Home Soal Jawab Fiqih MEWAKAFKAN SAWAH LALU MENYEWAKAN SAWAH ITU KEPADA PENGELOLA SAWAH DENGAN CARA BAGI...

MEWAKAFKAN SAWAH LALU MENYEWAKAN SAWAH ITU KEPADA PENGELOLA SAWAH DENGAN CARA BAGI HASIL

122
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz. Semoga sehat selalu dan dalam perlindungan Allah. Afwan Tadz, izin menyampaikan pertanyaan Tadz, tentang wakaf. Contoh kasus : Di daerah kenalan saya ada orang-orang kaya yang bersemangat untuk mewakafkan sawah-sawahnya yang nanti hasilnya untuk kepentingan masjid/musholla, Tadz. Namun caranya, sawah tersebut disewakan/dibagihasilkan dengan pengelola sawah. Hasil panen sawah tersebut itu nanti dimanfaatkan untuk kepentingan masjid/musholla.  Lalu, nadzhir wakafnya tadi boleh berupa lembaga atau harus individu, Tadz ? Sebaiknya kalo wakaf sawah untuk kepentingan masjid/musholla tersebut yang sesuai Syariah seperti apa ya Tadz ? Begitu Ustadzy. Sebelumnya terima kasih banyak Tadz, Jazakumullah Khairan Jaza’. (First Syaoqi, Yogyakarta).

 

Jawab :

Wa ‘alaikukmus salam wr. wb.

Tidak boleh hukumnya seseorang yang mewakafkan sawah lalu menyewakannya dengan sistem bagi hasil, karena menyewakan sawah itu haram hukumnya.

Solusinya, gunakan cara yang dibolehkan syariah dalam pengelolaan sawah, antara lain : pewakaf itu sendiri yang mengelola sawahnya, atau pewakaf berakad ijarah dengan buruh tani untuk mengelola sawah tersebut, dengan upah tertentu, yang tidak diambil dari panennya.

Penyewaan lahan pertanian dalam fiqih dikenal dengan istilah muzāra’ah, yaitu menyewa suatu lahan untuk dilakukan cocok tanam padanya (isti`jār ardhin li zirā’atuhā).

Hukum sewa lahan pertanian ini ada khilāfiyah di antara ulama. Sebagian ulama membolehkan. Sebagian ulama lainnya mengharamkan.

Pendapat yang rājih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah yang mengharamkan, karena dalil-dalil yang mengharamkan sangat jelas (sharīh) dan lebih kuat. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz II, hlm. 45-62).

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, menyewakan tanah pertanian itu haram, baik sewanya dibayar dengan uang, emas, atau perak, maupun dibayar dengan bagi hasil panennya dengan persentase tertentu, misal 50% untuk pemilik lahan dan 50% untuk penyewa lahan.(Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz II, hlm. 45-62).

Dalil-dalil yang mengharamkan sewa lahan pertanian, antara lain :

Pertama, hadis dari Abu Hurairah RA :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أخَاهُ ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ

Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa yang mempunyai lahan pertanian, maka hendaklah dia menanaminya, atau dia berikan lahan itu kepada saudaranya. Jika dia tidak mau, maka hendaklah dia menahan lahannya.” (HR. Bukhari, no. 2216).

Kedua, hadis dari Jabir bin Abdillah RA sbb :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُخَابَرَة. رواه مسلم، وَالْمُخاَبَرَةُ: اَلْمُزَارَعَةُ

“Dari Jabir RA bahwa Nabi SAW telah melarang mukhâbarah.” (HR Muslim, no. 1536).

Menurut Imam Nawawi, mukhābarah sama dengan muzāra’ah, yaitu menyewa tanah pertanian dengan upah berupa sebagian hasil panennya. Tapi menurut Imam Syafi’i, ada bedanya. Dalam mukhābarah, benih berasal dari penyewa lahan, sedang dalam muzāra’ah benih berasal dari pemilik lahan. (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thālibīn, Juz IV, hlm. 242).

Ketiga, hadis dari Jabir bin Abdillah RA sbb :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌ

“Dari Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW telah melarang diambil dari lahan pertanian upah sewanya (أجْرٌ) atau bagi hasilnya (حَظٌ).” (HR. Muslim, no. 1536).

Keempat, hadis dari Rafi’ bin Khadij RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيُزْرِعْهَا أَخَاهُ، وَلا يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمًّى

”Barangsiapa yang memiliki lahan pertanian, hendaklah dia menanaminya, atau diserahkan kepada saudaranya agar dia tanami, janganlah menyewakan lahan itu dengan sepertiga atau seperempat [dari hasil panennya] atau dengan upah berupa bahan makanan tertentu.” (HR Abu Dawud, no. 3397).

Kelima, hadis dari Usaid bin Zhahir RA sbb :

عَنْ أُسَيْدِ بْنِ ظَهِيْرٍ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْرِيْهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ، قَالَ: لاَ، قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيْهَا بِالتِّبْنِ، فَقَالَ: لاَ، وَكُنَّا نُكْرِيِهَا عَلَى الرَّبِيْعِ، قَالَ: لاَ، ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ، وَالرَّبِيْعُ: اَلنَّهْرُ الصَّغِيْرُ، أَيْ اَلْوَادِيْ، أَيْ كُنَّا نُكْرِيْهَا عَلىَ زِرَاعَةِ الْقِسْمِ الَّذِيْ عَلىَ الرَّبِيْعِ أَيْ عَلىَ جَانِبِ الْماَءِ. رواه النسائي

“Dari Usaid bin Zhahir RA bahwa Nabi SAW telah melarang menyewakan lahan pertanian. Kami bertanya,”Wahai Rasulullah SAW bagaimana jika kami menyewakan dengan imbalan berupa biji-bijian?” Rasulullah SAW menjawab,”Tidak.” Kami berkata,”Kami dulu menyewakan lahan dengan imbalan jerami (at-tibn).” Rasulullah SAW menjawab,”Tidak.” Kami berkata,”Dahulu kami menyewakan lahan dengan imbalan kami menanami lahan yang ada di dekat sungai (ar-rabi’). Rasulullah SAW menjawab,”Tidak.” Rasulullah SAW bersabda,”Tanamilah lahan itu, atau berikan lahan itu kepada saudaramu.” (HR An-Nasa`i, no. 3862).

Berdasarkan hadis-hadis ini, jelas bahwa sewa lahan pertanian haram hukumnya, baik upah sewanya berupa sebagian hasil panennya, ataukah berupa sesuatu yang lain, seperti emas, perak, uang, atau yang lain. Hadis-hadis tersebut telah menjelaskan tidak boleh lahan pertanian disewakan dengan imbalan apa pun. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz II, hlm. 45-62).

Dengan demikian, jelaslah bahwa seseorang yang mewakafkan suatu lahan pertanian, tidak boleh dia mengelola sawah wakaf itu dengan cara menyewakan lahan pertanian itu, baik upah sewanya berupa sebagian hasil panennya (yaitu sistem bagi hasil), maupun berupa sesuatu yang lain, seperti emas, perak, uang, atau yang lain.

Solusinya, gunakan cara yang dibolehkan syariah dalam pengelolaan sawah, antara lain :

Pertama, pewakaf itu sendiri yang mengelola sawahnya, atau

Kedua, pewakaf berakad ijarah dengan buruh tani untuk mengelola sawah tersebut, dengan upah tertentu, yang tidak diambil dari panennya. Artinya, sawah itu panen atau tidak panen, buruh tani wajib dibayar atas tenaga yang dikeluarkannya dalam mengelola sawah. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 25 Juli 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi