Home Fiqih Fiqih ibadah HUKUM SEPUTAR I’TIKAF

HUKUM SEPUTAR I’TIKAF

181

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Apa pengertian i’tikaf?
I’tikaf adalah berdiam menetapi masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’la (luzûm al-masjid li ‘ibâdatillah ta’âla).

Apa tujuan i’tikaf?
Tujuan terbesar i’tikaf adalah untuk ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan Allah, dan melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, seperti shalat tahajjud yang lama, men-tadabburi (merenungkan secara mendalam) ayat-ayat Al Qur`an, melakukan muhâsabah (instrospeksi) bagi diri sendiri, dan memperbaharui taubat kepada Allah. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Apa hukum i’tikaf?
I’tikaf hukumnya mandub (sunnah), boleh dilakukan pada setiap-tiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun yang lebih utama adalah mengerjakannya di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk mencari Lailatul Qadar.

Keutamaan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu didasarkan pada hadits berikut ini :

عن عائشةَ رَضِيَ اللهُ عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ , حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

Dari ‘A`isyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan karena sangat dianjurkannya i’tikaf, ketika Nabi SAW meninggalkan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu karena suatu udzur atau hajat, Nabi SAW mengqadha`-nya di bulan Syawwal. (HR Bukhari dan Muslim). (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Berapa lama waktu i’tikaf itu, baik waktu paling sebentar maupun waktu paling lama?
Jumhur ulama mensyaratkan, sesedikit-sedikitnya i’tikaf itu, dilakukan dalam waktu sekejab (lah-zhatan wahidatan), misalnya berdiam beberapa saat di masjid, yang kira-kira selama orang membaca surat Al Fatihah.

Adapun waktu selama-lamanya i’tikaf, tidak ada batasannya, selama tidak menyebabkan suatu keharaman (mah-zhur syar’i) bagi orang yang beri’tikaf, misalnya meninggalkan kewajiban mencari nafkah, meninggalkan kewajiban berdakwah, dsb.

Apakah tetap wajib berniat jika i’tikafnya sebentar?
Atas dasar dua poin sebelumnya, yakni i’tikaf itu boleh sebentar atau lama, maka bagi setiap orang yang beri’tikaf, wajib meniatkan i’tikaf di masjid, baik ia i’tikaf sebentar maupun i’tikaf lama. Sama saja apakah dia masuk masjid memang untuk beribadah, misalnya untuk sholat atau tholabul ilmi, ataukah untuk keperluan di luar ibadah, misalnya sekedar beristirahat atau janjian bertemu dengan teman.

Apa saja syarat-syarat i’tikaf?
Syarat-syarat i’tikaf, yang terpenting adalah sebagai berikut :

(1) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf : muslim, mumayyiz, dan aqil (berakal).

Maka tidak sah i’tikaf bagi non muslim (kafir), karena orang kafir bukan ahlul qurûbât (orang yang berhak beribadah). Tidak sah pula i’tikafnya anak kecil yang belum mumayyiz, atau i’tikafnya orang gila.

(2) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf dalam keadaan suci (thâhir) dari hadats besar. Maka tidak sah i’tikaf orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub, wanita yang sedang haid, dan wanita yang sedang nifas.

(3) I‘tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat lima waktu di situ. Hal ini sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Dan janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

Yang lebih afdhol (utama), i’tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat Jumat di situ.

Sebagian ulama membolehkan i’tikaf di bagian-bagian masjid yang mengikuti pada masjid, seperti perpustakaan masjid (maktabah), tempat adzan (mi’dzanah), dan sebagainya.

Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) bagi kami, tempat yang dikategorikan masjid itu hanya bagian-bagian masjid yang digunakan sholat. Jika tidak digunakan untuk sholat, misalnya perpustakaan masjid, maka tempat itu tidak dikategorikan sebagai masjid secara hukum syariah.

Maka dari itu, i’tikaf di perpustakaan masjid, menurut pendapat kami, tidak sah. Karena perpustakaan masjid tidak termasuk masjid secara hukum Islam.

Dasar pendapat kami adalah definisi masjid itu sendiri. Dalam definisi masjid ini, disyaratkan masjid haruslah berupa tempat yang dapat digunakan untuk ibadah (sholat) khususnya untuk bersujud, sebagaimana definisi masjid berikut ini :

المَسْجِدُ هوَ كُلُّ مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيه وَيُسْجَدَ لَهُ , لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ : « جُعِلَتْ لِي الأَرْضَ مَسْجِدًا وَطَهُورًا » أخرجه البخاري (438)، ومسلم (521)

“Masjid adalah setiap tempat yang dapat digunakan untuk beribadah [sholat] dan bersujud kepada Allah di dalamnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci.” (HR Bukhari, no. 438; Muslim, no. 521). (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 37, hlm. 154-155)

(4) disyaratkan orang yang beri’tikaf untuk berniat (dalam hati), karena i’tikaf itu ibadah, maka seseorang wajib berniat i’tikaf bersamaan saat dia memulai berdiam di masjid untuk pertama kalinya.

(5) disyaratkan i‘tikaf tidak boleh melalaikan suatu kewajiban dari orang yang beri’tikaf, misalnya bekerja mencari nafkah, atau mengakibatkan orang yang beri’tikaf itu melakukan yang haram atau mafsadat, misalnya melalaikan merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit. Karena i’tikaf itu sunnah, maka tidak boleh mendahulukan yang sunnah atas yang wajib, atau melakukan yang sunnah tapi mengakibatkan yang haram atau mafsadat.

(6) disyaratkan menurut Imam Ibnu Juzai dari mazhab Maliki, orang yang beri’tikaf itu hendaklah melakukan ketaatan atau ibadah, sesuai kemampuannya. Jika ini tidak dilakukannya, maka dia hanya mendapat bagian berupa memisahkan diri dari tempat tidur dan istri, atau meninggalkan makan dan minum (jika i’tikaf di siang hari), tetapi tidak mendapat tujuan utama dari i’tikaf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Apa hukum i’tikaf bagi wanita?
Hukumnya boleh. Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bolehnya i’tikaf untuk laki-laki dan wanita, sebagaimana perkataan ‘A`isyah RA :

ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

“[setelah Rasulullah wafat], kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hanya saja, ada dua syarat untuk i’tikaf wanita :

(1) bagi wanita bersuami, wajib minta izin kepada suaminya, karena hak suami itu wajib didahulukan daripada i’tikaf, sedang bagi yang belum bersuami, wajib minta izin kepada ayahnya, atau wali terdekat jika ayah tidak ada.

(2) i’tikaf yang dilakukan wanita tidak menimbulkan “fitnah” (keharaman), atau “mafsadat” (bahaya).

Kapan seseorang yang beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan memulai i’tikafnya?
Terdapat dalil hadits yang menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh, pada hari keduapuluh pada bulan Ramadhan.

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, beliau berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائه فَضُرِبَ لَمَّا أَرَادَ الِاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ، وَأَمَرَتْ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ؛ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْفَجْرَ نَظَرَ، فَإِذَا الْأَخْبِيَةُ، فَقَالَ: آلْبِرَّ يُرِدْنَ؟ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ، وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأول مِنْ شَوَّالٍ. أخرجه البخاري ومسلم

”Jika Rasulullah SAW hendak i’tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat i’tikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil (khibâ’), maka dibuatkanlah untuk beliau ketika beliau hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Istri-istri Rasulullah SAW yang lain juga minta dibuatkan bilik, maka dibuatkan untuk mereka. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau melihat bilik-bilik itu, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?” Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau membatalkan i’tikaf di bulan Ramadhan itu hingga akhirnya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keterangan :
Yang dimaksud “bilik” (Arab : khibâ’, jamaknya adalah akhbiyah) adalah semacam kemah kecil yang ditutup dengan wool atau bulu, dengan dua tiang. Nabi SAW membuatnya dengan tujuan agar tidak diganggu oleh orang lain, atau agar bisa fokus ibadah, dan hal itu supaya i’tikaf itu tidak dilakukan secara berjamaah, melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 153).

Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah sholat Shubuh itu, pada hari kedua puluh atau hari keduapuluh satu?

Penjelasannya ada pada 3 (tiga) poin berikut ini :

(1) menurut pendapat yang râjih (lebuh kuat) dari jumhur ulama, i’tikaf dimulai pada beberapa saat sebelum malam (yakni sebelum matahari terbenam) pada hari keduapuluh di bulan Ramadhan.

(2) maka dari itu, jika orang yang beri’tikaf itu mulai masuk masjid (beri’tikaf) pada hari keduapuluh satu, maka berarti dia telah luput dari malam kedua puluh satu (malam sebelumnya), padahal itu adalah malam ganjil.

(3) yang dimaksud “Jika Rasulullah SAW hendak beliau shalat Shubuh terlebih dahulu”, adalah waktu Shubuh pada hari keduapuluh.

Kapan orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu keluar dari masjid?
Jawabnya, sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam Idul Fitri.

Dalam hadits di atas, Nabi SAW bersabda ketika melihat bilik-bilik istri beliau,”Apakah kebaikan yang mereka inginkan?“ Apakah maksudnya?
Sabda Nabi SAW tersebut merupakan pertanyaan dengan maksud mengingkari sesuatu, ada 4 (empat) poin pembahasan berikut ini :

(1) bahwa Nabi SAW khawatir para istri beliau tidak beri’tikaf untuk ibadah, melainkan cemburu kepada Nabi SAW.

(2) bahwa Nabi SAW tidak senang para istri beliau ikut beri’tikaf, karena di masjid banyak orang yang keluar masuk, dan ada di antara manusia itu adalah orang munafik atau orang yang dalam hatinya ada penyakit, sehingga Nabi SAW merasa cemburu kepada para istri beliau.

(3) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf yang dilakukan para istri di masjid dengan beliau, justru akan menghilangkan tujuan i’tikaf itu sendiri, yaitu menjauhkan diri dari istri, dan fokus hanya pada ibadah saja.

(4) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf para istri itu akan membuat ruangan masjid menjadi sempit bagi jamaah yang lain yang hendak sholat atau i’tikaf, disebabkan oleh adanya bilik-bilik yang dibuat untuk para istri Nabi SAW. (M. Sulaiman Nashrullah, Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 154).

Apa saja pelajaran atau hukum yang dapat diambil dari hadits ‘A`isyah RA di atas?
Dalam hadits ‘Aisyah RA yang menjadi pokok pembahasan di atas, terkandung banyak hukum syara’, di antaranya :

(1) memang sudah menjadi fitrah seorang wanita (sudah dari “sononya”), bahwa wanita itu pencemburu dengan para madu-nya.

(2) bahwa menolak mafsadat diutamakan daripada meraih manfaat (dar`ul mafâsid muqaddamun ‘ala jalbil manâfi’). Maka Nabi SAW menunda i’tikafnya lalu diqadha` di bulan Syawal, bukan meneruskan i’tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini karena beliau khawatir i’tikaf mereka itu dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal mafsadat, misalnya membuat masjid menjadi sempit, atau adanya ikhtilath (campur baur) antara istri-istri beliau dengan orang-orang yang keluar masuk masjid, dsb.

(3) hadits tersebut menunjukkan, jika seseorang sudah terbiasa melakukan ibadah sunnah, lalu ditinggalkan karena ada hajat atau udzur syar’i, maka hendaklah dia meng-qadha` pada waktu yang lain.

(4) hadits tersebut menunjukkan, bahwa i’tikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan, dan tidak disyaratkan i’tikaf itu dilakukan dalam keadaan sedang berpuasa.

(5) hadits tersebut menunjukkan, istri yang hendak beri’tikaf wajib minta izin lebih dulu kepada suaminya. Jika istri tidak minta izin, suami berhak menyuruh istrinya keluar masjid. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 159).

Apa hukumnya seseorang yang sedang beri’tikaf keluar dari masjid?
Pada dasarnya, ketika seseorang melakukan i’tikaf, dia tidak boleh keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat yang dibenarkan syariat (seperti buang air kecil, dsb).

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, dia berkata :

إنْ كُنْتُ لأَدْخُلُ البَيْتَ لِلْحاجَةِ، والْمَرِيضُ فِيهِ، فَما أسْأَلُ عنْه إلَّا وأنا مارَّةٌ، وإنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وهو في المَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وكانَ لا يَدْخُلُ البَيْتَ إلَّا لِحاجَةٍ، إذا كانَ مُعْتَكِفًا. رواه البخاري ومسلم

”Sesungguhnya aku pernah masuk ke rumah untuk suatu hajat. Dan ketika itu di dalamnya ada orang sakit. Aku tidaklah bertanya tentangnya melainkan aku sambil berjalan melintasinya. Dan Rasulullah SAW pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah, sedang beliau ada di masjid, dan aku pun menyisiri rambut beliau. Dan Rasulullah SAW tidak masuk rumah, kecuali ada hajat, jika beliau sedang melakukan i’tikaf.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan i’tikaf, beliau tidaklah keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat (seperti buang air kecil, dsb).

Hadits ini menunjukkan juga bahwa ketika ‘A`isyah RA sedang beri’tikaf, beliau meneladani Rasulullah SAW, yaitu tidak keluar masjid kecuali ada hajat. ‘A`isyah RA tidak mengunjungi orang sakit, kecuali sekedar melintasinya saja. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 161).

Apa sajakah pembatal-pembatal i’tikaf?
Pembatal-pembatal i’tikaf adalah :
(1) keluar dari masjid dengan seluruh badannya dengan sengaja, tanpa ada suatu hajat syar’i.

(2) melakukan kabâ`ir (dosa besar) seperti ghîbah (menggunjing), namîmah (adu domba), menurut mazhab Maliki membatalkan i’tikaf. Sedang menurut jumhur ulama, yang lebih kuat (râjih), melakukan kabâ`ir tidak membatalkan i’tikaf, tetapi mengurangi atau menghilangkan pahala i’tikaf itu.

(3) jima’ (berhubugan badan) dengan istri, dan muqaddimah-muqaddimah dari jima’ (seperti mencium, meraba, dsb). Firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

(4) nifas dan haid. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 162).

Apa saja hal-hal yang tidak tergolong pembatal-pembatal i’tikaf?
(1) mengeluarkan sebagian badan dari masjid.
(2) jika orang yang beri’tikaf keluar masjid karena dipaksa, atau karena lupa, tidak batal i’tikaf-nya.
(3) ihtilâm (mimpi hingga mengeluarkan mani), tidak membatalkan i’tikaf. Tetapi dia wajib segera mandi junub, karena tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid.
(4) keluarnya madzi dari orang yang beri’tikaf, tidak membatalkan i’tikaf. Tapi madzi itu najis dan membatalkan wudhu’. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 164).

Apa hukumnya keluar dari tempat i’tikaf (mu’takaf)?
Hukumnya ada rincian (tafshîl) sebagai berikut :
(1) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menafikan i’tikaf, misalnya menggauli istri, melakukan jual beli, maka i’tikafnya batal.

(2) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menjadi hajat dan tidak boleh tidak harus dilakukan, misalnya buang air besar atau kecil, mencari makanan atau minum, dsb, maka i’tikafnya tidak batal. Disunnahkan orang yang beri’tikaf minta bantuan orang lain untuk mencarikan makanan dan minuman.

(3) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang tidak menafikan i’tikaf, tetapi dapat ditinggalkan, misalnya mengunjungi orang sakit, atau mengantar jenazah, maka itu tidak membatalkan i’tikaf jika dia mensyaratkannya dalam niat itikaf. Jika dia tidak mensyaratkannya dalam niat i’tikaf, batallah itikafnya.

Yang dimaksud “mensyaratkan” dalam niat i’tikaf, adalah ketika seseorang berniat, dalam hati dia berkata,”Aku niat i’tikaf karena Allah, namun aku akan keluar masjid jika ada keperluan mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah.”

Bagaimanakah hukum itikaf untuk wanita yang mustahadhah dan orang yang mubtala (incontinence, tak mampu menahan kencing)?

Sah hukumnya melakukan i’tikaf bagi orang yang bernajis secara permanen, seperti wanita yang mustahadhah dan orang mubtala, yaitu orang yang menderita incontinence (tidak mampu menahan kencing sehingga ngompol), sesuai hadits dari ‘Aisyah RA berikut ini :

اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسولِ اللَّهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحاضَةٌ ، فَكَانَتْ تَرَى الحُمْرَةَ والصُّفْرَةَ ، فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَها وَهِيَ تُصَلّي

”Salah seorang istri Rasulullah SAW yang mengalami istihadah ikut i’tikaf bersama beliau. Ia melihat cairan yang keluar ada yang berwarna kemerahan dan ada yang berwarna kekuningan. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (HR Bukhari, no. 2037).

Berdasarkan hadits ini, sah i’tikafnya wanita mustahadhah, sah pula sholatnya wanita mustahadhah, dan orang-orang yang dipersamakan dengan wanita mustahadhah itu, seperti orang yang selalu keluar air kencing, madzi, atau wadzi, dengan syarat tidak mengotori masjid. [ ]

(Disarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan).

Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 22 Ramadhan 1443 / 22 April 2022

KH Muhammad Shiddiq Al Jawi