Home Fiqih METODE PENGANGKATAN KHALIFAH DALAM FIQIH ISLAM

METODE PENGANGKATAN KHALIFAH DALAM FIQIH ISLAM

56

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Metode-Metode Pengangkatan Khalifah

Kalangan Ahlus Sunnah pada umumnya, berpendapat bahwa ada 3 (tiga) metode (tharīqah) dalam pengangkatan khalifah/Imam (nashbul khalīfah), yaitu :

(1) Al-Bai’ah, yaitu pembaiatan khalifah oleh wakil-wakil umat Islam (Ahlul Ḥalli wal ‘Aqdi);

(2) Istikhlāf Al-Imām min Qablu, yaitu penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya, dan

(3) Al-Qahru wa Al-Istīlā`/Al-Ghalabah, yaitu pengambilan kekuasaan secara paksa dengan senjata.

Tiga metode inilah yang disebut oleh Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam kitabnya Rawdhat Al-Thālibīn , dan juga disebut oleh Imam Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) dalam kitabnya Ma’ātsirul Ināfah fi Ma’ālim Al-Khilāfah.

Imam Nawawi mengatakan :

تَنْعَقِدُ الْإِمَامَةُ بِثَلَاثَةِ طُرُقٍ أَحَدُهَا الْبَيْعَةُ كَمَا بَايَعَتْ الصَّحَابَةُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ…الطَّرِيقُ الثَّانِي اسْتِخْلَافُ الْإِمَامِ مِنْ قَبْلُ، وَعَهْدُهُ إلَيْهِ، كَمَا عَهِدَ أَبَا بَكْرٍ إلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ…أَمَّا الطَّرِيقُ الثَّالِثُ، فَهُوَ الْقَهْرُ وَالْإِسْتِيْلاَءُ…

“Terwujudnya akad Imamah (Khilafah) itu melalui tiga jalan (metode); Pertama, melalui ba’at, sebagaimana para shahabat yang telah membaiat Abu Bakar RA. Kedua, penunjukan pengganti oleh Imam (Khalifah) sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar RA ketika menunjuk Umar RA sebagai penggantinya. Adapun jalan ketiga, adalah melalui jalan paksaan dan pengambilan kekuasaan.” (Imam Nawawi, Rawdhat Al-Thālibīn, Beirut : Dar Ibn Hazm, Cet. I, 1423/2002, hlm. 1715-1717).

Imam Al-Qalqasyandi berkata :

فِي بَيَانِ الطُّرُقِ الَّتِي تَنْعَقِدُ بِهَا الْخِلَافَةُ، وَلَهَا ثَلَاثُ طُرُقٍ…الطَّرِيقُ الْأَوَّلُ الْبَيْعَةُ…الطَّرِيقُ الثَّانِي مِنْ الطُّرُقِ الَّتِي تَنْعَقِدُ بِهَا الْإِمَامَةُ : الْعَهْدُ، وَهُوَ أَنْ يَعْهَدَ الْخَلِيفَةُ الْمُسْتَقِرُّ إِلَى غَيْرِهِ مِمَّنْ اسْتَجْمَعَ شَرَائِطَ الْخِلَافَةِ بِالْخِلَافَةِ بَعْدَهُ…الطَّرِيقُ الثَّالِثُ مِنْ الطُّرُقِ الَّتِي تَنْعَقِدُ بِهَا الْإِمَامَةُ : الْقَهْرُ وَالْإِسْتِيلَاءُ…

“Berikut ini penjelasan metode-metode yang dengannya akan terwujud akad Khilafah, yaitu terdapat tiga metode. Metode pertama, adalah baiat. Metode kedua, di antara metode-metode untuk mewujudkan akad Khilafah, adalah adanya penujukan pengganti, yaitu Khalifah yang ada (existing) menunjuk orang lain yang memenuhi syarat-syarat Khalifah untuk memimpin Khilafah setelah meninggalnya dia. Metode ketiga, di antara metode-metode untuk mewujudkan akad Khilafah, adalah melalui jalan paksaan dan pengambilan kekuasaan.” (Imam Al-Qalqasyandi, Ma’ātsirul Ināfah fi Ma’ālim Al-Khilāfah, Beirut : ‘Alam Al-Kutub, Juz I, hlm. 39, 47, dan 58).

Sebagian ulama Ahlus Sunnah menambahkan 1 (satu) metode lagi, yaitu penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya, tetapi bukan kepada satu orang melainkan kepada sejumlah orang yang sama-sama menjadi kandidat khalifah, sebagaimana yang terjadi dalam pembaiatan Khalifah Utsman bin Affan RA. Demikian penjelasan Syekh Abdul Qadir ‘Audah (w. 1373 H/1954 M), raḥimahullah, dalam kitabnya Al-Tasyrī’ Al-Jinā`iy Al-Islāmiy. (Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyrī’ Al-Jinā`iy Al-Islāmiy, Beirut : Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Juz II, hlm. 676-677; https://www.marefa.org/ بيعة; https://ferkous.com/home/?q=art-mois-61 [في طُرُق تنصيب إمام المسلمين]).

Tiga metode di kalangan Ahlus Sunnah ini, dapat ditambah 1 (satu) metode lagi yang menjadi pendapat kelompok Syiah, yaitu khalifah itu diangkat berdasarkan nash dari Rasulullah SAW. Ini sebagaimana keyakinan kelompok Syiah, bahwa terdapat hadits-hadits Rasulullah SAW yang mewasiatkan bahwa setelah beliau meninggal, maka Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib-lah, yang akan menjadi khalifah bagi umat Islam.

Pendapat Yang Rajih

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M), raḥimahullah, satu-satunya metode yang sah sebagai cara pengangkatan Khalifah (nashbul khalīfah) sebagai kepala negara Khilafah, adalah baiat saja, tidak ada metode yang lain. Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah Juz II setelah mengkritik metode penunjukan pengganti (Istikhlāf Al-Imām min Qablu) dan metode pengambilan kekuasaan secara paksa (Al-Qahru wa Al-Istīlā`), menyimpulkan bahwa  :

فَالْبَيْعَةُ هِيَ الطَّرِيقَةُ الْوَحِيدَةُ لِنَصْبِ خَلِيفَةٍ لِلْمُسْلِمِينَ

“Jadi, baiat itu adalah metode satu-satunya untuk mengangkat khalifah bagi kaum muslimin.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 43; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125; ‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhāmul Ḥukm fi Al-Islām, hlm. 57; Maḥmūd ‘Abdul Majīd Al-Khālidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 106).

Bait itulah yang telah ditetapkan secara jelas sebagai metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah) bagi kaum muslimin dalam berbagai hadits Nabi SAW. Inilah metode yang yang wajib dipegang oleh kaum muslimin, berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW mengenai baiat, di antaranya sebagai berikut :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851)

“Barangsiapa yang mati padahal tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah, bukan kepada pemimpin/amir sebuah kelompok) di lehernya, maka dia mati adalah mati secara jahiliyah (mati dengan membawa dosa, bukan mati dalam keadaan kafir).” (HR Muslim, no. 1851).

Sabda Rasulullah SAW :

مَن بايَعَ إمَامًا فأعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وثَمَرَةَ قَلبِه، فَليُطِعْهُ مَا اسِتَطَاعَ، فإنْ جَاءَ آخَرُ يُنازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ. رواه مسلم (1844).

“Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu dia memberikan genggaman tangannya kepadanya dan kesungguhan hatinya kepadanya, maka hendaklah dia mentaati Imam itu dengan sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, no. 1844).

Sabda Rasulullah SAW :

إذا بُوْيِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم (1853)

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, 1853).

Sabda Rasulullah SAW :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَعْطَوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ  (4218)

“Dahulu Bani Israil itu senantiasa dipimpn oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku, yang aka nada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” Para shahabat bertanya,”Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah SAW bersabda,”Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban kepada mereka mengenai amanah yang dibebankan oleh Allah kepada mereka.” (HR Muslim, no 1842).

Dalam hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit RA :

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَامِتِ رضي الله عنه قَالَ: « بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا، لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ( 7055( مسلم (1842)

Dari Ubadah bin Ash-Shamit RA, dia berkata,”Kami telah membaiat Rasulullah SAW untuk mendengar dan mentaati (beliau), baik dalam hal yang kami sukai maupun yang kami benci, dan kami juga membaiat beliau untuk tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, kami juga membaiat beliau untuk melakukan atau mengatakan yang haq (benar) di manapun kami berada, dan bahwa kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela.” (HR Bukhari, no. 7055; Muslim, no. 1842).

Baiat dalam hadits-hadits di atas adalah baiat dalam pengertian syariahnya, yaitu akad atau perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah. Inilah metode satu-satunya yang sah sebagai cara pengangkatan Khalifah (nashbul khalīfah) sebagai kepala negara Khilafah, tidak ada metode yang lain.

Kritik Terhadap Metode-Metode Lain

Imam Taqiyuddin An-Nabhani telah mengkritik 3 (tiga) metode lainnya untuk mengangkat khalifah (nashbul khalīfah). Tiga metode tersebut terdiri dari 1 (satu) metode menurut pendapat kelompok Syiah, yaitu khalifah itu diangkat berdasarkan nash dari Rasulullah SAW, dan 2 (dua) metode yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, yaitu Istikhlāf Al-Imām min Qablu (penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya), dan Al-Qahru wa Al-Istīlā` (pengambilan kekuasaan secara paksa dengan senjata).

Kelompok Syiah berpendapat bahwa pengangkatan khalifah (Imam) adalah dengan nash atau washiyat dari khalifah (Imam) sebelumnya. Maka menurut Syiah, setelah Rasulullah SAW wafat, seharusnya yang menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib RA, bukan Abu Bakar Shiddiq RA, karena Syiah mengklaim bahwa terdapat nash atau washiyat dari Rasulullah SAW bahwa setelah beliau meninggal, yang menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib RA.

Pendapat Syiah ini menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani tidak dapat diterima, sesuai penegasan beliau ketika mengkritik pendapat Syiah :

لَمْ يُعَيِّنِ الشَّرْعُ شَخْصاً مُعَيَّناً لِلْخِلاَفَةِ

“Syariah Islam tidak pernah menentukan orang (person) tertentu untuk menjadi pemimpin negara Khilafah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 53).

Di antara argumen Imam Taqiyuddin An-Nabhani bahwa pendapat Syiah tersebut tidak benar, karena andaikata benar Rasulullah SAW telah mewasiatkan bahwa Ali bin Abi Thalib RA yang akan menjadi khalifah setelah beliau, maka hal ini justru bertentangan dengan hadits-hadits tentang baiat. Adanya hadits-hadits yang shahih tentang baiat ini, justru menjadi bukti bahwa dalam pengangkatan khalifah (nashbul khalīfah), Rasulullah SAW hanya menentukan metode pengangkatannya, yaitu baiat, tapi tidak menentukan person (siapanya, Arab : al-syaksh) yang akan menjadi khalifah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 54-95).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani juga berpendapat, dari tiga atau empat metode di kalangan Sunni tersebut, hanya baiat saja (dalam pengertian syariahnya), yang menjadi metode satu-satunya untuk pengangkatan Khalifah (nashbul khalīfah), tidak ada metode yang lain. Beliau telah mengkritik metode-metode lainnya secara tajam dan cermat.

Mengenai Istikhlāf Al-Imām min Qablu, yaitu penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, bukanlah metode pengangkatan, melainkan sekedar pencalonan (tarsyīkh, nomination/promotion) dari khalifah sebelumnya. Kandidat Khalifah ini menjadi khalifah bukan karena penunjukan pengganti itu, melainkan karena baiat yang diberikan oleh umat setelah meninggalnya khalifah sebelumnya. Ini seperti yang terjadi di masa pembaiatan Umar bin Khaththab RA yang dicalonkan oleh Abu Bakar Shiddiq RA. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyimpulkan bahwa :

لاَ تَنْعَقِدُ الْخِلاَفَةُ بِالْإسْتِخْلاَفِ

“Tidak sah akad Khilafah melalui jalan penunjukan pengganti.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 39, Bab Al-Istikhlāf aw Al-‘Ahdu).

Mengenai Al-Qahru wa Al-Istīlā`, yakni pengambilan kekuasaan secara paksa dengan senjata, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, juga bukan metode pengangkatan khalifah, dan akad Khilafahnya tidak sah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan :

إِذَا قَامَ مُتَسَلِّطٌ وَاسْتَوْلَى عَلَى الْحُكْمِ بِالْقُوَّةِ، فَإِنَّهُ لَا يُصْبِحُ يَذَلِكَ خَلِيفَةً…لِأَنَّهُ لَمْ تَنْعَقِدْ لَهُ خِلَافَةٌ مِنْ قِبَلِ مُسْلِمِينَ

“Jika seseorang memberontak dan mengambil kekuasaan dengan senjata, maka hal ini tidak menjadikan dia seorang khalifah…karena tidak terwujud akad Khilafah baginya dari pihak kaum muslimin.” (‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhāmul Ḥukm fi Al-Islām, hlm. 57).

Mengapa akad Khilafahnya tidak sah? Ini karena kalaupun terjadi baiat, pasti baiatnya terjadi dengan adanya unsur paksaan (al-ikrāh), padahal pembaiatan Khalifah itu hakikatnya sama saja dengan akad-akad muamalah lainnya, seperti akad jual-beli, akad sewa (ijārah), akad utang, akad nikah, dan sebagainya, yang mensyaratkan adanya keridhoan (‘an tarādhin), dan tidak sah jika ada unsur paksaan (al-ikrāh). Firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS An-Nisā` : 29).

Sabda Rasulullah SAW :

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan dosa dari umatku akibat tersalah (ketidaksengajaan), akibat lupa, serta akibat perbuatan yang mereka lakukan atas dasar paksaan (al-ikrāh) kepada mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)

Akan tetapi, jika penguasa yang berkuasa secara de facto itu berhasil meyakinkan rakyat bahwa akan ada kemaslahatan jika dia dibaiat umat, lalu dia dibaiat oleh atas dasar keridhoan tanpa ada unsur paksaan (al-ikrāh), maka baru pada saat itulah dia menjadi khalifah. Jadi dia menjadi khalifah secara resmi (de jure) menurut Syariah Islam bukan saat berhasil merebut kekuasaan secara paksa, namun setelah dibaiat oleh umat berdasarkan keridhoan tanpa unsur paksaan (al-ikrāh). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125; ‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhāmul Ḥukm fi Al-Islām, hlm. 57, Bab Ḥukmu Al-Mutasallith). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 17 Februari 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Referensi :

Baiat dalam Syariah Islam  (www.shiddiqaljawi.com)