Home Fiqih HUKUM MAKAN BACEM KELELAWAR DALAM ISLAM

HUKUM MAKAN BACEM KELELAWAR DALAM ISLAM

47

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

 

Soal :

Ustadz bagaimana hukumnya bacem kelelawar? (Qomari Z, Yogya)

 

Jawab :

Untuk mengetahui hukum syara’ tentang bacem kelelawar, perlu diketahui lebih dulu hukum kelelawar itu sendiri, apakah kelelawar itu halal dimakan atau tidak? Dalam masalah ini telah terdapat dalil-dalil khusus yang melarang membunuh kelelawar. Dari larangan untuk membunuh ini diistinbath kesimpulan hukum syar’i mengenai haramnya memakan kelelawar.

Imam Syihabuddin asy-Syafi’i (w.808 H) dalam kitabnya At-Tibyān li Mā Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawān hlm. 87 mengatakan kelelawar menurut pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i adalah haram. Imam Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarah Muhadzdzab 9/22 juga menegaskan haramnya kelelawar menurut mazhab Syafi’i.

Dalil keharamannya adalah hadis Nabi SAW sebagai berikut :

نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الْخَطاَطِيْفِ

“Bahwa Nabi SAW telah melarang membunuh kelelawar.” (nahaa rasulullah shallallahu ‘alaoihi wa sallama ‘an qatli al- khathāthīf). (HR. Abu Dawud, dalam kitabnya al-Marāsīl dari jalur ‘Ubad bin Ishaq dari ayahnya). (Lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1686, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000).

Menurut Imam Syihabuddin asy-Syafi’i dalam At-Tibyān li Mā Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawān hlm. 85, bahwa dalam bahasa Arab, kelelawar (al-khuffāsy) mempunyai empat nama, yaitu : khuffāsy, khusyāf, khuthāf, dan wathwāth. Dengan demikian, hadis Nabi SAW di atas berarti telah melarang kita membunuh kelelawar (Arab : khathāthīf, bentuk jama’ (plural) dari khuthāf). Imam Syihabuddin menjelaskan hadis tersebut dengan berkata :

ماَ نُهِيَ عَنْ قَتْلِهِ لاَ يُؤْكَلُ

”Apa yang dilarang untuk dibunuh, berarti tidak boleh dimakan.” (wa maa nuhiya ‘an qatlihi laa yu`kalu) (Imam Syihabuddin Al-Syafi’i, at-Tibyan li Maa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawan, hlm. 87).

Kesimpulannya, kelelawar adalah haram dan tidak boleh dimakan, baik itu digoreng, disate, dibacem maupun dimasak dengan cara-cara lainnya. Wallāhu a‘lam. []

 

Yogyakarta, 3 Maret 2006

 Muhammad Shiddiq al-Jawi