Home Fiqih HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQIH ISLAM

HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQIH ISLAM

56

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Akhir-akhir ini sekitar akhir April dan awal Mei tahun 2024, mencuat di publik perdebatan seputar hukum musik dalam Islam. Perdebatan ini muncul kembali di media sosial khususnya setelah ada seorang ustadz Salafi (Wahabi) yang berdebat keras soal hukum musik dengan Ustadz Adi Hidayat yang membolehkan musik, sesuai latar belakang beliau sebagai anggota Muhammadiyah yang dengan Fatwa Tarjih Muhammadiyah (tertanggal 25 November 2016) yang membolehkan musik dengan patokan-patokannya (al-dhawābith). Bahkan ada orang Salafi (Wahabi) yang lain yang sampai segitunya mencaci maki dan bahkan mengkafirkan Ustadz Adi Hidayat. Mā syā’a Allāh lā haula wa lā quwwata illā billāh.

Kami pribadi yang awalnya diam dan hanya mengamati, akhirnya tergerak untuk menulis masalah hukum musik dan lagu ini, utamanya karena kami banyak ditanyai oleh umat mengenai hukum musik dan menyanyi dalam Islam di tengah perdebatan yang sengit di media sosial saat ini. Seperti kita tahu, suasana debatnya sudah berlebihan (lebay), tidak karu-karuan, dan sangat jauh dari suasana ‘ilmiyah dan ukhuwwah, karena sudah sampai pada level mengkafirkan pihak yang berbeda pendapat.

Kami sendiri sudah pernah menyebarkan tulisan kami berjudul Hukum Musik dan Menyanyi dalam Fiqih Islam, sejak sekitar tahun 2004 yang lalu. Berarti itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Maka kami akan menyampaikan substansi tulisan tersebut sekali lagi saat ini. Secara prinsip pendapat kami saat ini di tahun 2024 tidak berubah, yakni sama dengan pendapat yang kami tulis pada tahun 2004, hanya saja tulisan kami versi tahun 2004 tersebut nampaknya memerlukan penulisan ulang untuk mengoreksi beberapa kesalahan minor dan mendetailkan periwayatan berbagai hadits dan berbagai pendapat ulama seputar hukum musik dan lagu dalam fiqih Islam.

 

Hukum Musik (Al-Mūsīqā) dan Menyanyi (Al-Ghinā`) Merupakan Masalah Khilāfiyah

Sesungguhnya hukum musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) merupakan masalah khilāfiyah, yakni ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama mengharamkan lagu (menyanyi) baik dengan alat musik (ālāt al-mālāhiy) maupun tidak dengan alat musik, dan inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Namun demikian ada sebagian ulama yang menghalalkan musik dan nyanyian, yaitu mazhab Maliki dan mazhab Zhahiri. Ini adalah garis besar pemetaan pendapat fiqih di antara mazhab empat dan di luar mazhab empat mengenai hukum musik dan menyanyi. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/83; Ibthāl Da’wa Al-Ijmā’ ‘Alā Tahrīm Muthlaq As-Samā’; Muhammad Syamsul Haq Al-’Adzim Abadi, ’Aunul Ma’būd, Juz XIII, hlm. 271).

Berikut ini kutipan dari Imam Syaukani, bahwa masalah lagu (menyanyi) (al-ghinā’/al-taghannī) dan alat musik (ālāt al-mālāhiy/al-ma’āzif) adalah masalah khilafiyah, sebagai berikut :

قاَلَ الشَّوْكاَنِيُّ : قَدِ اخْتُلِفَ فِي الْغِناَءِ مَعَ آلَةٍ مِنْ آلاَتِ الْمَلاَهِيِّ وَبِدُوْنِهاَ، فَذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ إِلىَ التَّحْرِيْمِ، وَذَهَبَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ مِنْ عَلَماَءِ الظاَّهِرِ وَجَماَعَةٌ مِنَ الصُّوْفِيَّةِ إِلىَ التَّرْخِيْصِ فِي السَّماَعِ…

“Imam Syaukani berkata : “(Para ulama) telah berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi dengan atau tanpa salah satu alat dari alat-alat musik. Jumhur ulama berpendapat hukumnya haram, sementara Ahlul Madinah dan siapa saja yang sependapat dengan mereka, yaitu ulama Mazhab Zhahiri dan juga satu jamaah dari kaum shufi, berpendapat ada rukhshah (kebolehan) dalam hal mendengar  (alat musik/lagu)…”  (Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/83; Muhammad Syamsul Haq Al-’Adzim Abadi, ’Aunul Ma’bud, Juz XIII, hlm. 271).

Maka dari itu, tidak tepat pandangan sebagian ulama bahwa haramnya musik merupakan ijmā’ (kesepakatan) para ulama, yakni artinya tidak ada khilāfiyyah dalam haramnya musik dan lagu, sebagaimana disebut sebagian ulama seperti Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Ighātsatul Lahfān dan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughnī.

Yang lebih tepat adalah, bahwa masalah ini (musik dan lagu) adalah khilāfiyah, atau tidak ada ijmā’ ulama dalam masalah ini. Imam Syaukani telah menolak adanya ijmā’ dalam masalah ini, yaitu ijmā’ bahwa musik dan lagu haram hukumnya. Penolakan ini terdapat dalam kitabnya yang berjudul Ibthāl Da’wa Al-Ijmā ‘Alā Tahrīm Muthlaq As-Samā’. Arti judul kitab ini adalah “membatalkan klaim adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keharaman mendengar musik atau lagu secara mutlak”.

 

Dalam Masalah Khilafiyah Tidak Boleh Hisbah (Amar Ma’ruf Nahi Mungkar), Apalagi Mengkafirkan

Dikarenakan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) merupakan masalah khilāfiyah, sudah selayaknya umat Islam tidak sampai mengkafirkan satu sama lain. Karena dalam masalah khilāfiyyah itu tidak boleh hisbah, yakni amar ma’ruf nahi mungkar, apalagi sampai mengkafirkan. Adanya hisbah, yakni amar ma’ruf nahi mungkar, hanya ada dalam perkara-perkara yang disepakati ulama (mujma’ ’alaihi), misalnya haramnya zina, haramnya khamr, haramnya riba, haramnya liwath (sodomi), dan sebagainya.

Imam Al-Ghazali menegaskan hal ini dengan berkata :

كُلُّ مَا هوَ فِيْ مَحَلِّ الِاجْتِهادِ فَلَا حِسْبَةَ فِيه

“Segala sesuatu yang menjadi subjek ijtihad (yakni ada khilāfiyah), maka tidak ada hisbah (amar ma’ruf nahi mungkar) padanya.” (Imam Al-Ghazali, Ihyā` ‘Ulūmiddīn, Juz II, hlm. 361).

Berdasarkan kaidah ini, seorang pengikut mazhab Hanafi yang tidak berqunut dalam sholat Shubuh, tidak dibenarkan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada pengikut mazhab Syafi’i yang berqunut ketika sholat Shubuh. Demikian juga pengikut mazhab tertentu (seperti mazhab Imam Shan’ani penulis kitab Subulus Salām), yang sholat tarawihnya 11 rakaat, tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada pengikut mazhab Syafi’i yang sholat tarawihnya 23 rakaat. Pengikut mazhab Maliki yang niatnya hanya satu kali untuk puasa Ramadhan, tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada pengikut mazhab Syafi’i yang berniat setiap malam untuk berpuasa pada bulan Ramadhan.

Maka demikian pula, seorang pengikut mazhab Hanbali yang mengharamkan musik dan lagu secara mutlak, tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada pengikut mazhab Maliki atau mazhab Zhahiri yang membolehkan musik dan lagu. Para ulama dalam masalah-masalah khilāfiyyah seperti ini, hanya membolehkan nasehat, bukan amar ma’ruf nahi mungkar (hisbah), yang disampaikan dengan baik, bukan disampaikan secara brutal dan buas (seperti mengkafirkan) kepada yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah khilāfiyyah.

 

Dalil-dalil Yang Mengharamkan Musik

Dalil dari pihak yang mengharamkan mendengarkan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`), firman Allah SWT :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

”Di antara manusia ada orang yang membeli percakapan kosong (lahwal hadits) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS Luqman : 6)

Menurut penafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain, yang dimaksud dengan percakapan kosong (lahwal hadits) dalam ayat tersebut, adalah al-ghinā’ (nyanyan/lagu) dan musik (al-mūsīqā).

Dalil lainnya dari pihak yang mengharamkan mendengarkan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`), adalah sabda Nabi SAW :

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari 5161; Abu Dawud 4039; Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 333; Al-Baihaqi, 6317).

 

Dalil-dalil Yang Membolehkan Musik

Dalil pendapat yang menghalalkan mendengarkan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`), antara lain :

عَنْ ناَفِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال : سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ، مِزْمَارًا – قَالَ – فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ وَنَأَى عَنِ الطَّرِيقِ وَقَالَ لِي يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا قَالَ فَقُلْتُ لاَ ‏.‏ قَالَ فَرَفَعَ أُصْبُعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ وَقَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا.رواه أحمد وأبو داود والبيهقي والطبراني في الأوسط، وصححه الألباني وحسنه شعيب الأرناؤوط

Dari Nafi’ RA, dia berkata, “Ibnu Umar mendengar seruling, kemudian beliau meletakkan jari telunjuk di kedua telinganya dan menepi dari jalan. Lalu dia berkata  kepadaku, “Wahai Nafi’ apakah kamu mendengar sesuatu?” Saya mengatakan, “Tidak.” Kemudian beliau mengangkat jari-jarinya dari kedua telinganya, lalu mengatakan, “Dahulu aku bersama Nabi SAW mendengar seperti ini, lalu beliau melakukan seperti ini.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi, Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, dishahihkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani, dan dihasankan oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan hadits di atas dengan berkata :

وَهُوَ دَلِيْلٌ عَلىَ جَوَازِ الزّماّرَةِ وَجَواَزِ سَماَعِهاَ، وَأَماَّ سَدُّهُ لِسَمْعِهِ فَيَحْتَمِلُ أَنَّهُ يَتَجَنَّبُهُ كَماَ يَتَجَنَّبُ كَثِيْراً مِنَ الْمُباَحاَتِ

“Ini adalah dalil kebolehan meniup seruling dan kebolehan mendengarnya. Adapun tindakan Nabi SAW yang menutup pendengarannya, kemungkinan karena beliau menghindarinya sebagaimana beliau menghindari banyak hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan (mubah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz III (Ushul Al-Fiqh), Juz III, hlm. 106).

Dalil lainnya dari pihak yang menghalalkan mendengarkan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) adalah hadits sbb :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Dari ‘A`isyah RA bahwa Abu Bakar RA masuk menemui aku sementara saat itu di sisiku ada dua orang budak perempuan tetangga Kaum Anshar yang sedang bernyanyi, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu’ats.” ‘Aisyah menlanjutkan kisahnya, “Kedua orang budak perempuan tersebut tidaklah begitu pandai dalam bernyanyi.” Maka Abu Bakar pun berkata, “Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah SAW!” Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya ‘Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW,”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita.” (HR Bukhari, nomor. 899).

Dalil lainnya dari pihak yang menghalalkan mendengarkan musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) adalah hadits sbb :

عن الرُّبَيِّع بنت مُعَوِّذ قالت : جَاءَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا، يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ ويَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبَائِي يَومَ بَدْرٍ، إذْ قالَتْ إحْدَاهُنَّ: وفينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ، فَقالَ: دَعِي هذِه، وقُولِي بالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ .رواه البخاري ، وأحمد ، والبيهقي

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz RA dia berkata,”Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba sahaya perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata,“Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi SAW bersabda,“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Baihaqi).

 

Menyikapi Khilafiyah : Tarjih

Hukum musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) meski masalah kilāfiyah, bukan berarti kaum muslimin boleh mengikuti pendapat ulama sesuai hawa nafsunya, melainkan wajib melakukan tarjih (yaitu memilih pendapat yang terkuat). Tarjih ini tidak boleh dilakukan oleh muqallid ‘ami, yaitu muqallid yang hanya tahu hukum tetapi tidak tahu dalil. Yang boleh melakukan tarjih adalah muqallid yang tahu masalah dalil, dan para mujtahid tentunya. Jadi jika seorang muslim belum mampu melakukan tarjih, khususnya bagi muqallid ‘ami, dan seperti inilah kondisi umumnya kaum muslimin saat ini, hendaknya dia ber-taqlid kepada mujtahid yang mampu mentarjih dan mampu berijtihad.

Ada dua hukum syara’ terpenting mengenai tarjih : pertama, tarjih hukumnya wajib jika ada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh adanya dua dalil yang bertentangan (at-ta’ārudh). Kedua, Mengamalkan dalil yang kuat (rājih) hukumnya wajib pula. Kedua hukum syara’ ini dalilnya adalah Ijmā’ Shahābat (konsensus para sahabat Nabi SAW). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 239-240; Bab Quwwatud Dalīl).

 

Tarjih Dalam Hukum Musik

Hukum musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghina`) menurut pentarjihan Syekh Abdul Ghani An-Nablusi kitabnya Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, Syekh Abdullah Al-Judai’ dalam kitabnya Al-Mūsīqā wa Al-Ghinā’ fī Mīzān Al-Islām,  Syekh Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam, dan Syekh Muhammad Syuwaiki dalam kitabnya Al-Kholāsh wa Ikhtilāf al-Nās. Ringkasan hukum syara’ hasil pentarjihan mereka adalah sbb:

”Hukum menyanyi baik disertai alat musik maupun tidak, adalah boleh, selama tidak disertai dengan unsur-unsur keharaman atau kemaksiatan, misalnya khamr, ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), menampakkan aurat, perzinaan, laki-laki memakai sutera, syair/lirik lagu yang bertentangan dengan Islam, meninggalkan sholat wajib, dsb.”

Hukum syara’ tersebut merupakan jama’ atau taufīq (kompromi) dari dalil-dalil yang mengharamkan dan juga dalil-dalil yang menghalalkan lagu (menyanyi), baik disertai musik maupun tidak, sesuai kaidah dalam Ushul Fiqih (qā’idah ushūliyyah) berikut ini :

إِعْماَلُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلىَ مِنْ إِهْماَلِ أحَدِهِماَ بِالْكُلِّيَّةِ

”Mengamalkan dua dalil (yang bertentangan), lebih utama daripada meninggalkan salah satu dalil secara keseluruhan.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 239).

Kesimpulannya, hukum musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) yang kami anggap rājih tersebut, berarti ada rincian (tafshīl), bergantung pada ada tidaknya unsur keharaman atau kemaksiatan yang menyertai/membarengi musik dan lagu tersebut. Jadi hukum musik dan/atau lagu adalah sbb :

Pertama, Haram, jika dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamr, zina, lirik lagu yang batil, dsb.

Kedua, Mubah, jika tidak dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamr, zina, lirik lagu yang batil dsb.

Berikut ini akan kami kutipkan rincian (tafshīl) hukum syara’ ini, sesuai penjelasan Syeikh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1771 M) dalam kitabnya Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, hlm. 83 dan 84, yang kami kutipkan di bawah ini.

قال الشيخ عبدالغني النابلسي الحنفي  ( توفي 1143 /  1731) في كتابه إيضاح الدلالات في سماع الآلات  ص 83 :

” فَإِنْ اِقْتَرَنَتْ هَذِهِ الآلَاتُ وَهَذَا السَّماعُ المَذْكورُ بِأَنْوَاعِهِ بِالْخَمْرِ وَالزِّنَا واللِّواطِ أَوْ دَواعي ذَلِكَ مِنْ اللَّمْسِ بِشَهْوَةٍ وَاَلْتَقْبيلِ والنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ لِغَيْرِ الزَّوْجَةِ والْأَمَةِ، أَوْ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فِي المَجْلِسِ بَلْ كَانَ القَصْدُ والنّيَّةُ الشَّهَواتِ المُحَرَّمَةَ بِأَنْ تَصَوُّرَ فِي نَفْسِهِ أَشْياءَ مِنْ ذَلِكَ فِي المَجْلِسِ، وَاسْتَحْسَنَ أَنْ يَكُوْنَ مَوْجُودًا فِي المَجْلِسِ ، فَهَذَا السَّماعُ مُحَرَّمٌ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَهُ … فِي حَقِّهِ ، وَهُوَ فِي نَفْسِهِ بِاعْتِبَارِ قَصْدِهِ وَنِيَّتِهُ لِأَنَّهُ دَاعٍ فِي حَقِّهِ إِلَى الوُقوعِ فِي المُحَرَّمَاتِ.”

Syekh Abdul Ghani Al-Nablusi Al-Hanafi (w. 1143 H/1731 M) mengatakan dalam kitabnya Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, hlm.83 :

”Jika (aktivitas mendengarkan) alat-alat musik tersebut dibarengi/disertai dengan alkohol, perzinahan, dan sodomi, atau hal-hal yang mendorong pada perbuatan-perbuatan itu, seperti sentuhan yang penuh nafsu, ciuman, dan memandang dengan nafsu kepada perempuan selain istri dan budak perempuannya, atau tidak ada satupun dari itu terdapat dalam majelis, melainkan seseorang itu berniat untuk menghadirkan hal-hal haram itu dalam majelis tersebut, dan dia menganggap baik jika dia hadir dalam majelis tersebut, maka mendengar (alat-alat musik) ini haram bagi setiap orang yang mendengarnya, mengingat ada niat dan maksud seperti itu dari orang itu, karena hal ini dapat menjadikannya terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan.” (Abdul Ghani Al-Nablusi Al-Hanafi, Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, hlm.83).

Kutipan di atas adalah kutipan mengenai hukum musik yang haram, yaitu jika musiknya disertai atau dibarengi dengan hal-hal yang haram, seperti khamr, zina, sodomi, dan sebagainya.

Berikut ini adalah kutipan untuk musik yang mubah (halal), yaitu jika musiknya itu tidak disertai atau dibarengi hal-hal yang haram, seperti khamr, zina, sodomi, dan sebagainya.

قال الشيخ عبدالغني النابلسي الحنفي  ( توفي 1143 /  1731) في كتابه إيضاح الدلالات في سماع الآلات  ص 84 :

” وَأَمَّا المُباحُ فِي ذَلِكَ فَهُوَ إِذَا كَانَ المَجْلِسُ خَالٌ [ كَذَا ] عَنْ الخَمْرِ وَالزِّنَا واللِّواطِ وَالمَسِّ بِشَهْوَةٍ وَاَلْتَقْبيلِ والنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ لِغَيْرِ الزَّوْجَةِ والْأَمَةِ ، وَكَانَ قَصْدُ حَسَنٍ وَنيَّة صالِحَةٍ وَباطِنُ نَظيفٍ طاهِرٌ مِنْ الهُجومِ عَلَى الشَّهَواتِ المُحَرَّمَةِ كَشَهْوَةِ الزِّنَا واللواطَةِ وَشُرْبِ الخَمْرِ، أَوْ شَيْءٌ مِنْ المُسْكِرَاتِ أَوْ المُخَدِّرَاتِ ، وَكَانَ قَادِرًا عَلَى ضَبْطِ قَلْبِهِ وَحِفْظِ خاطِرِهِ مِنْ أَنْ يَخْطُرَ فِيه شَيْءٌ مِمَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَيْهُ ، وَإِذَا خَطَرَ يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِهِ مِنْ قَلْبِهِ وَغَسْلِ خاطِرِهِ فِي الْحَالِ، وَلَا يَضُرُّهُ تَكَرَّرَ وُقوعُ ذَلِكَ فِي القَلْبِ بَعْدَ أَنْ يَكُوْنَ مُرَاقِبًا لِلِامْتِنَاعِ مِنْ قَبولِهِ ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْمَعَ هَذَا السَّماعُ المَذْكورَ حِينَئِذٍ بِأَنْوَاعِهِ كُلِّها ، وَلَا يُحَرِّمُهُ عَلَيْهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ ، وَلَا يُكْرَهُ.”

Syekh Abdul Ghani Al-Nablusi Al-Hanafi (w. 1143 H/1731 M) mengatakan dalam kitabnya Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, hlm.84 :

”Adapun yang dibolehkan dalam hal ini (musik/nyanyian) adalah jika majelis tersebut bebas dari minuman keras, zina, sodomi, sentuhan syahwat, ciuman, dan memandang syahwat kepada siapapun selain suami dan budak perempuan. Kemudian orang itu niatnya baik, batinnya bersih dan suci, bebas dari dorongan hawa nafsu terlarang, seperti nafsu berzina, sodomi, dan meminum minuman beralkohol, atau segala jenis narkoba. Dia mampu mengendalikan hatinya dan menjaga pikirannya dari terjadinya sesuatu yang diharamkan Allah kepadanya, dan jika hal itu terlintas dalam hatinya, dia mampu mengeluarkannya dari dalam hatinya, dan dia segera membersihkan pikirannya. Maka tidak ada salahnya baginya jika hal ini terjadi berulang-ulang di dalam hatinya setelah ia berhati-hati menahan diri untuk tidak menerimanya, karena dibolehkan baginya mendengarkan musik dan/atau nyanyian tersebut pada saat itu, dalam segala jenisnya dan tidak ada satupun yang diharamkan baginya, juga tidak dimakruhkan.” (Abdul Ghani Al-Nablusi Al-Hanafi, Ῑdhāh Al-Dalālāt fī Samā’ Al-Ālāt, hlm.84).

Kesimpulan

Kesimpulannya, dari kutipan pendapat Syekh Abdul Ghani Al-Nablusi tersebut, hukum musik (al-mūsīqā) dan menyanyi (al-ghinā`) ada rincian (tafshīl) hukum syara’-nya, bergantung pada ada tidaknya unsur keharaman atau kemaksiatan yang menyertai/membarengi musik dan lagu tersebut.

Jadi, hukum musik dan/atau lagu adalah sbb :

Haram, jika dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamr, zina, sodomi, narkoba, ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), menampakkan aurat, lirik lagu yang batil, dsb.

Mubah, jika tidak dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamr, zina, sodomi, narkoba, ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), menampakkan aurat, lirik lagu yang batil dsb. Inilah pendapat yang kami rājih-kan. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 12 Mei 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi