Qur`an lainnya yang kita tidak boleh berpisah dengannya, adalah hendaknya kita menegakkan kembali kekuasaan yang menolong agama (sulthānan nashīrā), yakni Khilafah, agar kita mampu mengamalkan semua ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), sesuai firman Allah SWT :

وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا

“Katakanlah (Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku) (sulthānan nashīrā).” (QS Al-Isrā` : 80).

Dengan tegaknya kembali sulthānan nashīrā itu, yakni kekuasaan yang menolong agama Islam, atau Khilafah, maka sungguh kita telah menyatukan kembali Al-Qur`an dan As-Sulthān, sebagai dua saudara kembar (تَوْأَمَانِ) yang saling melengkapi dan saling menguatkan sama sama lain. Sungguh inilah yang dulu pernah dimohonkan oleh Rasulullah SAW dalam doanya kepada Allah SWT (QS Al-Isrā` : 80) dan pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dulu (tahun 622 M).

Tanpa kekuasaan yang menolong agama Islam (sulthānan nashīrā) itu, sungguh kita akan berdosa kepada Allah SWT karena akan banyak sekali hukum-hukum Al-Qur`an yang akan hilang dan tidak dapat tegak kecuali dengan adanya Khilafah sebagai kekuasaan Islami di muka bumi. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, Ramadhan 1445 H (Maret 2024 M)

Muhammad Shiddiq Al-Jawi