Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengertian Akhlaq
Definisi akhlaq menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirāsāt fī Al-Fikr Al-Islāmi :
الأَخْلاقُ هِيَ الصِّفاتُ اَلَّتِي أَمَرَ اللهُ الْمُسْلِمَ أَنْ يَتَّصِفَ بِهَا عِنْدَ قِيامِهِ بِأعْمَالِهِ
“Akhlaq adalah sifat-sifat yang yang diperintahkan oleh Allah kepada seorang muslim agar dia bersifat dengan sifat-sifat itu pada saat dia melakukan berbagai perbuatan.” (Muhammad Husain Abdullah, Dirāsāt fī Al-Fikr Al-Islāmi, hlm. 52).
Contoh-contoh akhlaq bagi seorang muslim adalah sebagai berikut :
- Khusyu’ dalam sholatnya, sesuai firman Allah SWT :
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“(Ciri orang beriman adalah) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS Al-Mukminun : 2)
- Lemah lembut dalam berdakwah, sesuai firman Allah SWT :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. (QS Ali ‘Imran : 159)
- Sabar dalam berjihad, sesuai firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS Ali ‘Imran : 200).
- Berani dalam menasehati penguasa yang zalim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (yang makruf/sesuai syariat) dan melarang (dari kemungkaran/yang tidak sesuai syariat) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
- Mengutamakan orang lain (al-ītsār) dalam berinteraksi dengan sesama muslim dalam hal kebaikan, sesuai firman Allah SWT :
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga (orang-orang Anshar) mempunyai kebutuhan.” (QS Al-Hasyr : 9)
- Berlaku adil dalam menerapkan hukum-hukum Islam, pada saat seorang muslim menjadi penguasa (al-hākim) dan menjalankan kekuasaan atas rakyatnya, sesuai firman Allah SWT :
وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ
“Dan apabila kamu menegakkan hukum (Islam) di antara manusia hendaknya kamu menegakkannya dengan adil.” (QS An-Nisa` : 58). (Muhammad Husain Abdullah, Dirāsāt fī Al-Fikr Al-Islāmi, hlm. 52).
Konsep Akhlaq Dalam Islam
Pertama, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizhāmul Islām, akhlaq adalah bagian dari Syariah Islam, yaitu bagian dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Allah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhāmul Islām, hlm. 137).
Jadi, berakhlaq itu wajib didasarkan pada keimanan, yaitu seorang muslim itu berakhlaq semata-mata didasarkan pada keimanan kepada Allah.
Ex : ketika seorang muslim berakhlaq jujur, maka dia wajib berkeyakinan bahwa jujur itu wajib karena diperintahkan oleh Allah, bukan karena jujur itu dianggap sebagai sifat moral yang baik oleh manusia. Misalnya, ada ungkapan “jujur itu hebat”.
Kedua, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Ḥadits Al-Shiyām, seorang muslim yang berakhlaq bukan karena Allah, yaitu bukan karena menjalankan perintah Allah atau menjauhi larangannya, maka dia tidak mendapat pahala. (Taqiyuddin An-Nabhani, Ḥadits Al-Shiyām, hlm. 103). Kaidah fiqih menegaskan :
لاَ ثَوَابَ إلاَّ باِلنِّيَةِ
“Tidak ada pahala, kecuali dengan niat.” (Ibnu Nujaim, Al-Asybāh wa Al-Nazāir, hlm. 17).
Ketiga, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Islam, akhlaq merupakan sifat-sifat individu, bukan sifat-sifat yang menyangkut masyarakat. Maka memperbaiki masyarakat, tidak cukup dengan memperbaiki akhlaq individu rakyatnya, melainkan wajib memperbaiki unsur-unsur masyarakat, yaitu memperbaiki masyarakat pada 3 unsurnya sbb : (1) Pemikiran; (2) Perasaan; dan (3) Peraturan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhāmul Islām, hlm. 144).
Jujur dalam Islam
Pengertian jujur adalah :
الصِّدْقُ هوَ مُطابَقَةُ الكَلامِ لِلْوَاقِعِ بِحَسَبِ اعْتِقادِ المُتَكَلِّمِ
“Jujur adalah kesesuaian perkataan dengan faktanya, sesuai keyakinan orang yang berkata.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqoha`, hlm. 243).
Orang yang jujur disebut ash-shādiq (الصَّادِقُ), dan orang yang sangat jujur (sebagai shighat mubalaghah, yakni bentuk kata untuk menunjukkan “sangat”), disebut dengan ash-shiddīq (الصِّدِّيْقُ).
Jujur hukum asalnya wajib dalam Islam, sesuai dalil-dalil syar’i yang memerintahkan muslim berkata jujur, seperti firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS At-Taubah : 119).
Rasulullah SAW bersabda :
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ, فَاِنَّهُ مَعَ البِرِّ وَهُمَا فِى الْجَنَّةِ, وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَاِنَّهُ مَعَ الْفُجُوْرِ وَهُمَافِى النَّار
“Wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya akan berada di Surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan (tidak taat), dan keduanya di neraka.” (HR Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda :
عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَـهْدِى اِلىَ اْلبِرِّ وَ اْلبِرُّ يَـهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الـرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَـتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيـْقًا. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَـهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ اْلفُجُوْرُ يَـهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ اْلعَبْدُ يَكْذِبُ وَ يَـتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ كَـذَّابـًا
“Wajib bagi kalian untuk jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan seseorang senantiasa jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan takutlah kalian dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan seseorang senantiasa berdusta dan memilih berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang banyak berdusta (kadzdzāb).” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada perkecualian dari kewajiban jujur ini, yaitu dibolehkan berbohong dalam tiga perkara yang disebut dalam dalil-dalil hadits. Di antaranya hadits Ummu Kultsum RA berikut ini :
عنَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ «لم أسمَعْ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يرخَّصُ في شيءٍ مِمَّا يقولُ النَّاسُ إنَّه كذِبٌ إلَّا في ثلاثٍ : الرَّجلُ يُصلِحُ بينَ النَّاسِ والرَّجُلُ يكذِبُ لامرأتِهِ والكذِبُ في الحَربِ
Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak aku dengar Rasulullah memberi rukhshah (keringanan) dalam sesuatu yang dikatakan manusia sebagai kebohongan, kecuali dalam tiga keadaan; seseorang melakukan perbaikan hubungan antar manusia, seorang suami yang berbohong kepada istrinya, dan berbohong dalam perang.” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ahmad. Hadits shahih).
Jujur Dalam Bekerja
Jujur diwajibkan oleh Islam ketika seorang muslim bekerja, namun disyaratkan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang halal, bukan pekerjaan yang haram. Jika seorang muslim melakukan pekerjaan yang haram, lalu dia bekerja secara jujur dalam pekerjaan haram itu, maka akhlaq kejujuran itu tidak ada maknanya dan tidak ada pahalanya. Dengan kata lain, kejujuran itu ada konteks-nya, yaitu ketika seorang muslim melakukan pekerjaan yang halal.
Jadi, wajib hukumnya seorang muslim bekerja jujur ketika dia melakukan pekerjaan yang halal dalam Syariah Islam. Misalnya jujur ketika seorang muslim menjadi petugas pemungut zakat dalam Islam. Untuk apa jujur tapi dalam rangka melakukan perbuatan yang haram? Contoh ekstremnya, untuk apa jujur kalau seorang muslim bekerja menjadi bendahara yang jujur dari sebuah sindikat narkoba, atau bendahara yang jujur dalam sebuah komplotan perampok, atau pegawai bank yang jujur ketika menghitung besarnya bunga bank, atau petugas pajak yang jujur ketika menghitung besaran pajak yang diharamkan syariah.
Jadi, akhlaq saja, seperti jujur sesungguhnya tidaklah bermakna, jika tidak diletakkan dalam konteks yang benar, yaitu dalam rangka melaksanakan pekerjaan yang halal. Dengan demikian, jujur dalam melakukan pekerjaan yang haram, hukumnya menjadi ikut haram, karena jujur itu adalah sifat akhlaq yang hukumnya tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti perbuatan pokoknya yang sudah diharamkan syariah. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 11 April 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi