Home Aqidah KESEIMBANGAN IBADAH DAN MUAMALAH

KESEIMBANGAN IBADAH DAN MUAMALAH

83

Oleh : KH. M Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Seorang muslim secara umum, dan khususnya para pengusaha, wajib menyeimbangkan ibadah dan muamalahnya. Jangan sampai dia berat sebelah, yaitu hanya fokus melakukan salah satunya, seraya mengabaikan yang lain. Jadi tidak benar kalau seorang muslim hanya fokus berbisnis untuk mengejar harta benda, tetapi melalaikan ibadah-ibadah yang wajib, seperti sholat, zakat, haji, dan lain-lain.

Allah SWT telah memperingatkan kita jangan sampai kegiatan bisnis kita untuk mencari harta, membuat kita lalai dari ibadah mengingat Allah (dzikrillah), sesuai firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun : 9).

Kata “mengingat Allah” (dzikrillah) dalam ayat tersebut, dalam Tafsir Al-Qurthubi, ditafsirkan sebagai berikut :

عَنْ ذِكْرِ اللهِ ؛ أَيْ عَنِ الْحَجِّ وَالزَّكَاةِ . وَقِيْلَ : عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ . وَقِيْلَ : عَنْ إِدَامَةِ الذِّكْرِ . وَقِيْلَ : عَنِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ; قَالَهُ الضَّحَّاكُ . وَقَالَ الْحَسَنُ : جَمِيْعُ الْفَرَائِضِ

“Yang dimaksud “dari mengingat Allah” (عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ), adalah, dari berhaji dan berzakat. Ada juga ulama yang berpendapat, maksudnya adalah dari membaca Al-Qur`an. Ada juga yang berpendapat, maksudnya dari melanggengkan berdzikir. Ada juga yang berpendapat, dari sholat lima waktu, seperti pendapat Al-Dhahhak. Al-Hasan Al-Bashri berkata, yang dimaksud “dari mengingat Allah” (عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ) adalah dari semua ibadah yang hukumnya fardhu.” (Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’li Ahkam Al-Qur`an, 9/27).

Dalam ayat lain Allah SWT juga memerintahkan kita untuk meninggalkan kegiatan jual beli jika adzan sudah dikumandangkan untuk segera mengingat Allah, yakni sholat Jum’at, sesuai firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah : 9).

Yang dimaksud dengan “maka segeralah kamu mengingat Allah” (فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ), dalam kitab Al-Tafsir Al-Kabir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi ditafsirkan sbb :

فَاسْعَوْا إِلىَ ذِكْرِ اللهِ،  أَيْ إِلىَ مَا يَنْفَعُكُمْ فِي اْلآخِرَةِ ، وَهُوَ حُضُوْرُ الْجُمُعَةِ ، لِأَنَّ الدُّنْياَ وَمَتاَعُهَا فَانِيَّةٌ وَاْلآخِرَةُ وَماَ فِيْهاَ باَقِيَّةٌ ، قَالَ تَعاَلىَ : وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ وَّأَبْقىَ ) الأعلى : 17)

“Firman Allah SWT yang berbunyi “maka segeralah kamu mengingat Allah” (فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ), maksudnya adalah segeralah kamu menuju apa yang bermanfaat bagimu di akhirat, yaitu menghadiri sholat Jum’at, karena dunia dan segala perhiasannya adalah fana (akan lenyap). sementara akhirat dan segala kenikmatannya adalah baka (kekal), sebagaimana firman Allah,”Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal (baka).” (QS Al-A’la : 17). (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, 9/30).

Jadi, dua ayat di atas maknanya kurang lebih sama, yaitu kita jangan sampai berat sebelah hanya mementingkan muamalah (berbisnis, dsb) untuk mencari harta, tetapi kita melalaikan ibadah, seperti sholat lima waktu, sholat Jum’at, berzakat, berhaji, dan sebagainya. Walhasil, kita wajib menyeimbangkan dua aspek, yaitu ibadah dan muamalah.

 

Jangan Hanya Fokus Muamalah, Tapi Lalai Ibadah

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, janganlah seorang muslim hanya fokus melakukan muamalah untuk mencari harta benda, tetapi dia melalaikan aspek ibadah-badah, seperti melakukan sholat, haji, puasa, dan sebagainya.

Jika seorang muslim lalai dalam ibadah, khususnya ibadah yang terkait harta benda, misalnya zakat mal, maka akibatnya sangat mengerikan di akhirat kelak. Mari kita cermati hadits Nabi SAW berikut, yang menjelaskan akibat mengerikan di akhirat bagi orang yang mempunyai harta yang banyak, tapi lalai menjalankan kewajiban mengeluarkan zakat mal.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مَنْ آتاهُ اللهُ مالًا فلَمْ يؤَدِ زكاتَهُ مُثِّلَ له يومَ القيامَةِ شجاعًا أقرَعَ لَهُ زبيبتانِ يطوِّقُهُ يومَ القيامَةِ ثُمَّ يأخُذُ بلِهْزِمَتَيْهِ يعني بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يقولُ : أنا مالُكَ أنا كنزُكَ ثُمَّ تلا النبىُّ : ولَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ القيامَةِ [آل عمران: 180]. . رواه البخاري (1403)

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak membayarkan zakatnya, maka hartanya itu akan diwujudkan dalam bentuk ular botak yang mempunyai dua taring bisa di dua sudut mulutnya. Ular itu akan melilit lehernya pada Hari Kiamat, lalu menggigitnya dengan dua rahang mulutnya, kemudian ular itu berkata ‘Aku adalah hartamu, aku adalah simpananmu’, Kemudian Rasulullah SAW membaca firman Allah SWT dalam QS Ali ‘Imran ayat 180 yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang bakhil dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (bakhil) itu baik bagi mereka, padahal (bakhil) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada Hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 1403).

Dalam hadits lain, terdapat hadits semakna sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang mempunyai emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, maka pada hari Kiamat akan dibuatkan untuknya lempeng-lempeng dari api (yang  terbuat dari emas dan perak miliknya sendiri).  Kemudian lempeng-lempeng itu dipanaskan dalam neraka Jahannam dan dengannya diseterikalah lambungnya, dahinya, dan punggungnya. Setiap kali seterika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali (dalam neraka) selama satu hari yang kadarnya 50 ribu tahun, hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia akan dapat melihat jalannya, mungkin ke surga dan mungkin pula ke neraka.”  (HR. Khamsah, kecuali Tirmidzi).

 

Jangan Hanya Fokus Ibadah, Tapi Lalai Muamalah

Sebaliknya, jangan pula seorang muslim hanya fokus melakukan ibadah, seperti rajin melakukan sholat, haji, puasa, dan sebagainya, tetapi dia melalaikan aspek muamalah dia, sehingga akibatnya dia banyak melakukan pelanggaran syariah dalam berbagai akad muamalah. Misalnya, dia rajin ibadah, tapi ternyata dia melakukan akad ribawi dalam berbagai bentuknya, sehingga akhirnya dia memakan harta orang secara batil melalui riba-riba itu.

Mari kita cermati hadits Nabi SAW berikut, yang menjelaskan akibat mengerikan di akhirat bagi orang yang rajin beribadah seperti sholat, haji, puasa, di dunia, tetapi pahala-pahala ibadahnya tersebut terpaksa harus habis tanpa sisa di akhirat untuk mengganti rugi berbagai pihak, karena dia melakukan berbagai pelanggaran syariah kepada orang lain dalam muamalah-muamalahnya di dunia.

Dalam hadits dari Abu Hurairah RA diriwayatkan hadits lain sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أتَدرونَ ما المُفلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. رواه مسلم 2581

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para shahabat, ”Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab,”Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.” Rasulullah SAW lalu bersabda,”Sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku adalah orang yang pada Hari Kiamat datang dengan (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia dulu (di dunia) pernah mencaci-maki orang, menuduh zina (kepada orang lain), memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain. Maka pahala-pahala ibadahnya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka. Maka jika pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi, akan diambil dosa dari setiap orang dari mereka untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).

 

Wajib Seimbang Ibadah dan Muamalah

Kesimpulannya, kita wajib menyeimbangkan aspek ibadah dan aspek muamalah kita. Jangan kita hanya fokus melakukan salah satunya, seraya mengabaikan yang lain. Jangan kita hanya fokus muamalah, tapi melalaikan ibadah. Sebaliknya jangan pula kita hanya fokus ibadah, tapi melalaikan muamalah.

Untuk dapat menyeimbangkan aspek ibadah dan aspek muamalah kita tersebut, kita wajib mempunyai ilmunya dalam kedua-dua aspek tersebut secara lengkap. Supaya kita dapat beramal secara benar dalam aspek muamalah, pelajarilah Fiqih Muamalah, seperti bagaimana hukum jual beli, hukum syirkah, hukum utang piutang, hukum ijarah, dan sebagainya. Dan supaya kita dapat beramal secara benar dalam aspek ibadah, pelajarilah Fiqih Ibadah, seperti bagaimana hukum thaharah (bersuci), hukum sholat, hukum puasa, hukum haji, hukum qurban, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

 

Jakarta, 03 November 2024

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi