Home Fiqih Fiqih ibadah RUMAH TEMPAT TINGGAL DAN KENDARAAN PRIBADI, APAKAH HARUS DIBAYAR ZAKATNYA?

RUMAH TEMPAT TINGGAL DAN KENDARAAN PRIBADI, APAKAH HARUS DIBAYAR ZAKATNYA?

210
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Tanya :

Assalamualaikum wr. wb. Afwan pak Ustadz, ana ingin bertanya tentang zakat rumah tempat tinggal dan kendaraan pribadi, apakah harus dibayar zakatnya? Atas jawaban pak Ustadz saya ucapkan Jazakallah Khoir. (Ibrahim Muhayang, Balikpapan)


Jawab :

Wa ‘alaikum salam wr. wb.
Jika rumah dan kendaraan pribadi itu hanya dipakai sendiri, bukan untuk diperdagangkan, maka tidak ada kewajiban zakat untuk rumah dan kendaraan pribadi tersebut.

Dalilnya sabda Rasulullah SAW :

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada kudanya dan budaknya.” (HR Bukhari, no. 1463, Muslim, no. 982).

Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ فِي أَنَّ أَمْوَالَ الْقُنْيَةِ لَا زَكَاةَ فِيْهَا ، وَأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْخَيْلِ وَالرَّقِيْقِ إذَا لَمْ تَكُنْ لِلتِّجَارَةِ ، وَبِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ

“Hadits ini adalah dalil bahwa harta-harta yang dipakai untuk keperluan sendiri (Arab : al qun-yah), tidak ada kewajiban zakatnya. Hadits ini juga dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk kuda dan budak selama tidak diperdagangkan. Inilah pendapat para ulama seluruhnya baik ulama salaf maupun khalaf…” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, Juz VII, hlm. 55).

Dengan demikian, jelaslah bahwa rumah dan kendaraan yang dimiliki, tidak terkena kewajiban zakat perdagangan, selama rumah dan kendaraan pribadi tersebut dipakai untuk keperluan pribadi dan tidak diperdagangkan. Adapun jika rumah dan kendaraan pribadi tersebut diperdagangkan, maka akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika memenuhi syatrat-syaratnya. (http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/411).

Misalnya, awalnya seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri. Namun pada suatu saat, dia berniat mau menjual rumahnya tersebut. Maka sejak dia berniat menjual, berarti rumah tersebut akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria sebagai berikut;

Pertama, nilai barang dagangan sudah mencapai nishab zakat perdagangan, atau lebih. Nishab zakat perdagangan secara umum adalah nishab perak (bukan nishab emas) sesuai prinsip aqallu nishabaini (mengikuti nishab paling sedikit di antara nishab emas dan perak), yaitu 200 dirham, atau kira-kira Rp 14,5 juta.

Kedua, barang dagangan sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun menurut kalender Hijriyah (bukan menurut kalender Masehi), sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria tersebut, zakatnya adalah 2,5% dari harga jual. (‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 163-164)

Misalnya, seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri sejak tahun 2015. Pada suatu saat, misalkan tahun 2023, tepatnya hari Ahad tanggal 1 Rabiul Awal tahun 1445 H, dia berniat menjual rumah tersebut, yang nilainya saat itu Rp 900 juta. Maka sejak tanggal tersebut, rumah tersebut akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah), jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria yang sudah disebutkan. Rumah tersebut laku misalnya pada tanggal 1 Rabiul Awal tahun 1446 H (sudah berlalu selama 1 tahun hijriyah sejak tanggal diniatkan untuk dijual) dengan harga jual sebesar Rp 1 miliar. Apakah orang tersebut wajib membayar zakat perdagangan (zakāt ‘urūudh at-tijārah)? Jika sudah wajib, berapa besarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditinjau 2 (dua) kriteria zakat perdagangan, yaitu nishab dan haul.

Kriteria pertama, ditinjau dari segi nishab, rumah tersebut yang nilainya Rp 900 juta tersebut, jelas sudah melampaui nishab untuk barang dagangan, yaitu 200 dirham, atau kira-kira Rp 14,5 juta.

Kriteria kedua, ditinjau dari segi haul, barang dagangan itu sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun hijriyah sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Ini karena orang tersebut mulai berniat menjual rumahnya tanggal 1 Rabiul Awal tahun 1445 H, dan kemudian rumah itu laku satu tahun setelahnya, yaitu 1 Rabiul Awal tahun 1446 H.

Maka dikarenakan sudah memenuhi dua kriteria zakat perdagangan, berarti muslim tersebut sudah wajib hukumnya mengeluarkan zakat perdagangan. Adapun besarnya zakat yang wajib dikeluarkan, besarnya adalah = 2,5% dikalikan harga jual (Rp 1 miliar) (bukan dikalikan harga beli atau harga di awal haul, yaitu Rp 900 juta), yaitu = 2,5% x Rp 1 miliar = Rp 25 juta.

Tetapi jika rumah itu misalnya sudah terjual pada bulan ke-6 (belum mencapai haul, yaitu satu tahun hijriyah), sejak tanggal diniatkan dijual, berarti belum ada kewajiban zakat perdagangan, karena belum memenuhi kriteria kedua, yaitu kriteria haul (berlalu satu tahun hijriyah) pada barang dagangan, sejak tanggal diniatkan dijual. Sebaliknya, jika rumah itu belum laku juga hingga pada bulan ke-15 (sudah lebih dari satu tahun hijriyah), rumah itu sudah terkena kewajiban zakat, walaupun belum laku terjual.  Wallāhu a’lam.

 

Ambon, 2 Nopember 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi