Home Fiqih Fiqih Muamalah BEBERAPA TRANSAKSI KEUANGAN YANG SERING TERJADI SAAT SAFAR KE LUAR NEGERI

BEBERAPA TRANSAKSI KEUANGAN YANG SERING TERJADI SAAT SAFAR KE LUAR NEGERI

99

Tanya :

Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hukum muamalah dalam safar ke luar negeri yang sering terjadi yang perlu diketahui, antara lain : pertama, hukum menarik tunai uang rupiah via ATM dan keluar dalam mata uang lokal. Kedua, hukum jual beli dengan kartu debit (kartu ATM) untuk berbelanja dalam mata uang lokal. Ketiga, hukum menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang lokal di Money Changer. (Maya, Bandung).

Jawab :

Pertama, mengenai hukum menarik tunai uang rupiah via ATM dan keluar dalam mata uang lokal, gambaran faktanya misalnya saat kita berada di Turki, kita melakukan penarikan uang di ATM, dan ternyata yang keluar adalah mata uang Lira Turki, bukan mata uang rupiah. Padahal kita menabung di bank dalam mata uang rupiah.

Hukum penarikan tunai yang seperti itu boleh dengan syarat penarikan uang via ATM itu terjadi secara yadan biyadin, yaitu penerimaan uang lokal itu terjadi di majelis akad, yaitu terjadi di ATM tersebut, tanpa ada penundaan (ta`khīr, delay). Dalilnya adalah hadits tentang bolehnya ṣaraf (tukar menukar uang, money exchange) yang berbeda jenis, misal rupiah dengan riyal, rupiah dengan lira (Turki), dsb, asalkan terjadi secara yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābuḍ fī majelis al-‘aqad).

Dalilnya hadits dari Ubadah bin Shamit RA sebagai berikut :

عنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Dari ‘Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut (al-sha’īr bi al-sha’īr), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran/timbangannya (mithlan bi mithlin sawâ`an bi sawâ`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR. Muslim, no 1587).

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa untuk penukaran mata uang yang berbeda jenis, misalnya rupiah dan lira hukumnya boleh asalkan memenuhi satu syarat, yaitu terjadi secara kontan atau yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābuḍ fī majelis al-‘aqad). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām Al-Iqtiṣādi fī al-Islām, hlm. 257)

Bolehnya ṣaraf tersebut sama saja, baik secara kontan (yadan biyadin) dengan membawa mata uang secara konkret di majelis akad, seperti yang terjadi di Money Changer, maupun secara kontan dengan menukarkan uang yang statusnya dalam tanggungan (al-ṣaraf mā fī al-ẓimmah), maksudnya uang yang menjadi piutang (al-dayn), di dalam majelis akad, seperti yang terjadi ketika seorang melakukan penarikan tunai di ATM dengan mendapat mata uang lokal yang berbeda dengan mata uang yang tersimpan sebagai saldo dalam rekening bank. Alasannya adalah karena al-dhimmah al-ḥaḍirah ka al-‘ayn al-ḥadirah, artinya piutang yang menjadi tanggungan  di majelis akad, hukumnya sama dengan uang yang hadir di majelis akad. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām Al-Iqtiṣādi fī al-Islām, hlm. 259).

Dalil bolehnya menukarkan uang yang statusnya piutang (al-dayn), yaitu dalam hal ini uang yang menjadi saldo dalam rekening bank, adalah hadits Ibnu Umar RA sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ” كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالدَّنَانِيرِ [أي مؤجلا] وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال : لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

 Dari Ibnu Umar RA, dia berkata,”Dulu saya menjual unta dengan dinar [yaitu dibayar tempo, tak kontan] namun saya mengambil [harganya] dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham [secara tempo, tak kontan] namun saya mengambil harganya dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai jual beli itu, maka Rasulullah SAW bersabda,”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu [hari jatuh tempo], selama kalian berdua [penjual dan pembeli] tidak berpisah sementara di antara kalian berdua masih ada sesuatu [sisa pembayaran utang].” (HR Ahmad, no. 6239; Abu Dâwud, no. 3354; An-Nasâ`i, no 4582; Tirmidzi, no 1242; dan Ibnu Mâjah, no. 2262).

Dalam hadits tersebut terkandung hukum bolehnya seseorang yang mempunyai piutang pada pihak lain yang menjadi hak orang itu, untuk menukarkan piutang tersebut dengan mata uang lainnya, asalkan memenuhi syaratnya, yaitu menggunakan kurs pada hari penukaran mata uang tersebut. Maka dari itu dibolehkan secara syariah, seseorang yang mempunyai piutang pada orang lain dalam mata uang dinar, misal 1 dinar, untuk menukarkan mata uang dinar itu dengan mata uang dirham, dengan kurs pada hari penukaran mata uang, misalkan pada hari itu 1 dinar kursnya adalah 12 dirham. Inilah dalil bolehnya menarik tunai uang tabungan dalam rupiah via ATM di luar negeri (misal Turki) dan keluar dalam mata uang lokal, yaitu Lira Turki.

Kedua, hukum jual beli dengan kartu debit (kartu ATM) untuk berbelanja dalam mata uang lokal. Gambaran faktanya misalnya kita belanja di sebuah mall di Turki, snack khas Turki bernama Baklava seberat 1 kilogram dengan harga 54 Turkish Lira (sekitar Rp 300.000). Kemudian kita membayar Baklava tersebut ke kasir mall di Turki dengan menyerahkan kartu debit kita di BSI (Bank Syariah Indonesia) yang menyimpan tabungan kita dalam mata uang rupiah.

Hukum jual beli tersebut tidak boleh, karena pada muamalah tersebut terjadi dua akad dalam satu akad secara mengikat (mulzim, binding), yaitu : satu, akad ṣaraf, yaitu penukaran uang rupiah ke uang lokal. Kedua, akad jual beli, yaitu membeli barang dengan mata uang lokal, dengan pembayaran secara utang melalui kartu debit (ATM). Padahal sudah terdapat dalil melarang menggabungkan dua akad secara mengikat seperti ini, sesuai hadits Ibnu Mas’ud RA :

نهَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْن فِي صَفْقَةٍ واحِدَةٍ

“Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398, hadits shahih).

Solusinya adalah, Anda pergi dulu ke ATM, lakukan tarik tunai uang Anda dalam mata uang lokal, yaitu Turkish Lira, lalu belilah dengan Turkish Lira itu Baklava yang Anda inginkan.

Ketiga, adapun hukum menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang lokal di Money Changer, hukumnya boleh dengan syarat penukaran uang di Money Changer dilakukan secara yadan biyadin, yaitu penerimaan uang lokal itu terjadi di majelis akad (Money Changer) tanpa ada penundaan (ta`khīr, delay).

Dalil kebolehannya adalah hadits yang sudah dikemukakan sebelumnya tentang bolehnya ṣaraf (tukar menukar uang) yang berbeda jenis, misal rupiah dengan lira, asalkan terjadi secara yadan biyadin, yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābuḍ fī majelis al-‘aqad). (HR Muslim, dari Ubadah bin Shamit RA). Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 7 Januari 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi