Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan bagaimana ujrah atau imbalan untuk Nazhir Wakaf. (Hamba Allah).
Jawab :
Kami akan menjawab pertanyaan di atas dalam tiga pokok pembahasan sebagai berikut :
Pertama, pensyariatan ujrah bagi Nazhir Wakaf.
Kedua, penetapan besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf.
Ketiga, ujrah bagi Nazhir Wakaf, dari sumber pendapatan yang mana?
Pertama, Pensyariatan Ujrah Bagi Nazhir Wakaf
Nazhir Wakaf sebagai orang (atau orang-orang) yang mengurusi harta wakaf, termasuk mengurusi manfaat-manfaat dari harta wakaf, serta pendistribusian manfaat-manfaat itu kepada para pihak yang berhak, berhak mendapat ujrah (imbalan) atas tenaganya yang telah dia curahkan untuk mengurus wakaf. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 44/210; Muhammad Ahmad Shalih Al-Shalih, Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah,hlm. 117; Khalid Al-Musyaiqih, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Waqf wa al-Hibāt wa al-Washāyā, 2/398-399; Muhammad ‘Ubaid Al-Kubaisiy, Ahkām Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah, hlm. 213).
Para ulama telah menetapkan adanya hak ujrah bagi Nazhir Wakaf tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA berikut ini :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: لاَ يَقْتَسِمُ وَرَثَتِيْ دِيْناَرًا، ماَ تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِساَئِيْ وَمَؤُوْنَةِ عاَمِلِيْ، فَهُوَ صَدَقَةٌ. رواه البخاري ومسلم والترمذي
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Ahli warisku tidak boleh membagi dinar warisanku. Harta yang aku tinggalkan selain nafkah untuk istri-istriku dan bekal bagi ‘amilku, semuanya adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari, no. 3096; Muslim, no. 1760; Al-Tirmidzi, no. 404 dalam Al-Syamā`il Al-Muhammadiyyah).
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani memberi penjelasan (syarah) hadits tersebut dengan berkata :
وَهُوَ دَالٌّ عَلىَ مَشْرُوْعِيَّةِ أُجْرَةِ الْعاَمِلِ عَلىَ الْوَقْفِ، وَمُراَدُ الْعاَمِلِ فِيْ هَذاَ الْحَدِيْثِ : اَلْقَيِّمُ عَلىَ اْلأَرْضِ
“Hadits itu menunjukkan pensyariatan adanya ujrah (imbalan) bagi pengurus wakaf (Nazhir Wakaf) (al-‘āmil ’alā al-waqf), dan yang dimaksud dengan kata ‘amil dalam hadits ini, adalah orang yang mengurus tanah (Khaibar).” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bāriy, Juz V, hlm. 406).
Para ulama juga berdalil dengan perkataan Umar bin Khaththab RA ketika mewakafkan tanahnya di Khaibar (tanah pertanian yang terletak 53 km sebelah utara kota Madinah) :
لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
“Tidak masalah orang yang mengolah kebun tersebut memakan dari hasil tanamannya dengan sepantasnya, atau memberi makan temannya dengan tidak bermaksud untuk menumpuk harta.” (HR. Muslim, no. 3085). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 44/210)
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama telah sepakat (tanpa ada khilafiyah) bahwa Nazhir Wakaf memang berhak mendapatkan ujrah sebagai imbalan dari pekerjaannya mengelola harta wakaf.
Kedua, Penentuan Besarnya Ujrah Nazhir Wakaf
Meskipun para ulama sepakat Nazhir Wakaf itu berhak atas ujrah sebagai imbalan dari pekerjaannya mengelola harta wakaf, namun mereka berbeda pendapat dalam hal penentuan besarnya ujrah (miqdār al-ujrah), berdasarkan syarat-syarat yang terdapat dalam akad wakaf, siapa yang menentukan besarnya ujrah (miqdār al-ujrah), apakah Wakif (Pewakaf) ataukah Qadhi (Hakim Syariah). Penjelasannya sebagai berikut sebagaimana terdapat dalam kitab karya Syekh Muhammad Ahmad Shalih Al-Shalih, Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah, hlm. 118-120 :
Pertama, jika miqdār al-ujrah (besarnya ujrah) ditentukan oleh Wakif (Pewakaf).
Wakif memiliki kewenangan (hak) untuk menentukan berapa besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf. Di sini ada 3 (tiga) kemungkinan :
- Besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf sama besarnya dengan ajrul mitsli, yaitu upah yang semisal dengan Nazhir Wakaf yang lain dengan pengelolaan wakaf yang sejenis di suatu masyarakat. Di sini tidak ada ikhtilaf di kalangan para fuqoha bahwa Nazhir Wakaf berhak atas ajrul mitsli
- Besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf lebih besar daripada ajrul mitsli. Para fuqoha juga membolehkan ujrah yang lebih besar daripada ajrul mitsli ini bagi Nazhir Wakaf.
- Besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf lebih sedikit daripada ajrul mitsli. Dalam kondisi demikian, Nazhir Wakaf diberi khiyār (opsi) sebagai berikut : (1) jika Nazhir Wakaf menerima dengan ridho, maka alhamdulillah dan selesai urusan. (2) jika Nazhir Wakaf tidak ridho, maka Nazhir Wakaf berhak mengangkat persoalan ini kepada Qadhi (Hakim Syariah). Di peradilan syariah (al-Qadha`), Qadhi akan mempertimbangkan kasus besarnya ujrah yang lebih rendah dari ajrul mitsli ini, dan Qadhi berhak menaikkan besarnya ujrah hingga akhirnya maksimal sama dengan ajrul mitsli.
Kedua, jika miqdār al-ujrah (besarnya ujrah) ditentukan oleh Qadhi (Hakim Syariah).
Qadhi (Hakim Syariah) adalah pihak yang menentukan besarnya ujrah Nazhir Wakaf dalam 3 (tiga) keadaan :
- Dalam keadaan-keadaan tertentu di mana Qadhi dibolehkan secara syariah untuk menentukan besarnya ujrah Nazhir Wakaf, misalnya : ketika Wakif (Pewakaf) meninggal dunia dan tidak menentukan siapa Nazhir Wakaf-nya, atau pihak penerima wakaf (al-mauquf ‘alaihi) tidak tertentu secara by name, atau pihak penerima wakafnya tertentu tetapi berupa golongan yang tidak terbatas (misal golongan fakir atau miskin), atau penerima wakafnya ghairu ādamiy (bukan manusia) seperti masjid tertentu, maka Qadhi yang mengatur wakafnya, termasuk menentukan miqdār al-ujrah (besarnya ujrah). (Muhammad Ahmad Shalih Al-Shalih, Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah, hlm. 94-95)
- Dalam keadaan ketika Wakif (Pewakaf) telah menentukan Nazhir Wakaf tapi tidak menentukan besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf itu, maka atas permintaan Nazhir Wakaf, Qadhi yang menentukan besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf.
- Dalam keadaan ketika Wakif (Pewakaf) telah menentukan Nazhir Wakaf dan juga telah menentukan besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf itu, maka boleh hukumnya Nazhir meminta Qadhi untuk menentukan besarnya ujrah bagi Nazhir Wakaf. Misalnya : ketika Nazhir Wakaf diberi ujrah yang kurang dari ajrul mitsli dan dia tidak ridho dengan ujrah tersebut.
(Lihat : Muhammad Ahmad Shalih Al-Shalih, Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah, hlm.118-120)
Ketiga, Ujrah Nazhir Wakaf : Dari Sumber Pendapatan Yang Mana?
Meskpun para ulama sepakat mengenai berhaknya Nazhir Wakaf atas ujrah sebagai imbalan pekerjaannya mengelola harta wakaf, namun mereka berbeda pendapat dalam hal sumber pendapatan yang kemudian digunakan sebagai ujrah bagi Nazhir Wakaf. Ada dua pendapat sebagai berikut :
Pertama, jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa ujrah bagi Nazhir, sumbernya adalah hasil (al-ghallah) dari pengelolaan harta wakaf, baik besaran upah itu ditetapkan oleh Wakif (pewakaf) maupun ditetapkan oleh Qadhi (Hakim Syariah).
Kedua, sebagian ulama Malikiyyah merinci sumber ujrah bagi Nazhir Wakaf sebagai berikut : (1) jika besarnya ujrah ditetapkan oleh Wakif (pewakaf), maka sumber ujrah Nazhir Wakaf adalah hasil (al-ghallah) dari pengelolaan harta wakaf. (2) jika besarnya ujrah ditetapkan oleh Qadhi (Hakim Syariah), maka sumber ujrah Nazhir Wakaf adalah dari Baitul Mal (Kas Negara), bukan dari hasil (al-ghallah) dari pengelolaan harta wakaf.
Pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya), adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa ujrah bagi Nazhir Wakaf sumbernya adalah hasil (al-ghallah) dari pengelolaan harta wakaf, baik besaran upah itu ditetapkan oleh Wakif (pewakaf) maupun ditetapkan oleh Qadhi (Hakim Syariah). (Muhammad Ahmad Shalih Al-Shalih, Al-Waqf fī Al-Syarī’at Al-Islāmiyyah, hlm.123). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 6 April 2024/26 Ramadhan 1445
Muhammad Shiddiq Al-Jawi