Home Aqidah SALAM LINTAS AGAMA, HARAM HUKUMNYA

SALAM LINTAS AGAMA, HARAM HUKUMNYA

107

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bagaimana pendapat Ustadz mengenai fatwa MUI yang mengharamkan salam lintas agama? (Hamba Allah)

 

Jawab :

Kami sependapat dengan fatwa MUI yang mengharamkan salam lintas agama. Fatwa ini merupakan salah satu fatwa hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII pada 28 hingga 31 Mei 2024 yang lalu di Provinsi Bangka Belitung.

Adapun salam lintas agama yang dimaksud, adalah salam yang sering diucapkan oleh para pejabat Republik Indonesia, baik yang beragama Islam ataupun non-Islam dalam berbagai forum, yang berbunyi : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu [Islam], Salam Sejahtera bagi Kita Semua [Katholik], Shalom [Kristen Protestan], Om Swastyastu [Hindu], Namo Buddhaya [Budha]. (https://id.wikipedia.org/wiki/Salam_Lintas_Agama).

Menurut kami, salam lintas agama tersebut, haram hukumnya diucapkan oleh seorang yang beragama Islam, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

 

Pertama, salam lintas agama tersebut telah mencapur-adukkan yang haq (yaitu agama Islam) dengan yang batil (yaitu agama-agama selain Islam). Padahal Allah SWT telah berfirman :

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu menyembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).” (QS Al-Baqarah : 42).

Imam Al-Baghawi (w. 516 H/1122 M) dalam kitab tafsirnya menafsirkan :

وَالْأَكْثَرُوْنَ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ لَا تَلْبِسُوا اْلإِسْلاَمَ بِالْيَهُوْدِيَّةِ وَالنَّصْراَنِيَّةِ

“Kebanyakan (ulama) menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah, janganlah kamu mencampuradukkan agama Islam dengan agama Yahudi dan agama Nashrani (Kristen).” (Imam Al-Baghawi, Ma’ālim Al-Tanzīl, Riyādh : Dār Thayyibah, 1409 H, Juz I, hlm. 87).

Imam Ibnu Katsir (w. 774H/1373 M) meriwayatkan penafsiran Qatadah (w. 117 H/736 M) terhadap ayat tersebut :

وَقاَلَ قَتاَدَةَ وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ ،قَالَ : لاَ تَلْبِسُوْا الْيَهُوْدِيَّةَ وَالنَّصْراَنِيَّةَ بِاْلإِسْلاَمِ، إِنَّ دِيْنَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ وَالْيَهُوْدِيَّةُ وَالنَّصْراَنِيَّةُ بِدْعَةٌ لَيْسَتْ مِنَ اللهِ

“Qatadah RA berkata, bahwa firman Allah SWT “Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan,” maksudnya adalah “Janganlah kamu mencampuradukkan agama Yahudi dan agama Nashrani (Kristen) dengan agama Islam, karena agama (yang diridhai) Allah hanyalah Islam, sedangkan agama Yahudi dan agama Nashrani (Kristen) adalah bid’ah bukan dari Allah.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur`ān Al-‘Azhīm, Juz I, hlm. 379).

Berdasarkan dalil ayat di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya salam lintas agama diucapkan oleh seorang muslim, karena salam lintas agama ini telah mencampuradukkan agama Islam dengan agama-agama lain selain Islam, dalam tatacara mengucapkan salam.

 

Kedua, karena salam lintas agama merupakan perbuatan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir/non-Islam) yang telah diharamkan bagi umat Islam. Dalil keharaman tasyabbuh bil kuffār  adalah hadits dari dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitāb Al-Libās, no. 3512. Syekh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya Shahīh Abū Dāwād, “Hadits ini hasan shahih”, no. 3401).

Yang dimaksud menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) adalah menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (في خصائص دينهم الباطل), fī khashā`ishi dīnihim al-bathil, baik ciri khas kekafiran itu berasal dari agama mereka, misalnya dalam aqidah mereka dan tatacara ibadah mereka, misalnya perayaan hari raya Natal, maupun berasal dari adat istiadat mereka, seperti pakaian khas mereka (misalnya baju pendeta dan biarawati), dan sebagainya. (Imam Al-Shan’ani, Subulus Salām, 4/175; ‘Ali Ibrāhīm Mas’ūd ‘Ajīn, Mukhālafatu Al-Kuffār fī As-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 14).

Berdasarkan dalil hadits tersebut, jelaslah bahwa haram hukumnya salam lintas agama diucapkan oleh seorang muslim, karena muslim tersebut berarti telah melakukan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) yang diharamkan dalam agama Islam.

Hal ini dikarenakan ucapan Salam Sejahtera bagi Kita Semua asalnya adalah ucapan salam di antara sesama umat beragama Katholik, maka jika kemudian seorang muslim meniru-meniru dan menyerupai kaum Katholik dan ikut-ikutan mengucapkan Salam Sejahtera bagi Kita Semua, berarti muslim itu telah melakukan perbuatan menyerupai kaum kafir Katholik.

Demikian juga ucapan salam Shalom asalnya adalah ucapan salam antar sesama umat Kristen Protestan. Maka jika kemudian seorang muslim meniru-meniru dan menyerupai kaum Kristen Protestan dan ikut-ikutan mengucapkan Shalom, berarti muslim itu telah melakukan perbuatan menyerupai kaum kafir Kristen Protestan. Demikian juga jika seorang muslim mengucapkan Om Swastyastu, berarti dia menyerupai kaum kafir Hindu, atau jika muslim itu mengucapkan Namo Buddhaya, berarti dia telah menyerupai kaum kafir Budha.

Walhasil, seorang muslim yang mengucapkan salam lintas agama, sungguh dia telah berdosa, karena dia telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), suatu perbuatan yang –meskipun tidak mengakibatkan seorang muslim menjadi murtad atau keluar dari agama Islam–  tetapi setidak-tidaknya muslim itu telah melakukan keharaman.

 

Imam Ibnu Taimiyyah berkata menjelaskan hadits di atas :

وَهَذَا الْحَدِيْثُ ـ يَعْنِيْ حَدِيْثَ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمِ ـ أَقَلُّ أَحْواَلِهِ أَنْ يَقْتَضِيَ تَحْرِيْمَ التَّشَبُّهِ بِهِمْ، وَإِنْ كاَنَ ظاَهِرُهُ يَقْتَضِيْ كُفْرَالْمُتَشَبِّهِ بِهِمْ

“Hadits ini, yakni hadits wa man tasyabbaha bi-qaumin fahuwa minum, sekurang-kurangnya menunjukkan keharaman ber-tasyabbuh bil-kuffār, meskipun makna lahiriyahnya (literally) menunjukkan kafirnya (murtadnya) orang yang ber-tasyabbuh bil-kuffār.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhā` As-Sirāth Al-Mustaqīm, 1/270).

 

Ketiga, karena salam lintas agama bertentangan dengan ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW mengenai tatacara salam kepada audiens yang bercampur antara muslim dan non-muslim, yaitu mengucapkan Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu, dengan meniatkan salam tersebut secara khusus kepada kaum muslimin yang hadir.

Menurut Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M), caranya seperti penjelasan beliau dalam kitab Al-Adzkār dan Al-Majmū’ :

لَوْ مَرَّ بِمَجْلِسٍ فِيْهِ كُفاَّرٌ وَمُسْلِمُوْنَ أَوْ مُسْلِمٌ وَاحِدٌ اُسْتُحِبُّ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَيْهِ وَيَقْصِدَ الْمُسْلِمِيْنَ أَوِ الْمُسْلِمَ

”Jika seorang muslim melintasi suatu majelis yang di dalamnya ada orang-orang kafir (kuffār) dan orang-orang muslim atau satu orang muslim, maka disunnahkan dia mengucapkan salam kepada majelis tersebut dengan meniatkan untuk orang-orang muslim atau satu orang muslim saja.” (Imam Nawawi, Al-Adzkār, hlm. 464; Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 6/13).

Imam Nawawi berdalil dengan hadits dari Usamah bin Zaid RA :

عَنْ أُسامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيه أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةَ الأَوْثَانِ والْيَهودِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Usamah bin Zaid RA, bahwa Nabi SAW pernah melintasi suatu majelis yang di dalamnya ada campuran (akhlāth) orang-orang muslim dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi, lalu Nabi SAW mengucapkan salam kepada mereka. (HR. Bukhari, no. 5899).

Namun hadits ini menurut Imam Nawawi harus digabungkan (di-jama’) dengan hadits Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda :

لا تَبْدَؤُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَىْ بِالسَّلاَمِ

”Janganlah kamu memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nashrani…” (HR. Muslim no. 2167). (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bāri, 11/41-43).

Hasil dari penggabungan dua dalil ini, menurut Imam Nawawi, adalah boleh hukumnya kita bersalam biasa kepada audiens yang bercampur antara muslim dan non muslim, asalkan kita dalam hati berniat mengkhususkan salam untuk kaum muslimin saja. Inilah pendapat yang kami rajih-kan dalam masalah tatacara kepada audiens yang bercampur antara muslim dan non-muslim. (Imam Nawawi, Al-Adzkār, hlm. 464; Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 6/13).

 Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa seorang muslim yang mengucapkan salam lintas agama, berarti telah bertentangan dengan ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW mengenai tatacara salam kepada audiens yang bercampur antara muslim dan non-muslim.

 

Padahal banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan bahwa apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW itu, merupakan teladan yang wajib hukumnya untuk diambil dan diikuti oleh umat Islam, dan tidak sepantasnya kita membuat-buat ajaran sendiri yang tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur`an dan Al-Hadits. Firman Allah SWT :

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ

“Dan apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).

Firman Allah SWT :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab : 21).

Firman Allah SWT :

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imran : 31).

 

Kesimpulannya, salam lintas agama tersebut, haram hukumnya diucapkan oleh seorang yang beragama Islam, berdasarkan 3 (tiga) alasan: Pertama, karena salam lintas agama tersebut telah mencapur-adukkan yang haq (yaitu agama Islam) dengan yang batil (yaitu agama-agama selain Islam). Kedua, karena salam lintas agama merupakan perbuatan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir/non-muslim) yang telah diharamkan bagi umat Islam. Ketiga, karena salam lintas agama bertentangan dengan ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW mengenai tatacara salam kepada audiens yang bercampur antara muslim dan non-muslim. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 3 Juli 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi