Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Pengantar
Umat Islam selalu merayakan tahun baru Hijriyah pada bulan Muharram. Namun perlu diketahui bahwa hijrahnya Nabi SAW sebenarnya bukanlah pada bulan Muharram, melainkan pada bulan Rabi’ul Awwal, pada tahun ke-13 Bi’tsah (tahun diutusnya Nabi SAW).
Nabi SAW memulai hijrahnya pada malam Jum’at, yakni malam ke-27 bulan Shafar tahun ke-13 Bi’tsah, ketika beliau dan Abu Bakar Shiddiq memulai hijrahnya dengan bersembunyi di Gua Tsūr selama kurang lebih 3 hari. Tiga hari kemudian, yaitu tepat hari Senin tanggal 1 Rabi’ul Awal, Nabi SAW dan Abu Bakar Shiddiq keluar dari Gua Tsūr dan memulai perjalanan hijrahnya menuju Madinah. Mereka berdua sampai di Qubā` pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awal, dan berdiam di Qubā` itu selama sekitar 3 hari. Barulah pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke-13 Bi’tsah, bertepatan dengan tanggal 27 September 622 M, mereka berdua memasuki kota Madinah yang waktu itu disebut Yatsrib. (Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah, Juz III, hlm. 218-241).
Adapun mengapa tahun baru Hijriyah diperingati pada bulan Muharram, bukan pada bulan Rabi’ul Awal, maka itu keputusan dari Khalifah Umar bin Khaththab RA pada tahun ke-17 Hijriyah. Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Syammārikh fî ‘ilmi Al-Tārīkh, diriwayatkan Abu Musa Al-‘Asy’ari menulis surat kepada Umar,”Telah datang kepada saya surat-surat Anda yang tidak berpenanggalan, maka hendaknya Anda menetapkan penanggalan (ta`rîkh).” Lalu ‘Umar bermusyawarah, sebagian shahabat mengusulkan penanggalan Islami berawal dari tahun diutusnya Nabi SAW. Sebagian mengusulkan berawal dari tahun wafatnya Nabi SAW. Umar berkata,”Tidak! Awalilah dari tahun hijrahnya Nabi SAW karena peristiwa itu adalah pemisah antara yang haq dengan yang batil!” (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/178).
Dua Makna Penting dari Hijrahnya Nabi SAW
Peristiwa hijrahnya Nabi SAW dijadikan oleh Khalifah Umar sebagai awal penanggalan Islami, karena hijrahnya Nabi SAW itu menurut Khalifah Umar,”membedakan yang hak dengan yang batil.” (farraqa bayna al-haq wa al-bathil). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/178).
Jika kita mendalami lebih jauh perkataan Umar, mengapa peristiwa hijrahnya Nabi SAW itu dianggap oleh Khalifah Umar sebagai pemisah atau pembeda antara yang haq dengan yang batil, setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan sebagai berikut :
Pertama, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, terbukti dengan jelas bahwa Islam itu mempunyai konsep kekuasaan atau kenegaraan. Mengapa demikiran? Karena para ulama, mendefinisikan hijrah sebagai berpindah atau keluar dari Darul Kufur menuju Darul Islam (al-intiqāl min dār al-kufri ilā dār al-islām). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/177; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/267).
Padahal istilah Darul Islam, atau Khilafah, atau Imamah, merupakan 3 (tiga) terminologi kunci dalam fiqih klasik, yang menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, identik atau sinonim dengan kata Al-Dawlah Al-Islamiyyah (negara Islam/Islamic State) dalam bahasa Arab moderen. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), hlm. 823).
Syekh Wahbah Az-Zuhaili berkata :
كانت الهجرة النبوية الى المدينة المنورة (يثرب) وما سبقها من بيعتي العقبة أساسا في نشأة أو تكوين الدولة الإسلامية أو دار الإسلام في اصطلاح فقهائنا…
“Hijrahnya Nabi SAW menuju Al-Madinah Al-Munawwarah (Yatsrib) dan peristiwa sebelumnya, yaitu Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua, merupakan asas dalam kelahiran atau pembentukan negara Islam (Al-Dawlah Al-Islamiyyah), atau Darul Islam, menurut istilah yang ada di kalangan fuqoha` kita.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), hlm. 823).
Walhasil, peristiwa Hijrahnya Nabi SAW ini memang sangat strategis dalam sejarah Islam, yang, menurut istilah Syekh Wahbah Az-Zuhaili, merupakan titik transformatif (nuqthah al-tahawwul) yang menandai lahirnya negara Islam, yang tidak pernah dikenal seelumnya di kalangan masyarakat Arab, yang ioleh para fuqoha, diberi istilah Darul Islam. Dalam Bahasa Arab moderen, istilah Darul Islam ini kurang lebih sama dengan istilah Al-Dawlah Al-Islamiyyah, yang berarti negara Islam. Kata Al-Dawlah sendiri, baru dipergunakan dalam arti “negara” modern sejak abad ke-16 Masehi. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), hlm. 823).
Dengan demikian, peristiwa hijrah ini sangatlah strategis, karena menjadi bukti yang nyata bahwa Islam itu mempunyai konsep kenegaraan, yang oleh para fuqoha (ahli fiqih) klasik, disebut dengan istilah Darul Islam, sedang menurut para fuqoha masa kini, konsep kenegaraan tersebut disebut dengan istilah Al-Dawlah Al-Islamiyyah (negara Islam).
Darul Islam ini akhirnya juga identik dengan dua istilah lain yang akrab dijumpai dalam kitab-kitab fiqih Islam, yaitu Imamah dan Khilafah. Inilah bagian dari ajaran Islam yang bertugas menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) (QS Al-Baqarah : 208), sebagai peraturan yang terbaik bagi manusia (QS Al-Maidah : 50) yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS Al-Anbiya` : 21).
Dengan adanya konsep kenegaraan yang dimiliki oleh Islam ini, berarti Islam tidak sama dengan agama-agama lain seperti agama Kristen dan Yahudi, yang memang tidak mempunyai konsep kenegaraan atau politik. Agama Kristen dan Yahudi serta agama-agama lain, hanyalah agama yang bersifat spiritual, namun tidak berkaitan denan politik.
Kedua, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, dan setelah Nabi SAW menjadi pemimpin di Madinah, terbukti dengan jelas Nabi Muhammad mempunyai 2 (dua) kedudukan (fungsi) sekaligus, yaitu fungsi kenabian/kerasulan dan fungsi kepemimpinan.
Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dua kedudukan Nabi Muhammad SAW tersebut sebagai berikut :
فَكَانَ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ النُّبوَّةِ والرِّسالَةِ وَكَانَ فِي نَفْسِ الوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئاسَةِ المُسْلِمِينَ فِي إِقامَةِ أَحْكامِ الإِسْلامِ
”Nabi SAW itu dahulu [setelah hijrah] memegang kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) bagi kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 116-117).
Kedudukan Nabi SAW sebagai pemimpin umat ini (manshib al-ri`âsah) terwujud setelah beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian memimpin umat Islam sebagai imam pertama untuk mengatur segala aspek kehidupan berdasarkan Islam. Kedudukan ini menambah kedudukan yang sudah ada sebelumnya, yaitu kedudukan sebagai nabi/rasul (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) untuk menyampaikan wahyu Allah kepada manusia, yang terwujud sejak Nabi SAW diangkat sebagai nabi atau rasul oleh Allah SAW di Makkah, sebelum beliau berhijrah.
Nah, ketika Nabi SAW wafat, kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) berhenti, jadi wahyu dan nabi tak akan ada lagi. Namun kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh para khalifah.
Jadi, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi SAW, mereka hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW sebagai nabi untuk menerima wahyu, karena wahyu tidak turun lagi. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi SAW bersabda :
كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR Muslim, no 1842).
Hadits Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa :
Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.
Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.
Para pemimpin umat penerus Nabi SAW dalam fungsi kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) ini, disebut dengan istilah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya, atau negaranya, disebut dengan Khilafah. Inilah Khilafah, atau istilah lainnya Imamah, atau Darul Islam, yang memang ajaran asli dari Islam, yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan kemudian dilanjutkan oleh para khalifah, yaitu Abu Bakar Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, hingga Khalifah yang terakhir, yaitu Sultan Abdul Majid II, yang dilengserkan secara paksa oleh Mustafa Kamal yang murtad pada tanggal 3 Maret tahun 1924 dfi Turki.
Dengan dua kedudukan atau fungsi yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW tersebut, yaitu fungsi kenabian/kerasulan dan sekaligus fungsi kepemimpinan, jelas sekali ini akan berbeda dengan nabi-nabi lain, seperti Nabi Isa AS, nabi Musa AS, yang hanya terbatas mempunyai kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), namun tidak mempunyai kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah).
Penutup
Sesungguhnya peristiwa hijrahnya Nabi SAW ini mempunyai makna yang strategis, sehingga oleh Khalifah Umar dijadikan tonggak awal untuk penanggalan hijriyah, yaitu karena peristiwa hijrah ini memisahkan yang haq dengan yang batil. Hal ini setidak-tidaknya dikarenakan 2 (dua) alasan berikut :
Pertama, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, terbukti dengan jelas bahwa Islam itu mempunyai konsep kekuasaan atau kenegaraan.
Kedua, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, terbukti dengan jelas Nabi Muhammad SAW mempunyai 2 (dua) kedudukan (fungsi) sekaligus, yaitu fungsi kenabian/kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dan fungsi kepemimpinan (manshib al-ri`âsah).
Yogyakarta, 6 Juli 2024 Muhammad Shiddiq Al-Jawi