Penulis: K.H. M. Shiddiq al-Jawi
Ikhtilat artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan, dll.). (Said al-Qahthani, Al-Ikhtilat, hlm. 7).
Contoh ikhtilat, para penumpang laki-laki dan perempuan yang berada di suatu gerbong kereta api yang sama secara berdesakan-desakan. Jika seseorang pernah menumpang KRL Jabotabek jurusan Jakarta—Bogor pada jam-jam sibuk (jam masuk kerja atau pulang kerja), sangat mungkin ia terjebak dalam ikhtilat. Ini karena dalam KA Jabotabek itu, para penumpang laki-laki dan perempuan berada dalam gerbong yang sama dan saling berdesak-desakan satu sama lain.
Contoh ikhtilat lainnya, para penumpang laki-laki dan perempuan dalam bus Trans Jakarta. Pada jam-jam sibuk, para penumpang itu dipastikan akan berdesak-desakan. Kondisi seperti itu disebut ikhtilat.
Contoh lainnya, misalkan di sebuah restoran, dalam satu meja ada laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mereka makan dan mengobrol bersama. Ini juga ikhtilat.
Hukum Ikhtilat
Ikhtilat hukumnya haram dan merupakan dosa menurut syariat (hukum Islam), meskipun disayangkan banyak kaum muslim yang melakukannya. Mungkin itu karena ketaktahuan mereka akan hukum Islam, atau mungkin karena terpengaruh gaya hidup kaum kafir dari Barat yang serba boleh yang tidak mengindahkan halal/haram.
Di samping haram, ikhtilat juga berbahaya karena mudah menjadi jalan untuk kemaksiatan-kemaksiatan lain yang merusak akhlak, seperti memandang aurat, terjadinya pelecehan seksual, perzinaan, dan sebagainya.
Banyak kitab karya para ulama yang khusus menerangkan bahaya-bahaya ikhtilat itu, seperti (1) kitab Khuthurah Al-Ikhtilath (Bahaya Ikhtilat) karya Syekh Nada Abu Ahmad; (2) kitab Al-Ikhtilath Ashlus Syarr fi Dimaar al-Umam wal Usar (Ikhtilat Sumber Keburukan bagi Kehancuran Berbagai Umat dan Keluarga) karya Syekh Abu Nashr al-Imam; dan (3) kitab Al-Ikhtilath wa Khatruhu ‘Alal Fardi wal Mujtama’ (Ikhtilat: Bahayanya bagi Individu dan Masyarakat) karya Syekh Nashr Ahmad as-Suhaji; dan sebagainya.
Kriteria Ikhtilat dan Keharamannya
Seperti dijelaskan di muka, pengertian “ikhtilat” adalah bertemunya laki-laki dan perempuan di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu.
Berdasarkan pengertian itu, suatu pertemuan antara laki-laki dan perempuan disebut ikhtilat jika memenuhi dua kriteria secara bersamaan, yaitu:
(1) Pertama, adanya pertemuan (ijtimak) antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama. Misalnya, di gerbong kereta yang yang sama, di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya.
(2) Kedua, terjadi interaksi (ittishal, khilthah) antara laki-laki dan perempuan, misalnya berbicara, saling menyentuh, bersenggolan, berdesakan, dan sebagainya.
Jika perempuan dan laki-laki duduk berdampingan di suatu bus angkutan umum, tetapi tidak terjadi interaksi apa-apa, kondisi itu tidak disebut ikhtilat (hukumnya tidak apa-apa). Akan tetapi, jika di antara mereka terjadi interaksi, misalnya perbincangan, berkenalan, dan seterusnya, baru disebut ikhtilat (haram hukumnya).
Sebaliknya, jika di antara laki-laki dan perempuan terjadi interaksi, misalnya berbicara, tetapi melalui telepon, maka tidak disebut ikhtilat karena mereka tidak berada di satu tempat atau tidak terjadi pertemuan (ijtimak) di antara keduanya.
Jadi, yang disebut ikhtilat itu harus memenuhi 2 (dua) kriteria secara bersamaan, yaitu (1) adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat, dan (2) terjadi interaksi di antara laki-laki dan perempuan itu.
Mengapa Ikhtilat Diharamkan?
Sebabnya karena melanggar perintah syariat untuk melakukan infishal, yaitu pemisahan antara komunitas laki-laki dan perempuan.
Dalam kehidupan Islami yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. di Madinah dahulu, komunitas laki-laki dan perempuan wajib dipisahkan dalam kehidupan, tidak boleh campur baur.
Misalnya, dalam salat berjemaah di masjid, saf (barisan) laki-laki dan perempuan diatur secara terpisah, yaitu saf laki-laki di depan yang dekat imam, sedangkan saf perempuan berada di belakang saf laki-laki. Demikian pula setelah selesai salat berjemaah di masjid, Rasulullah saw. mengatur agar jemaah perempuan keluar masjid lebih dahulu, baru kemudian jemaah laki-laki.
Pada saat Rasulullah saw. menyampaikan ajaran Islam di masjid, laki-laki dan perempuan juga terpisah. Ada kalanya terpisah secara waktu (hari pengajiannya berbeda), ada kalanya terpisah secara tempat, yaitu jemaah perempuan berada di belakang jemaah laki-laki, atau kadang jemaah perempuan diatur terletak di samping jamaah laki-laki. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhamul Ijtimai fil Islam, hlm. 35—36).
Namun demikian, ada perkecualian.
Dalam kehidupan publik, seperti di pasar, rumah sakit, masjid, sekolah, jalan raya, lapangan, kebun binatang, dan sebagainya, laki-laki dan perempuan dibolehkan melakukan ikhtilat dengan 2 (dua) syarat, yaitu:
(1) Pertama, pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan syariat, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.
(2) Kedua, aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap tidak boleh.
Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan adalah jual beli. Misalkan, penjualnya adalah seorang perempuan dan pembelinya adalah seorang laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, boleh ada ikhtilat antara perempuan dan laki-laki itu agar terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli.
Ini berbeda dengan aktivitas yang tidak mengharuskan pertemuan laki-laki dan perempuan. misalnya makan di restoran. Makan di restoran dapat dilakukan sendirian oleh seorang laki-laki ataupun sendirian oleh seorang perempuan. Tidak ada keharusan untuk terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan supaya bisa makan di restoran.
Oleh karenanya, hukumnya tetap haram bagi seorang laki-laki dan perempuan berjanji untuk bertemu dan makan bersama di suatu restoran. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhamul Ijtimai fil Islam, hlm. 37).
Perlu diperhatikan juga, di samping dua syarat di atas, tentunya para laki-laki dan perempuan wajib mematuhi hukum-hukum syariat lainnya dalam kehidupan umum, misalnya kewajiban menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), yaitu tidak memandang aurat (lihat QS An-Nuur: 30—31); bagi perempuan wajib berbusana muslimah, yaitu kerudung (QS An-Nuur: 31) dan berjilbab/baju kurung terusan (lihat QS Al-Ahzaab: 59); haram berkhalwat (berdua-duaan dengan lain jenis) (lihat HR Ahmad); dan sebagainya.
Bahaya-Bahaya Ikhtilat
Sesungguhnya, ikhtilat adalah jalan yang memudahkan terjadinya berbagai kemaksiatan. Antara lain:
(1) Terjadinya khalwat, yaitu laki-laki yang berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad);
(2) Terjadinya pelecehan seksual, seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram, dan sebagainya.
Rasulullah saw. bersabda, “Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram), kedua telinga zinanya adalah mendengar (yang haram), lidah zinanya adalah berbicara (yang haram), tangan zinanya adalah menyentuh (yang haram), dan kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang haram).” (HR Muslim)
Rasulullah saw. juga melarang laki-laki dan perempuan berdesak-desakan. Oleh sebab itu, pada masa Rasulullah saw., para perempuan keluar masjid lebih dahulu setelah selesai salat, baru kemudian para laki-laki. (lihat HR Bukhari no. 866 & 870);
(3) Terjadinya perzinaan yang diawali dengan ikhtilat.
Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam kitabnya, At-Thuruqul Hukmiyyah, “Ikhtilat antara para laki-laki dan perempuan adalah sebab terjadinya banyak perbuatan keji (katsratul fawahisy) dan merajalelanya zina (intisyar az zina).”
Yang lebih mengerikan lagi, jika zina sudah merajalela di suatu negeri, akan terjadi kerusakan atau bencana umum bagi sebuah negeri.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah merajalela perbuatan zina di suatu kaum kecuali kematian pun akan merajalela di tengah kaum itu.” (HR Ahmad dari ‘Aisyah ra.)
Oleh karena itu, jelaslah bahwa ikhtilat adalah perbuatan buruk yang wajib kita jauhi. Jika tidak, berbagai kemaksiatan akan terjadi dan bahaya kematian pun akan merajalela pula di tengah umat Islam. Na’udzubillah min dzalik!