Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
Kota Yogyakarta sejak akhir bulan Oktober 2024 yang lalu mendadak viral secara hebat di media massa mainstream ataupun di berbagai media sosial. Sayangnya keviralan Yogyakarta itu bukan karena prestasi positifnya sebagai kota pelajar, melainkan karena kasus negatif berupa maraknya peredaran miras (minuman keras) yang jika tidak ditangani dengan serius, akan dapat mengubah citra Yogyakarta dari kota pelajar menjadi menjadi kota miras, hanya demi uang haram bagi pengusahanya dan demi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dan bagi Pemerintah Provinsi DIY.
Awal keviralan itu bermula pada Rabu malam (23/10/2024) berupa kasus penusukan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia Timur kepada dua orang santri dari sebuah pesantren di Krapyak, Yogyakarta, bernama Shafiq Faskhan (20) dan Muhammad Aufal Maromi (23). Kedua santri tersebut ditusuk ketika tengah bersantai setelah makan sate, di daerah Prawirotaman, Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta, yang belakangan diketahui ternyata menjadi korban salah sasaran.
Ternyata ketika orang-orang Indonesia Timur itu melakukan penusukan, diketahui dalam kondisi mabuk, setelah menenggak khamr di Outlet 23, sebuah toko penjual khamr (miras) di dekat lokasi kejadian. Kejadian ini akhirnya memicu memicu aksi besar-besaran di Yogya. Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) pada 25 Oktober 2024 menggelar aksi di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, sekaligus menyampaikan surat kepada Gubernur DIY agar penertiban peredaran miras bisa segera dilakukan. Kemudian pada 29 Oktober 2024 ribuan santri turun ke jalan dan mengadakan aksi di halaman Polda DIY sebagai aksi solidaritas kepada dua santri korban penusukan tersebut.
Sebagai respon terhadap aksi umat Islam tersebut, Polresta Yogyakarta bersama Pemkot Yogyakarta menggelar operasi gabungan penertiban gerai minuman keras (miras) tidak berizin atau ilegal. Operasi gabungan tersebut digelar untuk menindaklanjuti Instruksi Gubernur 5/2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol atau Minuman Keras, sekaligus menjadi upaya bersama dalam menciptakan situasi kondusif yang aman dan tertib di wilayah Kota Yogyakarta. Per 9 November 2024 Polresta Yogyakarta telah menutup dan menyegel hampir 90 persen outlet penjualan minuman keras (miras) di Kota Pelajar tersebut. Meski begitu, pemerintah kota Yogyakarta terus mewaspadai penjualan miras, khususnya melalui daring (online).
Legalisasi Khamr (Miras)
Suatu hal yang sangat mengherankan dan menyedihkan di Indonesia, adalah legalisasi miras oleh pemerintah NKRI itu sendiri. Seharusnya negara yang mengaku berpancasila dan berketuhanan yang maha esa, mematuhi larangan meminum dan mengedarkan minuman keras yang ada dalam agama Islam, agama mayoritas rakyat Indonesia. Namun karena ketidakjelasan Pancasila, yaitu tidak jelas tuhan mana yang harus dipatuhi oleh rakyat dan negara Indonesia, dan juga karena cara berpikir sekularistik yang sudah mencengkeram kuat di benak para penyelenggara negara dan pengusaha, akhirnya miras dilegalkan dengan alasan macam-macam, khususnya alasan ekonomi dan bisnis.
Di Indonesia, legalisasi miras sendiri sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI 20/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. PP tersebut mengatur tentang peredaran dan penggunaan miras, di antaranya:
Pertama, penjualan minuman beralkohol untuk diminum langsung di tempat hanya dapat dijual di hotel, restoran, dan bar sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan, serta tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh bupati/wali kota, dan gubernur untuk Provinsi Khusus Ibu Kota Jakarta. (Pasal 14 ayat 1).
Kedua, penjualan minuman beralkohol secara eceran hanya dapat dijual oleh pengecer pada Toko Bebas Bea (TBB) dan tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh bupati/wali kota, dan gubernur untuk Provinsi Khusus Ibu Kota Jakarta. (Pasal 14 ayat 2).
Ketiga, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer seperti minimarket, supermarket, hypermarket atau toko pengecer lainnya. (Pasal 14 ayat 3).
Inilah sebagian contoh peraturan pemerintah yang mengaku berpancasila dan mengaku bertuhan yang maha esa, tetapi malah membuat rusak masyarakat dengan mengizinkan peredaran khamr (miras) di tengah masyarakat. Jelas legalisasi miras ini seharusnya tidak boleh ada secara mutlak, karena khamr dalam agama Islam, merupakan barang najis yang tidak hanya haram diminum, melainkan juga haram diperjualbelikan, haram didistribusikan, dan haram pula dilegalisasikan oleh pemerintah. Khamr hanya layak untuk dimusnahkan, bukan untuk diedarkan.
Definisi Khamr
Definisi khamr menurut Bahasa Arab (ma’na lughawi) adalah setiap minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah anggur (al-‘inab). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 19/259).
Adapun pengertian khamr dalam pengertian syar’i (ma’na syar’i) adalah :
اَلْخَمْرُهِيَ كُلُّ شَرَابٍ مُسْكِرٍ
“Al-Khamru hiya kullu syarābin muskirin.” Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm.25).
Berdasarkan definisi khamr tersebut, maka khamr itu adalah setiap minuman yang memabukkan, yang terbuat dari bahan apapun, tidak terbatas pada buah anggur (al-‘inab) saja, sebagaimana makna bahasa dari al-khamr. Jadi khamr yang terbuat dari bahan kurma (al-tamr), atau gandum (al-burru/al-qamh/al-hinthah), atau jewawut (al-sya’ir), atau madu (al-‘asl), atau kopi (al-qahwah), semuanya adalah termasuk khamr dan sama saja hukumnya, yakni haram. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm.25).
Sifat memabukkan pada khamr ini, menurut ilmu pengetahuan modern, dikarenakan adanya zat bernama “etil alkohol”/“etanol” (C2H5OH) atau disebut secara populer dengan sebutan “alkohol”.
Maka khamr dapat juga didefinisikan sebagai “setiap minuman yang mengandung alkohol baik kadarnya sedikit maupun banyak.” (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafūr fī [I]sti’māl Al-Kuhūl Ma’a Al-‘Uthūr, hlm. 13).
Kadar alkohol yang terkandung dalam volume tertentu minuman beralkohol, dinyatakan dalam persen volume, misal 10%, yang didefinisikan sebagai jumlah mililiter (mL) etanol murni yang ada dalam 100 mL minuman beralkohol.
Jadi, bir dengan kandungan alkohol sekitar 3-8 persen, sama haramnya dengan vodka yang kadar alkoholnya berkisar antara 35-50 persen. Sama haramnya dengan whiskey yang kandungan alkoholnya antara 40-60 persen.
Kadar alkohol pada khamr tradisonal Jawa bernama Ciu dengan kadar alkohol berkisar 25-37 persen, sama haramnya dengan Sake, yakni khamr tradisional Jepang yang kadar alkoholnya berkisar antara 15 -20 persen.
(https://www.halodoc.com/artikel/ini-kadar-alkohol-dalam-berbagai-jenis-minuman-keras).
Definisi khamr menurut istilah syariah tersebut, dirumuskan dari dalil-dalil hadits Nabi SAW, antara lain hadits ‘A`isyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap-tiap minuman yang memabukkan maka dia haram.” (HR. Al-Bukhari, no. 242; Muslim, no. 2001).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap-tiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap-tiap khamr adalah haram. (HR. Muslim, no. 3733).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap-tiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Al-Bukhari no. 4087)
Hukum Khamr
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa meminum khamr hukumnya haram.
Dalil keharamannya adalah firman Allah SWT :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya [minum] khamr (minuman beralkohol), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (najis) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah najis itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Mā`idah [5] : 90).
Qarīnah (indikasi / petunjuk) keharaman meminum khamr dalam ayat tersebut dapat dilihat dari banyaknya penegasan (ta’kīd) dalam ayat itu, antara lain:
(1) menggunakan taukid (kata penegas) “innamā”;
(2) disejajarkan dengan penyembahan berhala;
(3) khamr disebut rijsun (najis);
(4) meminumnya disebut perbuatan setan;
(5) ada perintah untuk menjauhinya;
(6) ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhinya;
(7) ada berbagai dampak buruknya (QS. Al-Mā`idah: 91).
(Abdurrahman al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm.24-25; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/15).
Keharaman meminum khamr juga dapat disimpulkan dari qarīnah (petunjuk) berupa azab yang akan diterima oleh peminum khamr di neraka kelak. Sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِيْنَةِ الْخَبَالِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا طِيْنَةُ الْخَبَالِ؟، قَالَ: عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menjanjikan bagi peminum khamr akan diminumkan kepadanya “thīnatul khabāl”. Mereka bertanya, “Hai Rasulullah, apakah itu “thīnatul khabāl?” Rasulullah Saw. menjawab, “Keringatnya penghuni neraka atau perasan [cairan yang keluar dari] penghuni neraka.” (HR. Muslim, no 3732).
Keharaman meminum khamr juga dapat disimpulkan dari qarīnah (petunjuk) lain, yaitu sholatnya peminum khamr tidak diterima selama 40 hari, sesuai sabda Rasulullah SAW :
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang meminum khamr dan mabuk, maka tidak diterima sholat darinya selama empat puluh pagi, jika dia mati maka dia akan masuk neraka, dan jika dia bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Ibnu Majah, no 3377)
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :
وَأَمَّا عَدَم قَبُول صَلاته فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لا ثَوَاب لَهُ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ مُجْزِئَة فِي سُقُوط الْفَرْض عَنْهُ , وَلا يَحْتَاج مَعَهَا إِلَى إِعَادَة
“Adapun tidak diterimanya sholat peminum khamr selama 40 hari itu, maksudnya adalah, dia tidak mendapat pahala dari sholatnya itu (selama 40 hari), meskipun sholatnya itu sudah menggugurkan kewajibannya untuk sholat, dan dia tidak perlu mengulangi sholatnya.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 14/227).
Khamr tidak hanya haram diminum, tapi juga haram diperjualbelikan. Dalilnya sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala (patung).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khamr haram pula diproduksi, didistribusikan, dan diperdagangkan dalam segala aspeknya. Dalilnya sabda Rasulullah SAW :
لُعِنَتْ الْخَمْرُ عَلَى عَشْرَةِ أَوْجُهٍ بِعَيْنِهَا وَعَاصِرِهَا وَمُعْتَصِرِهَا وَبَائِعِهَا وَمُبْتَاعِهَا وَحَامِلِهَا وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ وَآكِلِ ثَمَنِهَا وَشَارِبِهَا وَسَاقِيهَا – رواه أحمد و ابن ماجة
“Khamr itu telah dilaknat untuk sepuluh pihak yang terkait dengan khamr: (1) zat khamrnya itu sendiri, (2) pemerasnya, (3) yang minta diperaskan, (4) penjualnya, (5) pembelinya, (6) pembawanya, (7) yang minta dibawakan, (8) pemakan harganya, (9) peminumnya, dan (10) penuangnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Orang yang menghalalkan khamr (istihlāl al-khamr), yakni meyakini halalnya khamr, dihukumi telah murtad, dan wajib dihukum mati sebagai sanksi pidana Islam untuk orang murtad. Imam Nawawi dalam masalah ini berkata :
مَنْ جَحَدَ مُجْمَعاً عَلَيْهِ فِيْهِ نَصٌّ، وَهُوَ مِنْ أُمُوْرِ اْلإِسْلاَمِ الظاَّهِرَةِ الَّتِيْ يَشْتَرِكُ فِيِ مَعْرِفَتِهاَ الْخَوَّاصُ وَالْعَوَّامُ، كَالصَّلاَةِ أَوْ الزَّكاَةِ أَوِ الْحَجِّ، أَوْ تَحْرِيْمِ الْخَمْرِ أَوِ الزِّنَا، وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَهُوَ كاَفِرٌ
“Barangsiapa yang mengingkari suatu hukum yang telah disepakati (tanpa khilafiyah) yang ada nash-nya (dari Al-Qur`an atau Al-Hadits), yang termasuk ajaran-ajaran Islam yang sudah jelas dan sudah sama-sama diketahui oleh para ulama dan orang-orang awam, seperti wajibnya sholat, zakat, atau haji; atau haramnya khamr, zina, dan yang semisalnya, maka dia telah kafir.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thālibīn, Juz I, hlm. 667, Bab Tārikush Sholāt).
Orang yang memberikan izin (atau melegalkan) peredaran khamr bagi para penjual khamr, seperti pejabat Kementerian Perdagangan, berarti telah menghalalkan khamr (istihlāl al-khamr), yakni meyakini halalnya khamr, maka dia dihukumi telah murtad, dan wajib dihukum mati sebagai sanksi pidana Islam untuk orang murtad.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin dalam masalah ini berkata dengan tegas :
مَنْ يُعْطِيْ رُخْصَةً بِذَلِكَ فَهُوَ مُسْتَحِلٌّ لَهُ ، لَوْ رَأَىْ أَنَّهُ حَرَامٌ ماَ فَعَلَ هَذَا ، وَمَنِ اسْتَحَلَّ الْخَمْرَ فَهُوَ كاَفِرٌ
“Barangsiapa yang memberikan izin terhadap peredaran khamr, berarti dia telah menghalalkan khamr (istihlal al-khamr), karena andaikata dia meyakini khamr itu haram, pasti dia tidak akan mengeluarkan izin. Jadi, barangsiapa yang menghalalkan khamr maka dia telah kafir.” (Syekh Ibnu ‘Utsaimin, https://www.youtube.com/watch?v=6U3MceAfm5U).
Kesimpulannya, khamr telah jelas keharamannya. Dan tidak hanya haram, khamr juga sesuatu yang terbukti banyak menimbulkan keburukan/bahaya (mudharat) bagi masyarakat, seperti permusuhan atau kebencian di antara anggota masyarakat. (Lihat QS Al-Ma`idah : 91).
Khamr juga disebut Nabi SAW sebagai induk segala kejahatan (ummul khabā`its), yang terbukti dapat menimbulkan berbagai kejahatan-kejahatan lainnya, seperti penganiayaan fisik kepada orang lain, pembunuhan, perzinaan, perkosaan, dan sebagainya. Sungguh benar sabda Nabi SAW :
اجْتَنِبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا أُمُّ الْخَبَائِثِ
“Jauhilah khamr, karena ia adalah induk dari segala kejahatan.” (HR. Nasa`i, no. 5572).
Kenajisan Khamr
Ada khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai kenajisan khamr.
Menurut jumhur fukaha, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr itu najis. Namun menurut sebagian ulama, seperti Rabi’ah Al-Ra`yi, Imam Laits bin Sa’ad, dan Imam Al-Muzani, khamr itu suci (tidak najis). (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmī wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li–Ahkām Al-Qur`ān, 3/52; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib al-Arba’ah, 1/18).
Ulama yang menganggap khamr najis berdalil dengan ayat :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan setan.” (QS. Al-Mā`idah: 90)
Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr sebagai rijsun, yang berarti najis. (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmī wa Adillatuhu, 7/427)
Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Mereka berkata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. (Muhammad Abduh & Rasyid Ridha, Tafsīr Al-Manār, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salām, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19)
Adapun menurut kami, yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama bahwa khamr itu najis. Dalilnya kenajisan khamr adalah hadis dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA, dia pernah bertanya kepada Nabi SAW :
إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ ، وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا ، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا . صححه الألباني في صحيح أبي داود
“Sesungguhnya kami bertetangga dengan Ahli Kitab sedang mereka memasak babi dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka.” Nabi SAW menjawab, ”Jika kamu dapati wadah lainnya, makan dan minumlah dengannya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum.” (HR. Ahmad & Abu Dawud, dengan isnād sahīh). (Imam Shan’ani, Subulus Salām, 1/33; Imam Syaukani, Nailul Authār, hlm. 62).
Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr. Mengapa? Sebab tidaklah Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis.
Ini diperkuat dengan satu riwayat dari Imam Al-Daraquthni, bahwa Nabi SAW bersabda :
فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ فَإِنَّ الْماَءَ طَهُوْرُهاَ
(farhadhūhā bil-mā’i fa-inna al-mā’a thahūruhā)
“Maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya.” (Lihat Mahmud ‘Abdul Lathief ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ Li Ahkām Al-Shalāh, 1/45).
Kenajisan Alkohol
Lalu bagaimanakah tentang kenajisan alkohol (etanol/etil alcohol/C2H5OH)? Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai alkohol, apakah dia najis atau suci (tidak najis). Sebagian ulama kontemporer menghukumi alkohol itu suci berdasarkan asumsi bahwa khamr (minuman beralkohol) itu zat yang suci (tidak najis). (Muhammad ‘Ali Al-Bâr, Al-Khamr Bayna Al-Thibb wa Al-Fiqh, hlm. 52; Shâlih Kamâl Shâlih Abu Thâhâ, At-Tadāwī bi Al-Muharramāt, hlm. 54).
Namun, sebagian ulama kontemporer lainnya berpendapat, bahwa alkohol itu najis, berdasarkan asumsi bahwa khamr itu zat yang najis. (Abdul Majīd Mahmûd Shalâhain, Ahkām Al-Najāsāt fī Al-Fiqh Al-Islāmī, hlm. 253).
Walhasil, persoalan najis tidaknya alkohol, berakar pada persoalan najis tidaknya khamr. Para ulama sendiri sejak dulu sudah berbeda pendapat mengenai najis tidaknya khamr (seperti sudah dijelaskan sebelumnya).
Jumhur ulama, di antaranya adalah ulama mazhab yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, berpendapat khamr itu najis. Sedangkan sebagian ulama lain, seperti Imam Syaukani, berpendapat khamr itu suci. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 40/93).
Pendapat yang rājih (lebih kuat) bagi kami, adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan khamr itu najis. Pendapat inilah yang telah dipilih oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh.(Ahkāmush Sholāh, hlm. 32).
Dalil jumhur ulama bahwa khamr dikategorikan najis (rijsun) dalam firman Allah SWT :
يآأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis (rijsun) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah najis itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90).
Berdasarkan ayat tersebut, khamr itu najis karena termasuk dalam “rijsun”. Menurut Imam Nawawi, sebagaimana dikutip Syekh Abdul Majid Shalahain, tidak ada māni’ (penghalang), suatu kata seperti “rijsun” mempunyai makna hakiki (najis zati) pada khamr, dan makna majazinya sekaligus, yakni najis maknawi pada judi, menyembelih korban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah. (Abdul Majīd Mahmûd Shalâhain, Ahkām Al-Najāsāt fī Al-Fiqh Al-Islāmī, hlm. 253).
Hanya saja, penggunaan zat najis termasuk alkohol, untuk keperluan pengobatan hukumnya tidak haram, melainkan makruh. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz III, hlm. 116).
Hal itu dikarenakan dulu Nabi SAW pernah membolehkan sebagian masyarakat berobat dengan meminum air kencing unta. (HR Bukhari, no. 231). Padahal air kencing unta itu zat najis. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz III, hlm. 116).
Sanksi Pidana Islam Bagi Peminum Dan Produsen Khamr
Dalam sistem pidana Islam, peminum khamr dijatuhi sanksi pidana berupa hudud, yaitu dicambuk 40 (empat puluh) kali, atau boleh 80 (delapan puluh) kali cambukan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm.58)
Dalilnya sebuah hadits shahih dalam Shahīh Muslim :
عَنْ عَلِيٍّ فِيْ جَلْدِ الْوَلِيْدِ بْنِ عُقْبَةَ أَنَّهُ جَلَدَهُ أَرْبَعِيْنَ وَقَالَ جَلَدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ وَأَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ وَعُمَرُ ثَمَانِيْنَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ. رواه مسلم
“Dari Ali RA mengenai pencambukan Al-Walid bin ‘Uqbah yang dicambuk oleh Ali RA sebanyak 40 (empat puluh) kali, kemudian Ali RA berkata, ”Nabi SAW telah mencambuk 40 kali cambukan. Abu Bakar mencambuk 40 cambukan, sedang Umar 80 cambukan. Semua itu sunah dan ini (pencambukan 40 kali) yang lebih aku sukai.” (HR. Muslim, Bab Hudūd).
Adapun bagi produsen khamr, dijatuhi sanksi pidana berupa ta’zīr, yaitu sanksi pidana Islam untuk pelanggaran hukum Islam yang tidak disebutkan jenis dan kadar hukumannya secara khusus dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits.
Hakim syariah (Qadhi) sebagai wakil dari Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah merupakan pihak yang berwenang menetapkan ta’zīr tersebut, dari sejumlah macam ta’zīr yang dibolehkan Syariah, seperti hukuman pidana berupa cambukan (al-jald) atau penjara (al-habs).
Sanski pidana Islam berupa ta’zīr bagi produsen, distributor, dan pembeli khamr, dkk, menurut Syekh Abdurrahman Al-Maliki adalah sebagai berikut :
كُلُّ مَنْ باَعَ أَوِ اشْتَرَىْ أَوْ عَصَرَ أَوْ نَقَلَ أَوْ حَازَ خَمْراً يُعَاقَبُ بِالْجَلْدِ وَالسِّجْنِ حَتىَّ خَمْسِ سَنَوَاتٍ، يُسْتَثْنىَ مِنْ ذَلِكَ مَنْ يُبِيْحُ لَهُ دِيْنُهُ شُرْبَ الْخَمْرِ
“Setiap-tiap orang yang membeli, atau menjual, atau memeras, atau memindahkan, atau memperoleh khamr, dipidana dengan hukuman cambuk dan hukuman penjara hingga lima tahun, kecuali orang yang menurut agamanya dibolehkan minum khamr (misalnya orang Nashrani).” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm. 97).
Penutup
Khamr dalam agama Islam, merupakan barang najis yang tidak hanya haram diminum, melainkan juga haram diproduksi, haram diperjualbelikan, haram didistribusikan, dan haram pula dilegalisasikan oleh pemerintah. Khamr juga merupakan induk atau biang kerok dari segala kejahatan, seperti perzinahan, perkosaan, penusukan, pembunuhan, dan sebagainya.
Pejabat pemerintah yang memberikan izin untuk peredaran khamr, dapat dihukumi telah murtad atau keluar dari agama Islam, karena telah melakukan istihlāl al-khamr (penghalalan khamr), yaitu telah berubah keyakinan dari keyakinan seorang muslim menjadi keyakinan seorang kafir, yakni awalnya mengharamkan khamr menjadi menghalalkan khamr, walau pun dia tidak pernah minum satu tetes pun dari khamr yang ada.
Khamr hanya layak untuk dimusnahkan, bukan untuk diedarkan. Wallāhu a’lam.
Bandung, 9 November 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi