Home Fiqih Fiqih ibadah HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL

110

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Jogjakarta).
 
Jawab :

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakbolehan takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb

Pertama, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan istis-haabul ashl, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru.

Kaidah fiqih yang termasuk istis-haabul ashl misalnya :

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

“Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana.” 

(yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, 1/49).

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan.

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada.

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara’ yang terkait dengan sholat Idul Fitri.

Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana).

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada.

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).

Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki).

Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).

Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan.

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan :

لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

“Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi.”

(suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).

Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 20 April 2023

Muhammad Shiddiq Al Jawi

Referensi :

http://www.fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/107