Home Siyasah PEMBUNUHAN SENGAJA DAN SANKSI PIDANANYA DALAM ISLAM : KASUS PEMBUNUHAN BRIGADIR YOSHUA OLEH...

PEMBUNUHAN SENGAJA DAN SANKSI PIDANANYA DALAM ISLAM : KASUS PEMBUNUHAN BRIGADIR YOSHUA OLEH FERDY SAMBO DKK

78

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

Pengantar

Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat telah menjadi perhatian luas publik di Indonesia sejak awal Juli tepatnya tanggal 11 Juli 2022 hingga bulan Agustus dan bahkan hingga bulan September 2022 ini. Ferdy Sambo yang awalnya membuat narasi palsu bahwa kematian Brigadir Yoshua adalah akibat tembak menembak dengan Bharada Richard Eliezer, akhirnya mengakui bahwa kematian Brigadir Yoshua sebenarnya bukanlah karena tembak menembak, melainkan karena penembakan oleh Richard Eliezer dan Ferdy Sambo itu sendiri.

 

Ferdy Sambo dan beberapa tersangka lain akhirnya diancam dengan pasal berlapis, utamanya pasal 340 KUHP mengenai sanksi pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun.

 

Bagaimanakah sanksi pidana untuk kasus Ferdy Sambo ini, andaikata yang diterapkan adalah Syariah Islam? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut, dengan menjelaskan macam-macam pembunuhan dalam pidana Islam, termasuk pengertian pembunuhan sengaja, dan sanksi-sanksi pidananya dalam Syariah Islam.

 

Macam-Macam Pembunuhan

Pembunuhan (al-qatl) didefinisikan oleh para ulama sebagai perbuatan yang dilakukan oleh hamba (manusia) yang mengakibatkan hilangnya kehidupan (fi’lun min al-‘ibâdi tazûlu bihi al-hayâtu). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 32/321).

 

Pembunuhan terhadap manusia (al-qatlu al-âdamî) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, ada 4 (empat macam), sejalan dengan pendapat sebagian ulama Hanabilah, yaitu :

Pertama, pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu).

Kedua, pembunuhan seperti sengaja (al-qatlu syibhul ‘amdi).

Ketiga, pembunuhan tersalah / tak sengaja (al-qatlu al-khatha`u).

Keempat, pembunuhan yang terjadi seperti pembunuhan tersalah (mâ ujriya majra al-khatha`). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 89; Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 32/323).

 

Pembunuhan macam yang pertama, adalah pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu). Pembunuhan ini didefinisikan sebagai berikut :

 

اَلْقَتْلُ اَلْعَمْدُ هوَ أَنْ يَضْرِبَ شَخْصٌ شَخْصًا بِشَيْءٍ ، الغالِبُ أَنْ يَقْتُلَ مِثْلَهُ ، أَوْ يَفْعَلَ شَخْصٌ بِشَخْصٍ فِعْلًا الغالِبُ مِنْ ذَلِكَ الفِعْلِ أَنْ يَقْتُلَ بِهِ

 

“Pembunuhan sengaja adalah [perbuatan] seseorang memukul orang lain dengan sesuatu [benda/alat] yang pada umumnya dapat membunuh orang yang semisal korban, atau seseorang melakukan perbuatan kepada orang lain yang pada umumnya dengan perbuatan itu dapat membunuh korban.” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 89).

 

Contoh-contoh pembunuhan sengaja :

Pertama, seseorang menggunakan atau memukulkan suatu benda kepada orang lain yang pada umumnya dapat membunuh orang lain (korban). Misalnya menusukkan pedang, menusukkan pisau, menembak dengan pistol, atau meledakkan bom, dan menggunakan benda-benda yang semisalnya yang pada umumnya dapat membunuh manusia.

 

Kedua, seseorang menggunakan atau memukulkan suatu benda kepada orang lain yang pada umumnya tidak dapat membunuh orang lain (korban), tetapi perbuatan itu disertai dengan sesuatu yang lain, yang pada umumnya dapat membunuh orang lain (korban). Misalnya memukul orang lain dengan tongkat, tetapi tongkat itu diberi potongan besi yang berat, atau ujung tongkatnya sudah dipasangi paku-paku besar yang runcing, atau pemukulan dengan tongkat itu dilakukan berulang-ulang yang pada umumnya dapat membunuh orang.

 

Ketiga, seseorang melakukan suatu perbuatan kepada orang lain yang pada umumnya dapat membawa kematian. Misalnya, mencekik leher orang lain, menggantung seseorang dengan tali, menjatuhkan orang lain dari bangunan yang tinggi, melemparkan orang dari mobil atau kereta api yang berjalan kencang, menenggelamkan seseorang ke dalam laut, melemparkan orang ke dalam api yang menyala-nyala, meletakkan seseorang ke dalam kandang singa atau harimau di tempat yang sempit, seperti kerangkeng, menahan seseorang di satu tempat tanpa diberi makan atau minum, memberi racun pada makanan atau minuman seseorang, dan sebagainya. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 90).

 

Adapun pembunuhan macam kedua, disebut pembunuhan seperti sengaja (al-qatlu syibhul ‘amdi, definisinya :

 

القَتْلُ شِبْهُ العَمْدِ هوَ أَنْ يَقْصِدَ الْجَانِي دُونَ القَتْلِ ، إِمَّا لِقَصْدِ العُدْوانِ عَلَيْهِ ، أَوْ لِقَصْدِ التَّأْديبِ لَهُ ، كَالضِرْبْ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا والْحَجَرِ الصَّغيرِ والوَكْزِ بِالْيَدِ ، وَسائِرِ مَا لَا يُقْتَلُ غَالِبًا

“Pembunuhan seperti sengaja adalah perbuatan pelaku yang bermaksud bukan untuk membunuh, yang boleh jadi hanya bermaksud untuk menyerang [korban], atau hanya bermaksud mendisiplinkan [korban], seperti memukul dengan cambuk, atau dengan tongkat, atau dengan batu kecil, atau hanya meninju dengan tangan, atau dengan dengan cara lain yang pada umumnya tidak dapat membunuh.” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 99; Muhammad Husain Abdullah, Dirâsât fi Al-Fikri Al-Islâmî, hlm. 67).

 

Pembunuhan macam ketiga, adalah pembunuhan tersalah / tak sengaja (al-qatlu al-khatha`u). Definisinya adalah :

 

القَتْلُ الخَطَأُ عَلَى ضَرْبيْنِ : أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْعَلَ فِعْلًا لَا يُرِيدُ يَهَ إِصابَةَ المَقْتولِ ، فَيُصِيْبُهُ فَيَقْتُلَهُ كَأَنْ يَرْمِيَ صَيْدًا فَيُصِيْبُ إِنْسَانًا فَيَقْتُلُهُ. الضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْتُلَ فِي بِلادِ الكُفّارِ كَأوْرُوْبّا أَوْ أَمْرِيْكَا مَثَلًا شَخْصًا يَظُنُّهُ كَافِرًا حَرْبِيًّا ، وَيَكُونُ هَذَا الرَّجُلُ قَدْ أَسْلَمَ ، وَكَتَمَ إِسْلامَهُ إِلَى أَنْ يَقْدِرَ عَلَى التَّخَلُّصِ إِلَى أَرْضِ الإِسْلامِ

 

“Pembunuhan tersalah ada dua macam, yang pertama, adalah perbuatan pelaku melakukan suatu perbuatan [kepada korban] yang tidak dia maksudkan untuk membunuh, tetapi perbuatan itu lalu mengenai korban dan membunuhnya, seperti misalnya seorang pemburu yang menembak binatang buruan, tetapi ternyata mengenai manusia sehingga membunuhnya. Yang kedua, perbuatan [pelaku] membunuh di negeri-negeri kafir seperti Eropa dan Amerika terhadap seseorang yang dia sangka seorang kafir harbi, tapi ternyata orang itu sudah masuk Islam dan menyembunyikan keislamannya hingga dia dapat melepaskan diri untuk menuju suatu negeri Islam.” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 100).

 

Pembunuhan macam keempat, adalah pembunuhan yang terjadi seperti pembunuhan tersalah (mâ ujriya majra al-khatha`), definisinya :

 

مَا أُجْريَ مَجْرَى الخَطَأِ هوَ أَنْ يَصْدُرَ مِنْ الشَّخْصِ فِعْلٌ بِغَيْرِ إِرادَتِهِ ، فَيَتَسَبَّبُ عَنْهُ قُتْلُ شَخْصٍ ، وَذَلِكَ كَأَنْ يَنْقَلْبِبَ شَخْصٌ نائِمٌ عَلَى شَخْصٍ فَيَقْتُلَهُ ، أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ مِنْ عُلُوِّ فَيَقْتُلُهُ…

 

“Pembunuhan yang terjadi seperti pembunuhan tersalah (mâ ujriya majra al-khatha`) adalah munculnya perbuatan dari seseorang tanpa kehendaknya, lalu menyebabkan terbunuhnya orang lain. Misalnya,  ada seseorang yang tertidur lalu dia berguling ke arah lain dan menimpa orang lain lalu orang lain itu terbunuh, atau ada orang tidur di tempat yang tinggi [misal di tempat tidur bertingkat] kemudian dia jatuh dan menimpa orang lain dan orang lain itu terbunuh…” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 100).

 

Dari macam-macam pembunuhan yang empat tersebut, jelaslah bahwa pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo dkk terhadap Brigadir Yoshua, adalah pembunuhan macam pertama, yakni pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd), karena Ferdy Sambo dkk telah menggunakan suatu benda kepada orang lain yang pada umumnya dapat membunuh orang lain (korban), yang dalam kasus ini adalah melakukan penembakan dengan pistol.

 

Pembuktian (Al-Bayyinah) Pembunuhan Sengaja

Pembuktian untuk kasus pembunuhan secara umum, termasuk pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amdu), terwujud dengan 2 (dua) macam bukti, yaitu : pertama, pengakuan (al-iqrâr) dari pembunuh. Kedua, kesaksian (syahâdah). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 103).

 

Mengenai bukti berupa pengakuan dari pihak pembunuh, didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW, di antaranya hadits berikut ini :

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ : أنَّ يَهُودِيًّا رَضَّ رَأْسَ جارِيَةٍ بيْنَ حَجَرَيْنِ، قِيْلَ مَنْ فَعَلَ هَذَا بِكِ، أفُلانٌ، أفُلانٌ؟ حتَّى سُمِّيَ اليَهُودِيُّ، فأوْمَأَتْ برَأْسِهَا، فَأُخِذَ اليَهُودِيُّ، فاعْتَرَفَ، فأمَرَ بِهِ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَرُضَّ رَأْسُهُ بيْنَ حَجَرَيْنِ. رواه البخاري

 

Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Sesungguhnya seorang Yahudi telah meremukkan kepala seorang budak perempuan di antara dua batu. Lantas ia ditanya,”Siapa yang telah melakukan ini kepadamu, apakah fulan dan fulan?” Hingga disebutkan kepadanya nama seorang Yahudi. Budak itu lalu memberi isyarat dengan kepalanya [menganggukkan kepala]. Selanjutnya orang Yahudi tersebut ditangkap lalu dia pun mengakui perbuatan itu. Lantas Nabi SAW memerintahkan agar diremukkan kepala orang Yahudi itu di antara dua batu.” (HR. Bukhari, no. 2413).

 

Mengenai bukti berupa kesaksian, juga didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW, di antaranya hadits sebagai berikut :

 

عَنْ رافِعِ بْنِ خَدِيجٍ وَسَهْلُ بْنُ أَبِي حَثْمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَصْبَحَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصارِ مَقْتُولًا بِخَيْبَرَ فَانْطَلَقَ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَى النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَكُمْ شَاهِدَانِ يَشْهَدَانِ عَلَى قَتْلِ صاحِبِكُمْ. رواه أبو داود والطبراني

 

Dari Rafi’ bin Khadij dan Sahal bin Abi Hatsmah RA, bahwa seorang laki-laki dari golongan Anshar telah terbunuh di Khaibar. Kemudian para walinya datang kepada Nabi SAW, dan memberitahukan hal itu. Maka Rasulullah SAW bersabda,”Apakah kamu mempunyai dua orang saksi yang mempersaksikan pembunuhan teman Anda itu?” (HR Abu Dawud, no. 4524; Ath-Thabrani, no. 4413. Hadits shahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, Shahih Abu Dawud, no. 4524).

 

Jadi, kesaksian untuk kasus pembunuhan itu adalah dengan dua orang saksi laki-laki, atau yang dipersamakan dengan itu, yaitu satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang perempuan. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 103-105; Ahmad Ad-Dâ’ur, Ahkâmul Bayyinât, hlm. 39-40).

 

Dari dua alat bukti pembunuhan tersebut, sudah ada pengakuan (al-iqrâr) dari Ferdy Sambo di hadapan penyidik (polisi) dalam proses pemeriksaan, bahwa dia adalah dalang dari pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua. Dalam peradilan Islam, bukti berupa pengakuan ini baru resmi jika disampaikan dan dikukuhkan ulang di hadapan Qadhi (hakim syariah) dalam sidang peradilan Islam. (Ahmad Ad-Dâ’ur, Ahkâmul Bayyinât, hlm. 11).

 

Sanksi Pidana Islam Untuk Pembunuhan Sengaja

Sanksi pidana Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja, adalah salah satu dari 3 (tiga) jenis sanksi pidana Syariah, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban (waliyyul maqtûl), yaitu :

 

Pertama, hukuman mati (qishâsh); atau

Kedua, membayar diyat (tebusan/uang darah); atau

Kedua, memaafkan (al’afwu). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 91 & 109).

 

Sanksi-sanksi pidana Islam tersebut, didasarkan pada firman Allah SWT dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Adapun firman Allah SWT, adalah ayat berikut ini :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah : 178).

 

Adapun dalil hadits-hadits Rasulullah SAW, di antaranya adalah hadits berikut ini :

 

عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ‏ ‏قَالَ‏ ‏قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ‏مَنْ قُتِلَ لهُ قَتيلٌ فهوَ بخيرِ النَّظَريْنِ ، إمّا أنْ يُقادَ ، وإمّا أنْ يُفدَي

 

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,’Barangsiapa yang anggota keluarganya dibunuh, maka dia boleh memilih mana yang terbaik di antara dua pilihan, dia dapat menuntut balas (al-qishash/al-qawad), atau menerima uang diyat (tebusan).” (HR Bukhari, no. 112; Muslim, no. 1355; Abu Dawud, no. 4505; Tirmidzi, no. 1405; Nasa`i, no. 4785; Ibnu Majah, no. 2624; Ahmad, no. 7242).

 

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka keluarga korban (waliyyu al-maqtul) mempunyai 3 (tiga) pilihan terhadap pelaku pembunuhan sengaja, yaitu :

 

Pilihan Pertama, menuntut qishash, yakni hukuman mati. Jika keluarga korban menuntut hukuman mati, maka pelaku pembunuhan sengaja akan dijatuhkan hukuman mati (qishash) oleh hakim syariah (qadhi).

 

Pilihan Kedua, meminta diyat (tebusan, uang darah). Hal ini dapat menjadi pilihan jika ada salah satu dari anggota keluarga korban yang memaafkan si pembunuh. Diyat (tebusan) dalam kasus pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) termasuk diyat mughallazhah, yaitu diyat kelas berat, berupa memberikan seratus ekor unta, empat puluh ekor di antaranya dalam keadaan bunting (hamil), kepada keluarga korban, sesuai hadits Nabi SAW berikut ini :

 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ يَوْمَ الْفَتْحِ بِمَكَّةَ قال : أَلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَإِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُونَ فِي بُطُونِهَا أَوْلاَدُهَا

 

Dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah SAW berkhutbah pada saat Fathu Makkah, beliau bersabda,”Perhatikanlah! Diyat untuk pembunuhan tidak disengaja yang tampak disengaja, seperti dilakukan dengan cambuk dan tongkat, adalah seratus ekor unta, empat puluh ekor di antaranya sedang hamil.” (HR Abu Dawud, no. 1662).

 

Bagi yang mempunyai dinar atau dirham, diyat tersebut dapat dibayar dengan uang senilai 1000 (seribu) dinar, atau senilai 12.000 (dua belas ribu) dirham. (HR An-Nasa’i). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, hlm. 112).

 

Yang dimaksud dinar, adalah dinar syar’i, dimana 1 dinar syar’i itu adalah emas muni (24K) seberat 4,25 gram. Jadi 1000 (seribu) dinar, adalah 4.250 (empat ribu dua ratus dua puluh lima) gram emas murni (24K). Demikian pula, yang dimaksud dirham, adalah dirham syar’i, dimana 1 dirham syar’i adalah perak muni seberat 2,975 gram. Jadi 12.000 (dua belas ribu) dirham, adalah 35.700 (tiga puluh lima ribu tujuh ratus) gram perak murni. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-‘Uqûbât, 113).

 

Jika dihitung hari ini (per Jumat 16 September 2022), ketika harga 1 dinar ANTAM yang dijual di salah satu penjual dinar di Tokopedia (*) harganya sekitar Rp 4.294.000, berarti 1000 dinar sama dengan = 1000 x Rp 4.294.000 = Rp 4.294.000.000, atau terbilang = empat miliar dua ratus sembilan puluh empat juta rupiah.

(*) https://www.tokopedia.com/sinarfajar-sf/lm-antam-dinar-series-4-25-gr?extParam=ivf%3Dfalse%26src%3Dsearch.

 

Pilihan Ketiga, memaafkan, yaitu keluarga korban boleh juga tidak menuntut hukuman mati, dan juga tidak meminta diyat (tebusan, uang darah) dari pihak pembunuh.

 

Jika sanksi-sanksi pidana Islam di atas diterapkan untuk kasus Ferdy Sambo, maka Qadhi (hakim syariah) wajib memberikan pilihan-pilihan yang ada kepada keluarga korban (Nofriansyah Yoshua Hutabarat), yaitu Samuel Hutabarat (ayah korban), Rostin Simanjuntak (ibu korban), dan kerabat atau famili yang lain.

 

Jika mereka sepakat mengambil pilihan pertama, yakni menuntut hukuman mati, maka Qadhi (hakim syariah) akan mengeluarkan vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo, dan juga bagi tersangka lain yang secara bersama-sama ikut melakukan pembunuhan.

 

Namun jika keluarga Yoshua sepakat mengambil pilihan kedua, yakni tidak menuntut hukuman mati, tetapi hanya menuntut diyat (tebusan, uang darah), wajib hukumnya Ferdy Sambo membayar diyat kepada keluarga korban, yaitu memberikan 4.250 gram emas kepada keluarga korban, atau memberikan uang yang senilai, yaitu sebesar Rp 4.294.000.000 (terbilang empat miliar dua ratus sembilan puluh empat juta rupiah).

 

Bisa juga keluarga Yoshua mengambil pilihan ketiga, yaitu memaafkan Ferdy Sambo, yaitu tidak menuntut hukuman mati, dan juga tidak menuntut diyat.

 

Semua pilihan-pilihan itu dikembalikan kepada keluarga Yoshua, terserah mereka mau memilih yang mana dari tiga pilihan yang diberikan oleh Syariah Islam. Jika keluarga Yoshua mengambil pilihan pertama, yaitu mau menuntut hukuman mati, silakan. Atau jika mereka mengambil pilihan kedua, yaitu meminta uang tebusan, juga silakan. Atau jika mereka mengambil pilihan ketiga, yaitu memaafkan sama sekali perbuatan kejam Ferdy Sambo, juga dipersilakan. Itulah hukum Islam.

 

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) dalam Islam dan sanksi-sanksi pidananya menurut Islam.

 

Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) adalah perbuatan pelaku memukul orang lain dengan sesuatu [benda/alat] yang pada umumnya dapat membunuh orang yang semisal korban, atau seseorang melakukan perbuatan kepada orang lain yang pada umumnya dengan perbuatan itu dapat membunuh korban. Melakukan penembakan dengan pistol, termasuk pembunuhan sengaja dalam Islam.

 

Sanksi-sanksi pidana Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) salah satu dari 3 (tiga) jenis sanksi pidana untuk pembunuhan sengaja, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban (waliyyul maqtûl), yaitu; pertama, hukuman mati (qishâsh); atau kedua, membayar diyat (tebusan); atau ketiga, memaafkan (al’afwu).

 

Inilah syariah Islam, hukum terbaik yang telah diturunkan Allah SWT kepada manusia, yang memberikan pilihan-pilihan yang sangat luas dan lapang bagi keluarga korban pembunuhan, mulai dari menuntut hukuman mati, jika mereka sangat tersakiti dan sangat terzalimi dengan meninggalnya anak kesayangan mereka. Islam juga memberi pilihan berupa tidak menuntut hukuman mati tapi sekedar minta uang tebusan, jika keluarga korban sudah bisa ikhlas memaafkan pembunuh namun masih ada segi-segi kebutuhan materiil yang mereka rasakan. Islam juga memberikan pilihan berupa memaafkan sama sekali si pembunuh, jika mereka sudah ikhlas memaafkan dan merasa sudah tercukupi kebutuhan materiilnya.

 

Pilihan-pilihan yang luas dan lapang ini tidaklah diberikan oleh KUHP yang ada sekarang, yang secara sempit semuanya diputus oleh hakim semata-mata, tanpa memberikan kesempatan sama sekali kepada keluarga korban untuk memilih sanksi pidana yang kiranya pantas dan setimpal dengan perbuatan pelaku pembunuhan yang sangat keji.

 

Maha benar Allah, yang telah berfirman :

 

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

 

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah : 50).

 

Wallahu a’lam.

 

Yogyakarta, 16 September 2022

M.Shiddiq Al-Jawi