Home Fiqih JIKA LAHAN PERTANIAN DISEWA UNTUK PETERNAKAN SEKALIAN DITANAMI RUMPUT PAKAN HEWANNYA, BOLEHKAH...

JIKA LAHAN PERTANIAN DISEWA UNTUK PETERNAKAN SEKALIAN DITANAMI RUMPUT PAKAN HEWANNYA, BOLEHKAH ?

65

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz Shiddiq, pangapunten, ijin bertanya. Ini ada pertanyaan terkait sewa lahan untuk pertanian. Pertanyaannya adalah : 1. Apakah memelihara hewan (peternakan) termasuk pertanian? 2. Jika tidak termasuk pertanian, bagaimana jika lahan sewa untuk peternakan tersebut sekalian ditanami rumput pakan hewannya. Jazakumullah khairan katsira, Ustadz Shiddiq. (Edi Subroto, Yogyakarta).

 

Jawab :

Memelihara hewan atau peternakan menurut hukum Islam tidak termasuk pertanian (al-zirā’ah). Hal ini karena definisi pertanian (al-zirā’ah) yang dimaksudkan dalam hadits-hadits Nabi SAW, sudah seharusnya diartikan menurut pengertian lama dari pertanian, yakni hanya terbatas kegiatan budidaya tanaman (cultivation), yaitu penanaman benih tanaman ke lahan pertanian (tanah). Demikian menurut kamus Al-Mu’jam Al-Muwahhad li Mushthalahāt ‘Ilmi Al-Hayāt, yang secara singkat mengartikan pertanian (al-zirā’ah) dengan arti cultivation (budidaya tanaman). Makna serupa terdapat dalam kitab Al-Mu’jam Al-Wasīth, bahwa kata pertanian (al-zirā’ah) diterjemahkan sebagai hirfat al-zāri’ (profesi dari seorang pembudidaya tanaman), atau ‘ilmu fallāh al-ardhi (ilmu tentang budidaya tanaman [cultivation] pada lahan pertanian).  (Al-Mu’jam Al-Muwahhad li Mushthalahāt ‘Ilmi Al-Hayāt, Tūnis : Al-Munazhzhamat Al-‘Arabiyyah li At-Tarbiyyah wa Al-Tsaqāfah wa Al-‘Ulūm, 1993, hlm. 103; Al-Mu’jam Al-Wasīth, hlm. 392).

Maka dari itu, peternakan menurut hukum Islam, tidaklah termasuk ke dalam pertanian, menurut makna bahasa (al-ma’na al-lughawi) untuk kata pertanian (al-zirā’ah) sebagaiman terdapat dalam kamus-kamus Bahasa Arab. Hal ini karena makna syar’i untuk kata pertanian (al-zirā’ah) tidak ada, demikian juga  tidak ada makna ‘urfi-nya, yaitu makna menurut ‘urf (kebiasaan) di masa Nabi SAW, maka kemungkinan pemaknaan yang tersisa adalah pemaknaan secara makna lughawi (makna kamus) sebagaimana dalam Ilmu Ushul Al-Fiqh. Menurut ‘ilmu ushul fiqih, urutan (tertib) pemaknaan istilah dalam nash-nash syara’, mengikuti tertib (urutan) sebagai berikut :

الأَصْلُ فِي دَلالَةِ النُّصُوْصِ الشَّرْعيَّةِ هُوَ الْمَعْنَى الشَّرْعِيُّ ، ثُمَّ المَعْنَى العُرْفِيُّ ، ثُمَّ المَعْنَى اَللُّغَوِيُّ

“Makna suatu kata pada dasarnya adalah diartikan menurut makna syar’i, kemudian jika tidak ada, diartikan menurut makna ‘urfi, yaitu makna menurut ‘urf (kebiasaan) di masa Nabi SAW, kemudian jika tidak ada, diartikan secara makna lughawi (makna kamus).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/181).

Maka dari itu, makna bahasa itulah yang menjadi pegangan, bukan makna modern menurut ilmu pertanian, bahwa peternakan termasuk ke dalam pertanian, karena pengertian pertanian dalam arti moderen adalah segala kegiatan untuk memproduksi pangan bagi manusia, pakan bagi ternak, dan serat (fiber), serta barang-barang lain melalui pengembangbiakan sistematis berbagai tanaman dan hewan.  (Lihat : https://ar.wikipedia.org/wiki/ زراعة).

Maka dari itu, jika seseorang menyewa lahan pertanian untuk kegiatan peternakan, hukumnya boleh, tidak haram, karena dalil-dalil syar’i yang ada hanya melarang sewa lahan pertanian dengan  tujuan menanami lahan pertanian itu dengan suatu komoditi pertanian, misalnya padi, jagung, dan sebagainya. Di antara dalil syar’i tersebut, adalah hadis dari Jabir RA sbb :

عَنْ جابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : نَهَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌّ

“Dari Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW telah melarang diambil dari lahan pertanian upah sewanya atau bagi hasilnya.” (HR Muslim, no. 1536).

Maka dari itu, menyewakan lahan pertanian tetapi bukan untuk keperluan pertanian, hukumnya boleh, sebagaimana penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani sbb :

غَيْرَ أَنَّ تَحْريمَ إِجارَةِ الأَرْضِ إِنَّمَا هوَ إِذَا كَانَتْ إِجارَتُها لِلزِّرَاعَةِ. أَمَّا إِذَا كَانَتْ إِجارَتُها لِغَيْرِ الزِّراعَةِ فَيَجُوزُ، إِذْ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ المَرْءُ الأَرْضَ لِتَكُونَ مِراحًا ، أَوْ مَقيلًا أَوْ مَخْزَنًا لِبِضاعَتِهِ ، أَوْ لِلْإِنْتِفَاعِ بِهَا بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ غَيْرِ الزِّرَاعَةِ

”Hanya saja, keharaman menyewakan lahan pertanian itu hanyalah jika penyewaannya untuk pertanian (lahan ditanami sesuatu). Adapun jika penyewaan tanah itu bukan untuk pertanian, hukumnya boleh, sebab boleh seseorang menyewa tanah untuk dijadikan tempat istirahat, atau tempat transit atau gudang untuk barang dagangannya, atau untuk pemanfaatan apa pun di luar pertanian.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fi Al-Islâm, hlm. 141).

Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan pertama, boleh hukumnya menyewakan lahan pertanian, untuk keperluan peternakan, karena peternakan tidak termasuk ke dalam pengertian pertanian. Misalnya, di lahan pertanian dibangun kandang ayam untuk beternak ayam, atau yang semisalnya.

Adapun jika lahan yang disewa untuk peternakan itu ditanami rumput untuk peternakan, hukumnya haram, berdasarkan kaidah fiqih :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.” (Imam Jalāluddīn al-Suyūṭiy, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Ῑḍāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Aḥmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).

Berdasarkan kaidah tersebut, berarti penanaman sebagian lahan dengan rumput pakan ternak, hukumnya haram, karena sewa lahan untuk peternakan yang hukumnya halal, telah bercampur dengan sewa lahan untuk pertanian (yaitu penanaman rumput pakan ternak) yang hukumnya haram. Kondisi akhirnya adalah percampuran antara yang halal dengan yang haram. Maka sesuai kaidah fiqih itu, hukum akhirnya adalah haram untuk aktivitas secara keseluruhan, karena hukum haram mengalahkan hukum halal jika halal dan haram bertemu.

Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan kedua, tidak boleh (haram) hukumnya jika lahan pertanian disewakan untuk peternakan, namun ada sebagian lahan itu yang ditanami rumput untuk pakan hewannya. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 7 Mei 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi