Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM MENYEWAKAN BARANG SEWAAN

HUKUM MENYEWAKAN BARANG SEWAAN

304

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, saya menyewa tempat usaha sekitar 10 tahun yang lalu dengan harga yang disepakati. Bolehkah saya menyewakan tempat itu sebagian atau seluruhnya dalam waktu sisa sewa saya? (Yaslinur, Bogor)

Ustadz, saya menyewa kios pemerintah dengan harga sewa yang murah, karena saya recident. Bolehkah saya sewakan kembali kios tersebut kepada orang lain? (Agus Hadi, Brunei)

 

Jawab :

Muamalah ini dalam istilah fiqih disebut dengan al-ijârah ‘alâ al-ijârah, yakni maksudnya ta`jîr al-‘ain al-musta`jarah (menyewakan barang yang disewa). Bagaimanakah hukumnya dalam fiqih Islam?

Ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama;

Pendapat pertama, tidak membolehkan. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan banyak ulama mazhab Hanabilah.

Imam Al-Kâsânî dari mazhab Hanafi, tidak membolehkannya kecuali seizin pemilik barang sewa. (Imam Al-Kâsânî, Badâ`’i’ Al-Shanâ`i’, 4/198). Imam Syarbinî Al-Khathîb dari mazhab Syafi’i, tidak membolehkan karena diqiyaskan dengan salah satu pendapat ulama Syafi’iyyah yang melarang men-tasharruf-kan barang sewaan. (Syarbinî Al-Khathîb, Mughnî Al-Muhtâj, 2/486). Banyak ulama Hanabilah juga tidak membolehkan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Qudamah. (Al-Mughnî, 6/169).

Pendapat kedua, membolehkan. Ini pendapat Imam Ahmad bin Hanbal menurut salah satu versi pendapat beliau. Pendapat ini sebenarnya pendapat ulama generasi sebelumnya, yaitu Sa’îd bin Al-Musayyab, Ibnu Sîrîn, Mujâhid, ‘Ikrimah, Abu Sulaimân bin Abdurrahmân, Al-Nakha`î, Al-Sya’bî, Al-Tsaurî, Al-Syâfi’î, dan Ash-hâbur Ra`yi (ulama Hanafiyah). (Imam Al-Tahânawi, I’lâ`u Al-Sunan,  Karachi : Idârat Al-Qur`ân, Cet.III, 1415, 16/216).

Pendapat yang râjih (lebih kuat) menurut Taqiyuddîn An-Nabhanî adalah pendapat yang membolehkan, asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Imam Taqiyuddîn An-Nabhanî berkata,”Pihak yang menyewa (al-musta`jir) berhak menyewakan barang yang disewanya jika dia telah menerima barang sewa itu, dengan ongkos sewa yang sama, atau lebih banyak, atau lebih sedikit.” (wa li al-musta`jir an yu`jjira al-‘ain al-musta`jarah idzâ qabadhahâ bi mitsli ma ista’jarahâ aw bi azyada aw bi anqasha).” (Taqiyuddîn An-Nabhanî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, II/328).

Pendapat Imam Taqiyuddîn An-Nabhanî tersebut sejalan dengan pendapat Imam Ibnu Qudâmah (mazhab Hambali), yang berkata,”Boleh orang yang menyewa untuk menyewakan barang yang disewanya jika dia telah menerima barang sewa itu. Inilah pendapat Imam Ahmad, juga pendapat Imam Syafi’i, dan Ash-habur Ra`yi (ulama Hanafiyah).” (wa yajûzu li al-musta`jiri an yu`ajjira al-‘ain al-musta`jarata idza qabadhahâ, nashsha ‘alaihi Ahmadu, wahuwa qaulu al-Syâfi’î wa ash-hâb al-ra`yi). (Ibnu Qudâmah, Al-Mughnî, VIII/54-56).

Imam Taqiyuddîn An-Nabhanî selanjutnya menjelaskan, penyewa pertama boleh menyewakan barang yang disewanya dengan 3 (tiga) syarat sbb :

Pertama, telah terjadi serah terima rumah (qabdhu al‘ain) dari pemilik rumah kepada penyewa pertama. Jika belum terjadi serah terima rumah, tidak boleh hukumnya penyewa pertama menyewakan lagi kepada penyewa kedua.

Kedua, masa sewa penyewaan yang kedua, terjadi dalam jangka waktu masa penyewaan yang pertama. Misal, jika masa sewa penyewaan pertama adalah 1 tahun, boleh penyewa pertama menyewakan lagi kepada penyewa kedua dalam jangka waktu 10 bulan (kurang dari 1 tahun).

Ketiga, tidak boleh risiko (dharar) penyewaan yang kedua lebih besar dari risiko penyewaan yang pertama. Misal, jika penyewa pertama menyewa rumah untuk ditinggali, lalu disewakan kepada penyewa kedua untuk keperluan bengkel las, yang risikonya lebih besar dari risiko penyewaan pertama (hanya untuk ditinggali), maka penyewaan yang kedua ini tidak diperbolehkan menurut syariah. (Taqiyuddîn An-Nabhanî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm. 328-329). Wallahu a’lam.