
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Afwan Kyai, saya mau bertanya tentang zakat perdagangan. Ada seorang pedagang mie ayam dengan total penjualan (omset) sebesar Rp 360.000.000,- setahun. Keuntungan bersih (laba) sebesar Rp 110.000.000,- setahun. Pertanyaannya: manakah yang dijadikan sebagai nishab zakat perdagangan? Apakah total penjual setahun (omset) : Rp 360.000.000,- ataukah keuntungan bersih (laba) : Rp 110.000.000,- Mohon pencerahannya Kyai. Syukron. (Harun, Pare-Pare, Sulsel).
Jawab :
Cara menghitung nishab, adalah dengan menghitung harga jual dari barang yang dipersiapkan untuk dijual, pada hari tertentu, khususnya pada hari pertama berdagang. Jadi bukan dihitung dari total omzet selama setahun, dan bukan pula dari keuntungan bersih selama satu tahun. Jadi kalau ada pertanyaan seperti di atas, bagaimanakah cara menghitung nishab zakat perdagangan? Apakah dari total penjual setahun (omset) : Rp 360.000.000,- ataukah dari keuntungan bersih (laba) : Rp 110.000.000,-? Jawabannya : bukan dari kedua-duanya.
Nishab barang dagangan dihitung dengan cara menghitung harga jual dari barang yang dipersiapkan untuk dijual, pada hari tertentu khususnya ketika seseorang mulai berdagang. Misalnya, pada hari tertentu, yakni Kamis (6/3/2025) Si X mulai berjualan mie ayam. Pada hari itu, si X harus menghitung berapa harga jual semua barang yang disiapkan untuk dijual (bukan yang laku dijual, tapi yang disiapkan untuk dijual). Misal, setelah melakukan perhitungan dari berbagai bahan mie ayam yang tersedia, si X memperkirakan akan menjual 200 mangkok mie ayam @ Rp 20.000, pada hari tersebut, yang nilainya total = 200 x Rp 20.000 = Rp 4.000.000.
Jadi, cara menghitung nishab itu BUKAN dengan cara menghitung nilai barang dagangan yang secara riil benar-benar terjual, tapi dengan menghitung barang yang DIPERSIAPKAN untuk dijual, walau pun akhirnya boleh jadi barang itu tidak laku terjual.
Adapun nishabnya adalah mengikuti nishab perak, yaitu senilai 595 gram perak murni. Misalkan, harga 1 perak murni (per Kamis 6 Maret 2025) adalah = Rp 16.989 (https://harga-emas.org/perak/). Maka nishab perak per Kamis 6 Maret 2025 adalah = 595 x Rp 16.989 = Rp 10.108.455.
Jadi, apakah nilai barang dagangan si X tadi, sudah mencapai nishab pada hari Kamis (6/3/2025)? Jawabannya, belum mencapai nishab, karena nilai barang dagangannya pada pada hari Kamis (6/3/2025) tersebut sama dengan Rp 4.000.000, yakni belum mencapai nilai nishab perak yang besarnya Rp 10.108.455.
Boleh jadi, dalam beberapa hari ke depan, nilai barang dagangan si X ini nilainya mengalami kenaikan. Misalnya pada hari Kamis sepekan berikutnya (13/3/2025), nilai nilai barang dagangan si X telah naik dari Rp 4.000.000 menjadi Rp 11.000.000. Maka pada hari itu (Kamis 13 Maret 2025) nilai barang dagangan si X, telah mencapai dan bahkan melampaui nishab, yang besarnya Rp 10.108.455.
Maka hari pertama ketika nilai barang dagangan mencapai nishab, menjadi awal haul, yaitu Kamis 13 Maret 2025, atau bertepatan dengan 13 Ramadhan 1446 H. Maka jatuh temponya (akhir haul), adalah satu tahun kemudian menurut perhitungan kalender Hijriyah (bukan kalender Masehi), yaitu 13 Ramadhan 1447 H. Kondisi ini disebut bahwa harta si X sudah memenuhi syarat haul (yakni, sudah dimiliki selama satu tahun hijriyah).
Pada hari jatuh tempo kewajiban berzakat itu, yakni 13 Ramadhan 1447 H, si X harus menghitung lagi nilai barang dagangannya pada hari itu. Misalkan, nilai barang dagangan yang dia siapkan untuk dijual, nilainya pada hari itu 13 Ramadhan 1447 H, adalah sebesar Rp 20.000.000,
Dan selama jangka waktu satu tahun itu (13 Ramadhan 1446 H – 13 Ramadhan 1447 H) laba bersih yang diperoleh misalnya Rp 80.000.000.
Maka zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan oleh si X itu pada 7 Ramadhan 1447 H nilainya adalah :
= 2,5% dikalikan (nilai barang dagangan pada hari jatuh tempo plus laba selama satu tahun).
= 2,5% x (20.000.000 + 80.000.000)
=2,5% x 100.000.000
= Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Demikian, semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 6 Maret 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi