Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ana ada punya rumah mau dijual senilai Rp 550 juta dan saat ini rumah tersebut dikontrakkan untuk kantor dengan nilai Rp 17juta/tahun. Rumah tersebut mau ana jual dan sudah ditawarkan. Dalam perjalanan waktu ada teman ana yang mau sistem gadai saja (dia tidak mau membeli rumah tersebut), tapi dia yang mau ambil uang kontrakannya. Apakah hal seperti itu diperbolehkan secara syariat…🙏Jadi teman tersebut tidak mau beli rumah yang ana tawarkan, dia maunya menggadai saja, yaitu memberi pinjaman dana senilai rumah tersebut, dengan jaminan SHM rumah tersebut dia pegang, akan tetapi sewa/nilai kontrakan rumah tersebut dia yang minta (ngambil). Nanti selama 2 (dua) tahun ana disuruh tebusi lagi rumah tersebut senilai yang ana gadaikan ke teman tersebut. Nah, apakah yang demikian diperbolehkan? Jazakallahu khairan katsira atas bantuan pencerahan dari Ustadz. (Hamba Allah).
Jawab :
Pembahasan di atas dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah “pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai/pemberi utang” (intifā’ murtahin bi al-rahn). (Taqiyuddin An-Nabhani. Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 339).
Dalam kasus di atas, yaitu jaminan utang (rahn) dalam aqad utang (dayn) yang berbentuk pinjaman (qardh), tidak boleh (haram) hukumnya pihak pemberi pinjaman (qardh) mengontrakkan rumah sebagai barang jaminan (rahn), lalu menikmati uang hasil kontrakannya untuk dirinya, walau pun diizinkan oleh pihak yang meminjam. Hal itu karena uang hasil kontrak rumah itu adalah riba, yaitu manfaat yang diperoleh oleh pemberi pinjaman (muqridh) sebagai hasil dari pemberian pinjaman (qardh) kepada si peminjam yang menjaminkan rumah tersebut. Padahal riba dalam bentuk tambahan (ziyādah) atau manfaat dari adanya qardh ini adalah haram menurut kesepakatan ulama, tanpa ada khilāfiyah.
Dalil-dalil keharaman tambahan (ziyādah) atau manfaat dari adanya qardh tersebut antara lain :
Pertama, sabda Nabi Muhammad SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا
“Setiap pinjaman (qardh) yang menghasilkan suatu manfaat, maka dia adalah salah satu jenis dari berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Shughra, IV/353).
Kedua, hadits Anas bin Malik RA berikut ini :
عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِيْ لَهُ . قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
Dari Yahya bin Abi Ishaq, dia berkata,”Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA mengenai seorang laki-laki dari kami yang memberi pinjaman (qardh) kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberikan hadiah kepadanya,” maka berkata Anas bin Malik RA,”Rasulullah SAW telah bersabda,’Jika seseorang dari kamu memberi pinjaman (qardh), lalu (pihak peminjam) memberi hadiah kepadanya, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu dan janganlah dia menerima hadiah itu. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan antara dia dan pihak peminjam sebelum itu.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini dinilai hasan oleh Imam Ibnu Taimiyyah, dalam Al-Fatāwā Al-Kubrā, 6/159). (https://islamqa.info/ar/answers/140078/).
Ketiga, hadits Abu Burdah RA sebagai berikut :
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
Dari Abu Burdah RA, dia berkata,”Aku datang ke kota Madinah, lalu aku bertemu dengan ‘Abdullah bin Salam RA. Berkatalah ‘Abdullah bin Salam RA kepadaku,”Sungguh kamu sekarang berada di negeri yang praktik ribanya sudah sedemikian merajalela. Jika ada seseorang yang mempunyai utang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu setumpuk jerami, atau setumpuk jewawut, atau setumpuk tanaman pakan ternak, maka janganlah kamu mengambilnya karena itu adalah riba.” (HR. Al-Bukhari, no. 3814).
Dalil-dalil di atas dan semisalnya, jelas menunjukkan haramnya tambahan (ziyādah) atau manfaat dari adanya qardh, jika tambahan atau hadiah itu dipersyaratkan di awal pada saat aqad qardh, dan jika antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam tidak ada kebiasaan memberi hadiah atau tambahan sebelum terjadinya akad qardh. Dalam konteks inilah Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata :
وَكُلُّ زِيَادَةٍ فِي سَلَفٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِفُ فَهِيَ رِبًا، وَلَوْ كَانَتْ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ، وَذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ بِشَرْطٍ
“Setiap-tiap tambahan atas pinjaman, atau setiap manfaat yang dinikmati oleh pemberi pinjaman, maka ia adalah riba, walaupun hanya segenggam pakan ternak, yang demikian itu hukumnya haram, jika disyaratkan.” (Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Kāfiy fī Fiqhi Ahli Al-Madīnah, Juz II, hlm. 359).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah haram hukumnya pihak pemberi pinjaman tersebut, mengontrakkan rumah milik pihak peminjam dan mengambil ongkos kontrakannya, karena pengontrakan dan pengambilan ongkos kontrak itu adalah pemanfaatan barang gadai (rahn) yang diharamkan karena merupakan riba, walaupun diizinkan oleh pemilik rumah (pihak peminjam).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, dalam masalah “pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai/pemberi utang” (intifā’ murtahin bi al-rahn), telah berkata :
أَمَّا إِنْ كَانَ الدَّيْنُ قَرْضًا كَأَنْ يُقْرِضَ إِنْسَانٌ لِآخَرَ أَلْفًا لِسَنَةٍ، وَيُرْهِنَ عِنْدَهُ دَارَهُ، وَيَأْذَنَ لَهُ بِاْلإِنْتِفَاعِ، فَإِنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِلْمُرْتَهِنِ فِيْ هَذِهِ الْحَالِ اْلإِنْتِفَاعُ بِالْعَيْنِ الْمَرْهُوْنَةِ، وَلَوْ أَذِنَ الرَّاهِنُ لِوُرُوْدِ النَّصِّ فِي النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ
“Adapun jika utang (al-dayn) yang ada berupa pinjaman (al-qardh), misalnya seseorang memberi pinjaman kepada orang lain sebesar seribu dalam jangka waktu satu tahun, lalu dia menggadaikan rumahnya kepadanya, kemudian dia mengizinkan orang lain itu untuk memanfaatkan rumah tersebut, maka tidak boleh pihak murtahin (pemegang gadai/pemberi utang) dalam kondisi ini untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, walaupun pihak rāhin (yang menyerahkan gadai/yang berutang) mengizinkan [pemanfaatan barang gadai itu], karena terdapat nash yang melarang hal tersebut.” (Taqiyuddin An-Nabhani. Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 340).
Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani tersebut sejalan dengan pendapat Imam Malik, rahimahullah, sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra :
وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِنْ قَرْضٍ فَلَا يَجُوْزُ ذَلِكَ ، لِأَنَّهُ يَصِيْرُ سَلَفًا جَرَّ مَنْفَعَةً
“Jika utang yang ada berbentuk qardh (pinjaman) maka hukumnya tidak boleh [memanfaatkan barang gadai/rahn], karena pemanfaatan barang gadai ini menjadi pinjaman yang menarik/menghasilkan manfaat.” (Al-Mudawwanah Al-Kubra, IV/149). (https://islamqa.info/ar/answers/140078/).
Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani tersebut juga sejalan dengan pendapat Imam Ibnu Qudamah, rahimahullah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mughni :
فَإِنْ أَذِنَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الِانْتِفَاعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ , وَكَانَ دَيْنُ الرَّهْنِ مِنْ قَرْضٍ , لَمْ يَجُزْ ، لِأَنَّهُ يُحَصِّلُ قَرْضًا يَجُرُّ مَنْفَعَةً , وَذَلِكَ حَرَامٌ
“…maka jika pihak rāhin (yang menyerahkan gadai/yang berutang) mengizinkan pihak murtahin (pemegang gadai/pemberi utang) memanfaatkan barang gadai tanpa imbalan, sedangkan utangnya adalah pinjaman (qardh), hukumnya tidak boleh, karena pemanfaatan itu berarti pemberian pinjaman (qardh) yang menghasilkan manfaat, ini haram hukumnya.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, IV/250). (https://islamqa.info/ar/answers/140078/).
Kesimpulannya, haram hukumnya pihak pemberi pinjaman (qardh) mengontrakkan rumah yang menjadi barang jaminan (rahn), lalu menikmati uang hasil kontrakannya untuk dirinya, walau pun diizinkan oleh pihak yang meminjam, karena uang hasil kontrak rumah itu sesungguhnya adalah riba. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 22 Juli 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi