Oleh Shiddiq al-Jawi
Mukadimah
Berpikir politis (at-tafkîr as-siyâsî) merupakan satu topik tentang berpikir yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1973) dalam kitabnya, At-Tafkîr.[i] Jenis berpikir yang urgen dimiliki umat tersebut sebenarnya merupakan salah satu aktivitas berpikir untuk memahami teks-teks politik. Menurut an-Nabhani (1973: 123), aktivitas membaca teks harus mendapat perhatian khusus. Membaca sebenarnya hanya sarana aktivitas berpikir, bukan aktivitas berpikir itu sendiri. Karena itu, an-Nabhani menekankan:
Banyak orang membaca tetapi tidak berpikir (tentang apa yang dibacanya). Banyak pula yang membaca dan berpikir, namun proses berpikirnya tidak lurus dan tidak dapat menjangkau pemikiran-pemikiran yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat (yang dibaca).[ii]
Dengan kata lain, bacaan (teks) hanya sekadar merupakan ungkapan pemikiran-pemikiran, bukan pemikiran itu sendiri. Ataas dasar itu, orang keliru jika menyangka bahwa masyarakat dapat dibangkitkan hanya dengan diajari membaca atau menulis. Bacaan tidak dapat memberikan bahan apapun bagi proses berpikir; tidak juga membangkitkan dorongan apapun untuk berpikir. Sebab, proses berpikir diwujudkan melalui fakta dan sejumlah informasi pendahulu yang berkaitan dengannya. Bacaan bukanlah fakta yang menjadi obyek berpikir, bukan pula informasi pendahulu yang akan digunakan menafsirkan fakta. Bacaan hanyalah ekspresi pemikiran atau sekadar wadah yang digunakan untuk menampung pemikiran, bukan pemikiran itu sendiri. Jika seorang pembaca dapat memahami dengan baik maksud berbagai ungkapan tentang pemikiran dalam teks sehingga dia dapat menangkap pemikiran-pemikirannya, itu karena pemahamannya yang baik terhadap teks, bukan semata-mata karena aktivitasnya membaca teks. Jika pembaca tersebut tidak memahami teks dengan baik, tidak akan ada pemikiran apa pun yang diperolehnya, walaupun dia telah membaca teks tersebut berjam-jam atau bahkan bertahun-tahun.
Karena itu, an-Nabhani (1973: 124) menegaskan pentingnya pembahasan aktivitas berpikir terhadap teks-teks agar teks-teks itu dapat dipahami dengan baik. Teks-teks yang terpenting menurut beliau adalah teks-teks sastra, teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan teks-teks politik.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan secara lebih luas bagaimana berpikir politis (at tafkir as siyasi) pada teks-teks politis, sebagaimana dijelaskan an-Nabhani dalam kitabnya, At-Tafkîr (hlm. 152-173).
Pengertian Berpikir Politis
Berpikir politis adalah berpikir pada teks-teks politis, yaitu teks-teks yang berkaitan dengan masalah politik, baik teks-teks ilmu-ilmu politik—seperti dalam text-book, literatur, atau jurnal ilmu politik—maupun teks-teks berita-berita politik, seperti dalam koran, radio, televisi, dan sebagainya. Berpikir politis berbeda dengan berpikir tentang teks-teks hukum, meskipun berpikir tentang teks-teks hukum ini adalah bagian dari berpikir politis. Perbedaan, berpikir tentang teks-teks hukum—baik teks-teks kitab fikih untuk mengambil hukum syariat atau teks-teks al-Quran dan Sunnah untuk menggali hukum syariat—bertujuan untuk memberikan solusi atas problem-problem yang dihadapi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Berpikir politis bertujuan untuk melakukan pemeliharaan dan pengaturan urusan-urusan umat; baik dilakukan secara nyata oleh negara (Khilafah), oleh umat agar pengaturan urusan umat oleh Khilafah berjalan baik, ataupun oleh sebuah kelompok politik yang bergerak untuk mewujudkan Khilafah.
Proses berpikir politis akan berlangsung ketika kita, misalnya, memikirkan apa sesungguhnya yang dimaksud oleh Ralph L. Boyce (Dubes AS untuk Indonesia), ketika ditanya wartawan tentang Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang membolehkan bom “bunuh diri”, dalam jumpa pers menjelang kedatangan Menlu Colin Powell di kantor Kedubes AS, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (30/7/2002). Boyce mengaku tidak mau mengomentarinya. “Kita tidak dapat mengkritisi elemen NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia,” katanya. Selanjutnya, Boyce menyatakan bahwa dirinya mengenal NU sebagai organisasi yang moderat dan toleran. Menurut Boyce, hal ini termuat dalam platform NU yang juga memainkan peranan cukup penting dalam membentuk citra umat Islam Indonesia. Boyce menyatakan pula,“Saya tidak bisa berkomentar terhadap pernyataan yang sifatnya belum final.”[iii]
Dari ungkapan Boyce bahwa fatwa NU “sifatnya belum final” dan bahwa NU organisasi moderat dan toleran, berarti sebenarnya Boyce sudah berkomentar—bukan tidak mau berkomentar seperti ungkapan bohongnya—mengenai fatwa NU tersebut. Boyce justru menginginkan agar NU merevisi fatwanya untuk kemudian mengharamkan bom “bunuh diri” sesuai dengan garis politik AS yang mengecam bom “bunuh diri” di Palestina.[iv] Dengan memahami maksud Boyce yang sebenarnya ini, kita dapat mengambil tindakan, misalnya, menasihati ulama NU agar istiqamah dengan fatwa mereka itu, bukan tunduk pada arahan atau keinginan busuk dari Boyce yang kafir.
Berpikir politis juga sangat berbeda dengan berpikir tentang teks-teks sastra seperti teks-teks syair, puisi, cerita pendek, novel, roman, dan sebagainya. Hal itu karena berpikir tentang teks-teks sastra lebih mengutamakan aspek pengungkapan perasaan dengan kata atau kalimat yang indah atau berseni. Sebaliknya, berpikir politis lebih tertuju pada aspek pengungkapan pemikiran, bukan aspek perasaan.
Apakah berpikir politis juga berbeda dengan berpikir untuk memahami teks-teks pemikiran? Hal ini memerlukan tinjauan lebih dulu. Jika yang dimaksud berpikir politis adalah berpikir tentang teks-teks ilmu politik, seperti tentang perbandingan sistem-sistem politik, maka proses berpikir politis hampir sama dengan proses berpikir untuk memahami teks-teks pemikiran. Hanya saja, dalam berpikir memahami teks pemikiran disyaratkan bahwa informasi pendahulu berada setingkat dengan level pemikiran yang dikaji—maksudnya bukan semata informasi kebahasan, melainkan informasi pemikiran sehingga topik yang bersangkutan dapat dipahami—meskipun bukan merupakan informasi pada topik yang bersangkutan. Berpikir politis, di samping membutuhkan informasi pendahulu yang setingkat dengan level pemikiran yang dikaji, juga membutuhkan informasi pada topik yang bersangkutan; tidak cukup dengan informasi yang berkaitan, mirip, atau serupa dengan topik yang sedang dikaji. Contohnya adalah teks pemikiran berikut:
Akal, pemikiran, atau kesadaran adalah proses pemindahan penginderaan fakta ke dalam otak melalui panca indera yang disertai dengan adanya sejumlah pengetahuan pendahulu yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.[v]
Untuk memahami teks politik tentang pemisahan kekuasaan tersebut, kita tidak cukup membuat sembarang bayangan atau gambaran dalam benak kita tentang bahaya sentralisasi kekuasaan, misalnya, sentralisasi kekuasaan di Indonesia pada Orde Baru. Akan tetapi, kita harus membayangkan sentralisasi kekuasaan di negara-negara Eropa, khususnya Prancis, sebab Montesquieu berbicara dalam konteks sosio-historis yang khas tersebut.
Sementara itu, jika yang dimaksud berpikir politis adalah berpikir mengenai berita-berita dan peristiwa-peristiwa politik, maka ia berbeda dengan seluruh cara berpikir yang ada. Berpikir politis dalam arti ini merupakan jenis kegiatan berpikir yang paling tinggi sekaligus paling sulit. Dikatakan paling tinggi, karena ia merupakan aktivitas berpikir atas segala hal dan segala peristiwa, di samping melibatkan semua jenis aktivitas berpikir yang lain seperti berpikir pada teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan sebagainya. Karenanya, berpikir politis mengenai berita dan peristiwa politik disebut sebagai jenis berpikir tertinggi.
Berpikir politis juga dikatakan sebagai jenis kegiatan berpikir paling sulit karena tidak adanya kaidah atau patokan yang dapat digunakan di dalamnya. Bahkan, hampir tidak dapat dikaitkan dengan satu kaidah pun. Inilah yang dapat membuat seorang pemikir atau politisi merasa kebingungan untuk pertama kalinya, yang pada gilirannya akan dapat membuatnya terjerumus ke dalam banyak kesalahan, ilusi, atau ketidaktepatan. Selama seorang pemikir atau politisi tidak banyak ‘makan asam-garam’ dalam dunia politik praktis, tidak mempunyai kewaspadaan, dan tidak mengikuti berita politik secara kontinu, maka akan sulit baginya untuk melangsungkan aktivitas berpikir politis. Karena itulah, berpikir politis dalam arti berpikir terhadap berita-berita dan peristiwa-perstiwa politik dikatakan sebagai jenis berpikir yang paling sulit.
Namun demikian, meskipun berpikir politis mencakup pula berpikir pada teks-teks ilmu-ilmu dan pemikiran-pemikiran politik, berpikir politis yang sesungguhnya adalah berpikir mengenai berita dan peristiwa politik. Karena itu, mereka yang ingin mahir berpikir politis hendaklah melakukan aktivitas berpikir politis pada berbagai berita, kejadian, dan peristiwa politik; dengan mengikuti berita-berita di harian-harian, radio, televisi, internet, dan sebagainya; bukan dengan membaca teks-teks pemikiran-pemikiran politik, misalnya pemikiran Machiaveli, Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, J.J. Rousseau, John Stuart Mill, Karl Marx, Lenin, Stalin, dan sebagainya. Memang, membaca pemikiran-pemikiran ini akan membantu seseorang berpikir politis dalam memahami berita politik, namun hal ini bukanlah keharusan mutlak. Memahami pemikiran-pemikiran politik tersebut hanya akan menjadikan seseorang menguasai pemikiran politik. Orang semacam ini memang layak menjadi dosen ilmu politik, namun tidak layak menjadi seorang politisi. Sebab, seorang politisi adalah orang yang memahami berbagai berita dan peristiwa politik untuk kemudian mengambil suatu sikap atau tindakan dari berita atau peristiwa politik yang ada.[vi]
Syarat-syarat Berpikir Politis
Berpikir politis mengenai berita dan peristiwa politik—yang merupakan berpikir politis yang hakiki dan akan membuat seseorang menjadi politisi—membutuhkan 5 (lima) syarat/kiat utama yang harus terkumpul pada diri seseorang:
Pertama, mengikuti secara terus-menerus seluruh berita dan peristiwa yang terjadi di dunia. Ringkasnya, berpikir politis mengharuskan mengikuti semua berita. Namun demikian, dengan mempertimbangkan suatu berita dari segi penting-tidaknya, direkayasa atau tidaknya, cara-cara penyebarannya, ringkas-panjangnya, maka seiring dengan perjalanan waktu dan pengalaman, seseorang tidak harus mengikuti semua berita yang ada. Akan tetapi, ia cukup mengikuti berita-berita yang memang harus diketahui agar mata rantai pengetahuannya tidak terputus.[vii]
Kedua, membutuhkan adanya pengetahuan-pengetahuan—meskipun pengetahuan awal atau dasar—tentang substansi berita atau peristiwa atau tentang makna-makna berita. Pengetahuan-pengetahuan ini bisa berupa pengetahuan geografi, sejarah, ideologi, pemikiran politik, dan sebagainya yang memungkinkan seseorang memahami hakikat berita atau kejadian.[viii]
Ketiga, tidak melepaskan peristiwa atau berita dari konteks-konteks situasi dan kondisinya, serta tidak melakukan generalisasi atas peristiwa atau berita. Semua ini dapat menyesatkan. Jadi, sebuah kejadian atau peristiwa harus dipahami sebagai satu realitas yang unik beserta konteks situasi dan kondisinya. Suatu peristiwa tidak dapat dipisahkan sama sekali dari konteks-konteksnya. Selain itu, suatu berita atau kejadian hendaknya tidak digeneralisasikan dan tidak dianalogikan dengan berita yang semisalnya secara pukul rata. Sebaliknya, suatu berita haruslah diambil sebagai satu kejadian yang tersendiri dan diberi penilaian atasnya sebagai peristiwa unik, hanya pada peristiwa itu, bukan pada peristiwa yang lain.[ix]
Keempat, mengidentifikasi peristiwa dan kejadian dengan cara memeriksanya secara teliti sehingga dapat diketahui sumber berita, tempat terjadinya peristiwa, tingkat kepercayaan terhadap berita, kondisi terjadinya peristiwa, maksud adanya berita atau penyebarannya, panjang-pendeknya berita, benar-tidaknya berita, dan hal-hal lain yang ada dalam jangkauan arti “pemeriksaan secara teliti”. Sebab, pemeriksaan secara teliti inilah yang akan membuahkan identifikasi berita. Kadar ketelitian identifikasi berita akan bergantung pada kadar kesempurnaan dan kedalaman pemeriksaan berita. Tanpa adanya identifikasi berita, tidak mungkin seseorang mempercayai suatu berita, sebab dia akan mudah menjadi korban penyesatan dan distorsi informasi. Atas dasar itu, identifikasi berita merupakan faktor penting dalam mengambil berita, bahkan hanya untuk sekadar mendengarnya.[x]
Kelima, mengaitkan berita dengan berbagai informasi, terutama informasi berupa berita-berita yang lain. Pengaitan inilah yang akan menghasilkan kesimpulan yang lebih dekat pada hakikat berita. Sebuah berita politik internasional dapat dikaitkan dengan berita politik regional atau sebaliknya. Sebuah berita ekonomi dapat dikaitkan dengan berita politik. Sebuah berita tentang Jerman dapat dikaitkan dengan strategi politik Jerman, padahal berita itu sebenarnya berkaitan dengan garis politik Amerika Serikat. Demikianlah seterusnya. Namun demikian, pengaitan suatu berita dengan berita-berita lain haruslah dilakukan secara benar. Jika sebuah berita dihubungkan dengan berita lain yang tidak relevan, pasti akan terjadi kekeliruan atau kesesatan. Karena itu, mengaitkan berita dengan berita-berita lain yang relevan—secara benar—adalah sangat penting.[xi]
Inilah lima syarat atau kiat yang harus terwujud agar proses berpikir politis dapat terlaksana. Mungkin ada yang mengatakan, lima syarat itu berat dan sulit sekali diwujudkan. Sebenarnya tidak. Sebab, yang dimaksud adalah sekadar mewujudkan lima syarat dalam kadar yang wajar, bukan kadar yang sangat luas dan sangat mendalam. Lagipula, lima hal tersebut jangan dibayangkan harus terwujud sekaligus dalam satu waktu. Lima hal itu akan terwujud pada diri seseorang seiring dengan perjalanan waktu manakala dia melakukan syarat pertama, yaitu mengikuti berita secara kontinu.
Jadi, lima hal tersebut tidaklah diwujudkan secara khusus melalui kajian atau studi, meskipun kajian atau studi akan meningkatkan kadar kemampuan berpikir politis. Yang penting adalah melakukan syarat pertama dan mendasar, yaitu mengikuti berita secara kontinu. Jika ini terwujud, empat syarat berikutnya akan terwujud secara alamiah, seiring dengan perjalanan waktu dan pengalaman.
Dengan demikian, walaupun berpikir politis itu sulit dan tinggi, ia tetap berada dalam jangkauan kemampuan setiap orang; bagaimana pun taraf pemikirannya—apakah biasa, cerdas, atau jenius. Jadi, setiap orang mampu berpikir politis dan dengan demikian, mampu menjadi politisi. Syarat utamanya adalah ia mengikuti berita secara terus-menerus tanpa terputus. Sebab, peristiwa atau berita itu sesungguhnya merupakan kumpulan mata rantai yang saling sambung-menyambung. Jika terputus satu mata rantai, maka suatu peristiwa atau berita tidak akan lagi dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Urgensi Berpikir Politis
Berpikir politis seperti yang diterangkan di atas sangat urgen untuk dimiliki dan diwujudkan umat Islam. Karena itu, harus ada upaya untuk mewujudkan berpikir politis ini di tengah umat Islam, bukan hanya pada diri individu-individu tertentu—seperti negarawan, pemimpin partai politik, pemikir, atau politisi—dari umat Islam. Tanpa adanya berpikir politis tak akan terwujud pemerintahan yang baik, kebangkitan umat, dan kelayakan atau kemampuan pemerintahan Islam mengemban risalah Islam ke berbagai umat dan bangsa lain.
Inti argumentasinya sebenarnya jelas, yaitu bahwa kekuasaan itu hakikatnya ada di tangan umat. Umatlah yang memilih siapa yang akan menjadi penguasa mereka dan umatlah yang akan mengawasi jalannya roda kekuasaan dalam sebuah pemerintahan Islam. Karena itu, harus ada pendidikan politik bagi rakyat. Caranya adalah dengan memberikan beranekaragam informasi dan berita politik serta dengan membina umat dengan berbagai pemikiran-pemikiran politik yang sahih, yakni pemikiran politik Islam.
Tanpa berpikir politis yang benar atau akibat berpikir politis yang lemah dan buruk, kondisi dan nasib buruklah yang akan menghinggapi umat Islam. Tanpa berpikir politis yang sahih, umat Islam akan terhalangi dari upaya membebaskan diri cengkeraman hegemoni imperialisme yang kejam. Tanpa berpikir politis yang sahih, umat Islam akan terhalangi pula dari proses kebangkitannya untuk menjadi umat terbaik yang diciptakan Allah untuk segenap umat manusia. []
Shiddiq al-Jawi, Staf Pengajar SEM Institute, tinggal di Yogyakarta.
[i] Kitab At-Tafkîr itu sendiri pada intinya membahas 4 (empat) topik, yaitu: (1) definisi berpikir; (2) metode-metode berpikir; (3) sepuluh contoh aktivitas berpikir; (4) berpikir memahami teks-teks.
[ii] Taqiyuddin an-Nabhani, At-Tafkîr, hlm. 123.
[iii] “Boyce Komentari Bom Bunuh Diri,” www.detik.com.
[iv] “Bom Bunuh Diri Lagi, Kofi Annan Kecam Israel & Palestina,” www.detik.com.
[v] Taqiyuddin An Nabhani , op.cit., hlm. 26.
[vi] Meskipun Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih menekankan berpikir politis pada teks-teks berita dan peristiwa politik, beliau juga memberi perhatian pada berpikir politis pada teks-teks pemikiran-pemikiran politik. Dalam kitab At-Tafkîr, An-Nabhani mengatakan bahwa mereka yang mengkaji pemikiran-pemikiran politik Barat haruslah mempunyai kewaspadaan dan kesadaran, sebab pemikiran-pemikiran tersebut mengandung bermacam kekeliruan, penyesatan, dan ketidaksesuaian dengan fakta (hlm. 156 dan 160). An-Nabhani memandang semua itu lahir utamanya karena dasar pemikiran politik Barat adalah ide pemisahan agama dari negara (sekularisme) yang selanjutnya melahirkan dominasi prinsip jalan tengah (kompromi, moderasi). An-Nabhani mengajukan tiga contoh pemikiran yang sarat dengan prinsip jalan tengah, yaitu masalah kepemimpinan politik, kedaulatan, dan keterpisahan otoritas gereja dan otoritas negara di Barat (hlm. 156-159). Prinsip jalan tengah ini, dalam perspektif sosiologis, disebut pendekatan struktural-fungsional yang menekankan konsensus umum di masyarakat, bukan konflik-konflik seperti dalam pendekatan Marxian. Tokoh pendekatan sosiologis ini terutama adalah Talcott Parsons dari Harvard, dalam bukunya The Structure of Social Action, Glenco : The Free Press, 1937. Pendekatan konsensus ini hakikatnya bertujuan mempertahankan status quo bagi kepentingan Barat, atau tegasnya, mempertahankan negara-negara Dunia Ketiga agar tetap berada dalam jajahan negara-negara Barat yang kafir dan imperialis.
[vii] Misalnya ungkapan “amandemen keempat” yang akan dilakukan MPR RI dalam Sidang Tahunan bulan Agustus 2002. Frase “amandemen keempat” itu hampir-hampir tidak dipahami bagi orang yang tidak mengikuti aktivitas MPR yang telah mengadakan amandemen UUD 45 sejak 1999 (amandemen pertama).
[viii] Untuk memahami Krisis Palestina, misalnya, kita harus mengetahui letak geografisnya, sejarahnya, baik sejarah Tanah Syam pada masa lalu (masa Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab) maupun sejarah kekinian seperti sejarah gerakan zionisme dan berdirinya Israel, berbagai aspek politiknya seperti garis kebijakan AS terhadap Timur Tengah, konflik-konfliknya, perang-perangnya, serta berbagai perundingan dan perdamaiannya (misalnya perjanjian Oslo, Wye River, dsb), dan sebagainya. Krisis Palestina tidak bisa dipahami dengan utuh bila kita buta dari pengetahuan-pengetahuan dasar semacam itu.
[ix] Misalnya, ungkapan Kapolri Da’i Bachtiar bahwa bantuan Amerika Serikat yang dijanjikan kepada Indonesia sebesar 50 juta dolar AS untuk memerangi terorisme tidak disertai dengan suatu komitmen atau persyaratan tertentu kepada pemerintah Indonesia maupun Polri. Kapolri berkata, “Bantuan itu adalah bantuan saling menguntungkan antara pemerintah Indonesia dengan AS. Tidak ada satu komitmen atau persyaratan tertentu, misalnya pemerintah Indonesia atau Polri harus melakukan ini atau itu,” katanya menjawab pers di Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta, Sabtu (3/8/02) (www.republika.co.id, 3/8/02). Ungkapan ini sulit dipercaya, sebab ungkapan Kapolri harus dikaitkan dengan konteks kebijakan global AS saat ini (terutama sejak peristiwa 11 September 2001) untuk memerangi terorisme versi AS, yang di Indonesia terwujud dalam bentuk, misalnya, penangkapan Ja’far Umar Thalib, penjatuhan vonis kadaluwarsa kepada Abu Bakar Ba`asyir, rekayasa kasus Agus Dwikarna di Filipina, dan sebagainya. Bandingkan dengan pernyataan Hikmatyar pada saat dia berjihad melawan Rusia dengan bantuan senjata AS. Hikmatyar ditanya, “Apakah Amerika memberi bantuan senjata tanpa syarat?” Hikmatyar menjawab, “Siapa yang mengatakan kepada Anda hal tersebut? Amerika tidak akan memberikan senjata kecuali dengan syarat!” (Lihat Abu Usaid, “Ma Yata’allaqu bi at-Tahlîl as-Siyâsi wa al-Fahm as-Siyâsi wa al-Qiyâdah as-Siyâsiyah,” Al Wa’ie, No. 174, Rajab 1422 H/Oktober 2001).
Ini adalah contoh untuk pemahaman berita yang harus dikaitkan dengan konteks-konteksnya. Sementara itu, contoh generalisasi yang menyesatkan, misalnya generalisasi bahwa “agama sebagai sumber konflik”, yang disimpulkan dari kasus-kasus partikular seperti Kasus Ambon, Intifadhah melawan Israel di Palestina, dan sebagainya. Generalisasi itu sungguh menyesatkan dan tendensius. Menyesatkan, karena betapa banyak konflik atau perang yang motifnya bukan agama, tetapi karena ambisi kapitalistis, seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam. Dikatakan tendensius, karena generalisasi itu bertujuan busuk dan keji untuk menghapuskan ajaran yang paling tinggi dalam Islam, yaitu jihad fi sabilillah.
[x] Misalkan berita yang intinya “Dalang peledakan WTC adalah Usamah bin Ladin atau Al-Qaidah” yang digembar-gemborkan pemerintah AS di seluruh dunia melalui jaringan medianya. Benar atau tidaknya materi berita itu memerlukan pemeriksaan secara teliti. Ternyata, banyak pihak yang kemudian tidak mempercayai kebohongan itu. Vision TV Kanada menurunkan laporan investigasi bahwa yang terlibat dalam peristiwa 11 September 2001 justru adalah CIA-Pentagon-Gedung Putih sendiri (www.republika.co.id, 29/01/2002). Bahkan Direktur FBI Robert Mueller sendiri mengaku pada 19 April 2002 bahwa pihaknya belum menemukan bukti apa pun menyangkut keterlibatan Usamah bin Ladin dan Al-Qaidah dalam aksi 11 September (www.republika.co.id, 20/05/2002)
[xi] Pengaitan antar berita ini misalnya pengaitan berita pemberian bantuan AS kepada Filipina sebanyak 55 juta dolar AS untuk memerangi terorisme domestik (www.detik.com) dengan pemberian bantuan AS kepada RI sebesar 50 juta dolar AS untuk tujuan yang sama. Hal ini mengindikasikan secara jelas adanya rekayasa global AS dengan memanfaatkan negara-negara agennya untuk membasmi terorisme (versi AS). Berita-berita tersebut dapat juga dikaitkan dengan kekhawatiran Menteri Pertahanan AS Donald H. Rumsfeld bahwa militan-militan Al-Qaidah dan Taliban banyak yang bersembunyi di negara-negara di luar Afghanistan dan bahwa Al-Qaidah akan tumbuh di Indonesia yang disebutnya sebagai “tempat yang mengkhawatirkan” (worrisome place) (www.detik.com, 06/08/2002).
Sumber :
https://www.globalmuslim.web.id/2011/01/berpikir-politis.html