Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar Redaksi:
Indonesia memiliki daratan (tanah) yang amat luas. Sebagiannya adalah hutan belantara. Luasnya ratusan juta hektar. Anehnya, Indonesia tak luput dari problem pertanahan. Di antaranya dipicu oleh faktor kepemilikan tanah yang amat timpang. Jutaan petani hanya memiliki 0,5 hektar saja. Sebaliknya, segelintir konglomerat bisa menguasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar. Sebagian besarnya bahkan kawasan hutan. Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa akibatnya? Apa pula akar penyebabnya? Bagaimana pula solusinya? Apakah syariah Islam bisa mengatasi problem pertanahan saat ini? Bagaimana caranya? Itulah di antara pertanyaan Redaksi kepada KH Shiddiq al Jawi, seorang ulama sekaligus pakar ekonomi syariah. Berikut hasil wawancaranya.
Apa sebenarnya problem pertana-han dalam frame kapitalis saat ini?
Sebenarnya problem pertanahan ini problem cabang dari problem pokok yang selalu ditumbulkan oleh kapitalisme, yaitu ketimpangan. Artinya, ada segelintir kapitalis yang menguasai tanah yang sangat luas. Ketimpangan ini terjadi karena kapitalisme pada dasarnya adalah sistem ekonomi yang hanya mementingkan aspek produksi, tetapi mengabaikan aspek distribusi. Maka dari itu, kapitalisme akan selalu gagal dalam distribusi kekayaan, baik pada level global maupun level nasional dan lokal. Ini terjadi universal, di mana-mana ketika kapitalisme diterapkan.
Kegagalan ini tidak hanya terjadi di era developmentalisme (pembangunan), yaitu era pasca Perah Dunia II hingga tahun 1980-an, namun juga era globalisasi dengan neoliberalismenya sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Silakan baca buku Kemiskian Dunia Ketiga yang ditulis Rudolf H. Strahm (1999) yang menjelaskan kegagalan pembangunan Dunia Ketiga. Baca juga buku Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan yang diterbitkan sebagai laporan oleh International Forum on Globalization (2004) yang menjelaskan ketimpangan sebagai hasil globalisasi. Atau baca bukunya Prof. Amien Rais berjudul Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia (2008).
Kegagalan distribusi kekayaan dalam kapitalisme inilah yang akhirnya menghasilkan ketimpangan, termasuk ketimpangan dalam kepemilikan tanah.
Benarkah bahwa tanah/lahan lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat daripada terbagi rata ke masyarakat?
Benar. Itu fakta. Berdasarkan data KPA (Konsorsium Pembaharuan Agria), sebanyak 71 persen tanah di seluruh daratan di Indonesia, ternyata telah dikuasai oleh korporasi kehutanan. Selain itu, 23 persen tanah di Indonesia sudah dikuasai oleh korporasi perkebunan berskala besar serta para konglomerat. Barulah sisa-sisanya yang sedikit dimiliki oleh masyarakat. Menurut KPA, rata-rata kepemilikan tanah oleh petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar perorang petani. Bandingkan, di sisi lain, ada satu orang atau satu korporasi yang menguasai tanah hingga 600 ribu hektar.
Benarkah ada hubungan erat antara tanah, oligarki dan kekuasaan?
Benar ada hubungan erat antara tanah, oligarki dan kekuasaan. Fenomena hubungan erat ini dapat diistilahkan dengan korporatokrasi. Istilah ini dicetuskan oleh John Perkins penulis buku Confessions of Economic Hitman (2004). Korporatoraksi adalah sistem kekuasaan yang dikontrol oleh korporasi-korporasi besar. Istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan betapa korporasi atau perusahaan besar memang kenyataannya dapat mendikte, bahkan kadang-kadang membeli kebijakan dari pemerintahan untuk mewujudkan ambisi bisnis mereka. Karena unsur-unsur korporatokrasi itu hanya berjumlah sedikit orang saja, maka bisa disebut juga oligarki, yaitu bentuk pemerintahan atau sistem kekuasaan yang secara efektif hanya dikendalikan oleh sekelompok elit/kecil dari masyarakat.
Namun, menurut saya, unsur korporatokrasi bukan hanya korporasi dan kekuasaan oligarki, tetapi masih ada unsur satu lagi, yaitu militer, termasuk polisi. Adanya unsur militer ini sebagai penopang kekuasaan di Indonesia, dijelaskan dengan gamblang di buku Economists with Guns yang ditulis Bradley R. Simpson (2010), yang menjelaskan peran strategis militer sebagai penopang kekuasan Orde Baru zaman Soeharto.
Bagaimana bisa terjadi ketimpa-ngan penguasaan lahan begitu tajam antara si kaya dan si miskin?
Ketimpangan penguasaan tanah itu dampak dari adanya korporatokrasi dari oligarki itu sendiri. Pasalnya, dalam korporatokrasi itu akan terjadi titik kesamaan kepentingan antara kekuasaan di satu sisi, dan korporasi besar di sisi lain. Kepentingan kekuasaan adalah melanggengkan kekuasaan sembari mendapatkan pendapatan negara, sedangkan kepentingan korporasi adalah mendapatkan laba bisnis yang besar. Kedua kepentingan ini akhirnya dapat terakomodasi karena kapitalisme secara sistemik dan ideologis memang memungkinkan integrasi itu.
Menurut Robert L. Heilbroner dalam bukunya Hakikat dan Logika Kapitalisme (1991), kapitalisme memungkinkan koeksistensi antara kekuasaan dan korporasi. Pasalnya, kekuasaan dengan kepentingan politiknya, dan korporasi dengan kepentingan ekonominya, merupakan dua struktur kewenangan yang sebenarnya berbeda, tetapi menempati ruang yang sama, yaitu menuntut kepatuhan atau loyalitas dari orang-orang yang sama. Nah, ketika kekuasaan dan korporasi terintegrasi, maka akhirnya segala kebijakan penguasa secara otomatis akan selalu menomorsatukan korporasi dan pada waktu yang sama akan menomorduakan rakyat kecil. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa akhirnya sistem korporatokrasi ini menghasilkan ketimpangan, termasuk ketimpangan penguasaan tanah yang tajam antara yang kaya dengan yang miskin.
Saat ini sering terjadi konflik pertanahan. Kira-kira apa faktor penyebabnya? Ada solusi yang ada sudah mendasar?
Banyak faktor penyebab konflik tanah, baik konflik tanah antarwarga maupun konflik tanah antara warga dan perusahaan, seperti perusahaan perkebunan sawit. Faktor-faktor konflik tanah antar warga, antara lain; (1) tapal batas tanah yang tidak jelas; (2) perebutan tanah antar sesama warga; dan (3) perambahan hutan oleh warga.
Justru faktor-faktor penyebab konflik tanah itu lebih banyak melibatkan perusahaan, dibandingkan yang melibatkan sesama warga. Misalnya; (1) perambahan hutan oleh perusahaan; (2) penyerobotan tanah oleh perusahaan; (3) kontrak yang dinilai masyarakat tidak dipenuhi oleh perusahaan, misalnya dana Community Development; dan (4) ganti rugi yang tidak menemukan kesepakatan antara warga dan perusahaan.
Jadi, perusahaan atau korporasi yang didukung oleh kekuasaan lebih banyak menjadi sumber konflik tanah. Sudah bisa diduga, yang kuat pasti akan menang dan mengalahkan yang lemah. Karena itu, solusi yang mendasar seharusnya merombak struktur pelaku ekonomi secara fundamental, agar tidak ada dominasi korporasi atas rakyat. Namun, solusi mendasar ini belum ada.
Saat ini banyak terjadi alih fungsi lahan. Apa faktor penyebabnya?
Banyak faktor penyebab alih fungsi lahan. Di antaranya: Pertama, faktor eksternal, yaitu adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Kedua, faktor internal, yaitu kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Ketiga, faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan. Dalam rezim kapitalis yang pro korporasi, patut diduga faktor terbesar alih fungsi tanah justru faktor regulasi. Jadi, seolah-olah ada kebijakan yang bersumber dari pemerintah, padahal di balik layar sesungguhnya para korporasi besarlah yang mendikte atau “membeli” kebijakan itu.
Bagaimana Islam mendudukkan tentang tanah sehingga menjadi landasan yang tepat dalam pengelolaan di tingkat lanjut?
Tanah dalam Islam merupakan bagian sektor penting dalam perekonomian, yaiu sektor pertanian. Ada tiga sektor lainnya, yaitu sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (1963) menjelaskan dua hal terpenting mengenai tanah, khususnya lahan pertanian: Pertama, kepemilikan (al-milkiyyah). Kedua, produktivitas (al-intaj). Keduanya ini sangat berkaitan dan tidak boleh dipisahkan. Jadi setiap ada kondisi yang memisahkan aspek kepemilikan dengan aspek produktivitasnya, Islam akan mencegahnya. Misalnya, seseorang sudah memiliki tanah, tetapi tidak ada produktivitasnya, misalnya karena tanahnya ditelantarkan, maka Islam akan mengatasinya dengan membolehkan negara mengambil paksa tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut itu, lalu memberikan tanah itu kepada yang mampu mengelolanya agar produktif.
Bagaimana hukum-hukum kepemilikan dalam Islam sehingga tidak rumit dan pelik seperti saat ini?
Mengenai kepemilikan, tanah itu dapat dimiliki oleh individu melalui 6 (enam) cara yang ditetapkan syariah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (1963). Keenam cara syariah itu adalah; (1) jual-beli; (2) waris; (3) hibah; (4) ihya‘ul mawat (menghidupkan tanah mati); (5) tahjir (meletakkan batu di sekiling tanah mati yang dihidupkan); dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
Namun, kepemilikan tanah ini, khususnya lahan pertanian, ada syaratnya, yaitu tidak boleh ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut, hak kepemilikannya hilang, sebagaimana dijelaskan dalam As-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Hukum ini berlaku umum, baik untuk tanah yang dimiliki melalui ihya‘al-mawat dan tahjir maupun yang dimiliki melalui cara-cara lainnya, yaitu jual-beli, waris, hibah, dan iqtha’. Selanjutnya, tanah yang ditelantarkan itu akan diambil-alih oleh negara dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya.
Bagaimana Islam menjamin produktivitas tanah?
Untuk menjaga produktivitas tanah, ada 2 (dua) metode yang ditetapkan Islam. Metode pertama, melarang adanya setiap pemisahan antara aspek kepemilikan dan aspek produktivitas tanah. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, jika orang memiliki lahan pertanian, tetapi menelantarkannya sehingga tidak produktif, maka hak milik tanah itu hilang dan tanah itu akan diambil alih oleh negara untuk diserahkan kepada yang mampu mengelolanya. Demikian juga seseorang yang memiliki tanah, tetapi tidak mengelolanya sendiri, hanya menyewakan lahannya kepada orang lain, juga dianggap memisahkan aspek kepemilikan dan aspek produktivitas lahan. Islam mengatasi masalah ini dengan mengharamkan sewa tanah pertanian.
Metode kedua, melaksanakan apa yang disebut politik pertanian atau As-Siyasah az-Zira’iyyah, yang meliputi dua langkah; (1) ekstensikasi (tawsi’), yaitu memperluas lahan pertanian yang ada; (2) intensifikasi (ta’miq), yaitu memperbaiki teknik-teknik dalam bertani, misalnya menggunakan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Bagaimana aturan pertanahan dalam Islam sehingga mampu menjamin ketahanan pangan, keamanan negara, perumahan rakyat, keamanan lingkungan hidup, dll.
Pertama, harus ada perombakan dan penataan ulang apa yang disebut korporatokrasi tadi. Selama struktur sistem kekuasaan masih mengizinkan kolaborasi kekuasaan dan korporasi, maka selama itu upaya menghilangkan ketimpangan dalam hal kepemilikan tanah akan terus terjadi. Islam sendiri telah memerintahkan distribusi kekayaan yang adil, dengan melarang beredarnya harta (termasuk tanah) hanya di antara orang-orang kaya saja di antara masyarakat (QS al-Hasyr: 7).
Kedua, pengelolaan tanah pertanian wajib mengaitkan aspek kepemilikan (milkiyyah) dan aspek produktivitasnya (intaj). Setiap kondisi yang memisahkan aspek kepemilikan dengan aspek produktivitasnya, wajib dicegah.
Ketiga, terapkan tiga hukum pokok mengenai tanah; yaitu hukum pertama, mengenai kepemilikan, bahwa tanah hanya dapat dimiliki melalui 6 cara, yaitu (1) jual-beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya’ al-mawat, (5) tahjir, dan (6) iqtha’. Hukum kedua, mengenai kewajiban mengelola lahan, yaitu tanah pertanian wajib dikelola, jika ditelantarkan tiga berturut-turut, gugur hak miliknya. Hukum ketiga, mengenai larangan menyewakan lahan pertanian.
Bagaimana hukum kepemilikan tanah bagi warga asing?
Boleh hukumnya warga asing memiliki tanah, dengan dua syarat. Pertama, cara memilikinya harus sesuai dengan syariah, yaitu melalui salah satu dari enam cara syariah yang telah dijelaskan. Kedua, jika warga asing itu non-Muslim, kepemilikan tanahnya tidak boleh menjadi jalan bagi dia untuk menguasai atau mendominasi kaum Muslim, baik penguasa maupun rakyat (QS an-Nisa‘ [4]: 141).
Apakah tanah bisa menjadi salah satu sumber besar pendapatan negara?
Tentu bisa, dengan dua syarat. Pertama, dikelola dengan benar sesuai syariah dalam hal kepemilikan dan produktivitasnya (al-milkiyyah wa al-intaj). Kedua, dikelola dengan teknologi pertanian modern dalam hal politik pertaniannya (as-siyasah az-zira’iyyah). []