Home Fiqih Fiqih ibadah CARA BERWUDHU JIKA ADA LUKA PADA ANGGOTA WUDHU

CARA BERWUDHU JIKA ADA LUKA PADA ANGGOTA WUDHU

11

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Bagaimana cara berwudhunya seseorang yang mengakami luka lecet di tangannya (lengan bawah) yang merupakan anggota wudhu, dan juga luka lecet di dekat tumit, yang juga merupakan anggota wudhu? (Nita, Yogyakarta)

Jawab :

Dalam kitab Ahkamush Sholat hlm. 9 karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan cara berwudhu bagi seorang muslim yang mempunyai luka pada anggota tubuhnya yang menjadi anggota wudhu, sebagai berikut :

وَإِذَا كاَنَ عَلىَ بَعْضِ أَعْضَاءِ الْمُكَلَّفِ كَسْرٌ يَحْتَاجُ إِلىَ وَضْعِ الْجَبَائِرِ، أَوْ قَرْحٌ يَحْتَاجُ إِلىَ وَضْعِ لُصُوْقٍ عَلَيْهِ وَوَضْعِ الْجَبَائِرِ أَوْ اللُّصُوْقِ وَأَرَادَ الْوُضُوْءَ يُنْظَرُ: فَإِنْ كاَنَ لاَ يَخاَفُ ضَرَراً مِنْ نَزْعِهَا وَجَبَ نَزْعُهَا وَغُسْلُ ماَ تَحْتَهَا إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَراً مِنْ غُسْلِهِ، وَإِنْ خاَفَ الضَّرَرَ مِنْ نَزْعِهَا أَوْ مِنْ غُسْلِ مَا تَحْتَهَا بِالْماَءِ لاَ يَجِبُ نَزْعُهَا، بَلْ يَغْسِلُ الْعُضْوَ وَيَمْسَحُ عَلىَ الْجَبِيْرَةِ أَوِ اللُّصُوْقِ وَيَتَيَمَّمُ لِحَدِيْثِ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «أَنَّ رَجُلاً أَصَابَهُ حَجَرُ فَشَجَّهُ فِيْ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ: هَلْ تَجِدُوْنَ لِيْ رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ قَالُوْا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلىَ الْماَءِ. فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ… فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتيَمَّمَ ويَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ -شَكَّ مُوْسَى- عَلىَ جُرحِه خِرْقةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهاَ وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ. رواه أبو داود والبيهقي

Artinya : “Jika terjadi pada sebagian anggota wudhu seorang mukallaf patah (tulang) yang membutuhkan pemasangan bilah (pembalut tulang yang patah), atau ada luka bernanah yang membutuhkan pemasangan plester (perban, dsb), lalu mukallaf itu memasang bilah tersebut atau perban tersebut, lalu dia hendak berwudhu, maka dilihat :

Jika dia tidak merasakan kekhawatiran terjadinya bahaya dengan melepas/mencabutnya, maka wajib dia melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya (dengan air) jika dia tidak khawatir terjadinya bahaya dari membasuhnya.

Jika dia merasa khawatir untuk melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya (di bawah bilah atau plester tsb) dengan air, maka tidak wajib melepasnya (melepas bilah atau plester tsb), melainkan dia membasuh anggota (wudhu), dan mengusap atas bilah atau perban/plester tersebut, dan bertayammum, berdasarkan hadits Jabir RA bahwa dia berkata,”Sesungguhnya seorang laki-laki telah tertimpa batu dan melukai kepalanya, lalu dia mimpi basah, dan dia pun bertanya kepada para sahabatnya,’Apakah kalian dapati ada rukhshah bagiku untuk bertayammum?’ Mereka menjawab,’Tidak kami dapati ada rukhsah bagimu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.’ Maka laki-laki itu lantas mandi kemudian dia meninggal dunia. Nabi SAW bersabda :

 إنَّمَا كاَنَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أو يَعْصِبَ -شَكَّ مُوْسىَ- عَلىَ جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Sesungguhnya mencukupi bagi laki-laki untuk bertayammum, dan mengikat atau membalut pada luka (periwayat hadits bernama Musa ragu) di kepalanya suatu kain (perban dsb), kemudian dia usap (dengan air) pada perban itu, dan dia basuh anggota-anggota tubuh lainnya.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi). (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ahkamush Sholat, hlm. 9).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bagi muslim yang hendak berwudhu sedangkan pada anggota tubuhnya yang wajib dibasuh dengan air dalam berwudhu terdapat luka atau semisalnya, kemudian lukanya itu ditutupi dengan semacam plester atau perban, maka ada dua kemungkinan hukum syara’ :

Pertama, jika dia tidak khawatir akan menimbulkan bahaya, maka plester atau perban yang mnenutupi luka itu dicabut atau dilepas dari lukanya, kemudian dia berwudhu secara biasa dan membasuh anggota tubuhnya yang luka itu dengan air, misalnya membasuh tangan atau lengan bagian bawah yang merupakan anggota wudhu, dan juga membasuh luka lecet yang ada di dekat tumit, seperti kasus yang ditanyakan di atas.

Kedua, namun jika dia khawatir akan menimbulkan bahaya, maka plester atau perban yang menutupi luka itu tidak wajib dilepas dari lukanya, dan dia melakukan tayammum yang digabungkan dengan wudhu untuk anggota tubuh lainnya yang tidak terluka. Caranya seperti diuraikan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani :

وَإِنْ خاَفَ الضَّرَرَ مِنْ نَزْعِهَا أَوْ مِنْ غُسْلِ مَا تَحْتَهَا بِالْماَءِ لاَ يَجِبُ نَزْعُهَا، بَلْ يَغْسِلُ الْعُضْوَ وَيَمْسَحُ عَلىَ الْجَبِيْرَةِ أَوِ اللُّصُوْقِ وَيَتَيَمَّمُ

“Jika dia merasa khawatir untuk melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya (di bawah bilah atau plester tsb) dengan air, maka tidak wajib melepasnya (melepas bilah atau plester tsb), melainkan dia membasuh anggota (wudhu), dan mengusap atas bilah atau perban/plester tersebut, dan bertayammum.” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ahkamush Sholat, hlm. 9).

Berarti, yang dilakukan oleh muslim yang hendak berwudhu itu (yang kahwatir ada bahaya jika membuka perban atau plesternya), secara urut (tertib) adalah sbb :

Pertama, dia berwudhu seperti biasa, dengan membasuh dengan air pada anggota-anggota tubuh yang tidak terluka, seperti wajah, atau bagian tangan yang tidak luka, sebagaimana ungkapan teks fiqihnya : (بَلْ يَغْسِلُ الْعُضْوَ)

Kedua, jika wudhunya sampai pada anggota tubuh yang masih diperban/diplester, misalnya bagian tangan yang luka, maka dia mengusap (bukan membasuh) pada perban atau plester itu. Ini sebagaimana ungkapan teks fiqihnya : (وَيَمْسَحُ عَلىَ الْجَبِيْرَةِ أَوِ اللُّصُوْقِ)

Ketiga, setelah dia menyelesaikan wudhunya yang biasa sampai membasuh kaki, dia bertayammum, sesuai teks fiqihnya yang berbunyi : (وَيَتَيَمَّمُ)

Demikianlah yang dapat kami pahami dari penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas dalam kitabnya Ahkamush Sholat (hlm. 9).

Dapat kami tambahkan keterangan tambahan dari Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, untuk kondisi ketika lukanya “maksyūfan” yakni tidak ditutupi oleh plester atau perban dsb, sebagai berikut :

أَمَّا إِنْ كاَنَ الْجَرْحُ مَكْشُوْفاً فاَلْوَاجِبُ غُسْلُهُ بِالْماَءِ إِنْ أَمْكَنَ , فَإِنْ كَانَ الْغُسْلُ يَضُرُّهُ , وَأَمْكَنَ مَسْحُهُ , فَالْوَاجِبُ مَسْحُهُ , فَإِنْ تَعَذَّرَ فإَنَّهُ يُبْقِيْ هَذَا الْجُرْحَ بِلاَ غُسْلٍ وَلاَ مَسْحٍ , ثُمَّ إِذاَ انْتَهَى مِنَ الْوُضُوْءِ تَيَمَّمَ

“Jika lukanya dibiarkan terbuka (tidak tertutup plester dsb), maka (dia) wajib membasuhnya dengan air jika memungkinkan. Jika pembasuhan membahayakan luka, tetapi masih memungkinkan untuk diusap, maka yang wajib adalah mengusapnya. Tapi jika tidak memungkinkan (untuk diusap), maka dia biarkan saja luka itu tanpa pembasuhan dan tanpa pengusapan. Kemudian jika sudah selesai dari wudhu, dia melakukan tayammum.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 2/368).

Adapun jika kondisi lukanya “mastūran”, yakni ditutupi oleh semacam perban atau plester, maka yang dilakukan dalam berwudhu adalah :

وَإِنْ كاَنَ مَسْتُوْراً بِماَ يُسَوِّغُ سَتْرَهُ بِهِ , فَلَيْسَ فِيْهِ إِلاَّ الْمَسْحُ فَقَطْ ، فَإِنْ ضَرَّهُ الْمَسْحُ مَعَ كَوْنِهِ مَسْتُوْراً فَيَعْدِلُ إِلىَ التَّيَمُّمِ , كَماَ لَوْ كَانَ مَكْشُوْفاً , هَذَا مَا ذَكَرَهُ الْفُقَهَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ ” انتهى .

“Jika lukanya tertutup (dengan pelster, perban, dsb), dengan apa-apa yang membolehkan untuk menutupi lukanya dengannya, maka terhadap luka itu cukuplah dengan mengusapnya saja. Dan jika pengusapan (dengan air) itu membahayakan dia, padahal lukanya sudah tertutup, maka langsung saja dia melakukan tayammum, sebagaimana kalau lukanya terbuka (tanpa plester dsb). Inilah yang sudah disebutkan oleh para fuqoha’.” Selesai kutipan. (Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Syarah Al-Mumti’, 1/169). (https://islamqa.info/ar/answers/69796/). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 23 Desember 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi