Home Soal Jawab Fiqih HUKUM MENGUMUMKAN BERITA KEMATIAN DI MASJID DAN MEDSOS

HUKUM MENGUMUMKAN BERITA KEMATIAN DI MASJID DAN MEDSOS

70
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Ustadz, bolehkah mengumumkan berita kematian di masjid atau medsos? Soalnya ada ustadz yang bilang mengumumkan berita kematian di medsos itu tidak boleh. (Hamba Allah).

 

Jawab :

Hukum mengumumkan kematian itu boleh menurut syara’, selama tidak disertai hal-hal yang haram, atau hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala Jahiliyah, misalnya disertai ratapan (al-niyāhah), menangis dengan keras, membangga-banggakan yang meninggal, dsb. Kebolehan ini bersifat umum, baik melalui pengeras suara di masjid, maupun melalui sosmed (Youtube, Facebook, Twitter, WA, Telegram), di media massa (TV, koran, majalah), dan sebagainya. Hanya saja sebagian ulama menyatakan makruh hukumnya mengumumkan kematian di masjid jika suaranya keras. Jika suaranya tidak keras, hukumnya boleh.

Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam masalah ini berkata :

وَيَجُوْزُ إِعْلاَنُ الْوَفاَةِ إِذاَ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ ماَ يُشْبِهُ نَعْيَ الْجاَهِلِيَّةِ، وَقَدْ يَجِبُ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَنْ يَقُوْمُ بِحَقِّهِ مِنَ الْغُسْلِ وَالتَّكْفِيْنِ وَالصَّلاَةِ عَلَيْهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Boleh hukumnya mengumumkan kematian jika hal ini tidak disertai dengan hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala Jahiliyah. Hukumya bisa menjadi wajib, jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai orang yang menunaikan hak dia, seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan, dan semisalnya.” (Nashiruddin Al-Albani, Ahkām Al-Janā`iz wa Bida’uhā, hlm. 45).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat sama dengan berkata :

 اَلنَّعْيُ لَيْسَ مَمْنُوْعاً كُلَّهُ، وَإِنَّماَ نُهِيَ عَمَّا كاَنَ أَهْلُ الْجاَهِلِيَّةِ يَصْنَعُوْنَهُ

“Tidak semua pengumuman berita kematian itu dilarang. Yang dilarang itu hanyalah pengumuman berita kematian (al-na’yu) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.” (Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm. 140).

Imam Ibu Hajar Al-Asqalani lalu menjelaskan pengumuman berita kematian (al-na’yu) ala Jahiliyah yang dilarang itu misalnya :

فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مِنْ يُعْلِنُ بِخَبَرِ مَوْتِ المَيِّتِ عَلَى أَبْوابِ الدَّوْرِ والْأَسْواقِ

“Maka mereka itu dulu biasa mengutus seseorang untuk mengumumkan berita meninggalnya seseorang di pintu-pintu gerbang rumah dan pintu-pintu pasar-pasar.”(Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm. 140).

Imam An-Nawawi menjelaskan hal serupa mengenai pengumuman berita kematian (al-na’yu) ala Jahiliyah yang dilarang syara’ :

وَإِنَّمَا الْمُرَادُ أَلنَّعْيُ الْجاَهِلِيَّةُ الْمُشْتَمِلُ عَلىَ ذِكْرِ الْمَفاَخِرِ وَغَيْرِهاَ

“Yang dimaksud (dengan pengumuman berita kematian yang dilarang), adalah pengumuman kematian Jahiliyah yang mengandung penyebutan hal-hal yang membanggakan (dari yang meninggal), dsb.” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, Juz VII, hlm. 21).

Dalil bolehnya al-na’yu (mengumumkan kematian) selama tidak menyerupai tradisi Jahiliyyah (seperti meratap [al-niyāhah], menangis dengan keras, memukul-mukul pipi, membangga-banggakan kedudukan orangnya, dsb), adalah tiga dalil hadits Nabi SAW sbb :

DALIL PERTAMA

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعاَلىَ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَ بِمَوْتِ النَّجَاشِيِّ فِي الْيَوْمِ الَّذِيْ ماَتَ فِيْهِ ، فَخَرَجَ بِهِمْ إِلىَ الْمُصَلَّى ، فَصَفَّ بِهِمْ وَكبَّرَ أَرْبَعًا. متفقٌ عليه

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW mengumumkan kematian raja Najasyi di hari wafatnya. Dan Nabi SAW keluar menuju mushalla (lapangan tempat sholat) bersama para sahabat, lalu beliau mengimami mereka shalat (ghaib) dan beliau bertakbir sebanyak empat kali. (HR. Bukhari dan Muslim).

 

DALIL KEDUA

عَنْ أَبِيْ قَتاَدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ أَلا أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي؟ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا، حَتَّى لَقُوا الْعَدُوَّ، فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوْا لَهُ، فَاسَتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ، ثُمَّ أَخَذَ الِّلوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِيْ طاَلِبٍ فَشَدَّ عَلىَ الْقَوْمِ حَتىَّ قُتِلَ شَهِيْداً، أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ، فَاسْتَغْفِرُوْا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ الِّلوَاءَ عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتىَّ أُصِيْبَ شَهِيْداً فَاسْتَغْفِرُوْا لَهُ.رواه أحمد وصححه الأرناؤوط.

Dari Abu Qatadah RA, dia berkata, Nabi SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang tentara kamu dalam perang ini (Perang Mu`tah)? Sungguh mereka telah berangkat berperang hingga akhirnya bertemu musuh, lalu Zaid pun syahid. Maka mintakanlah ampunan baginya. (Orang-orang pun memintakan ampunan bagi Zaid). Kemudian Ja’far bin Abu Thalib mengambil alih liwa` (panji hitam), dan perang pun pecah hingga akhirnya Ja’far terbunuh sebagai syahid. Aku bersaksi dia mendapat syahadah. Maka mintakanlah ampunan baginya. (Orang-orang pun memintakan ampunan bagi Ja’far). Lalu liwa’ diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah maka ia kokohkan kedua kakinya sampai dia terbunuh syahid, maka mintakanlah ampunan baginya.”  (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syekh Syu’aib Al-Arna`uth)

 

DALIL KETIGA

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوْا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوْا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوْهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِيْ عَلَيْهِمْ. رواه مسلم

Dari Abu Hurairah RA bahwa ada seorang wanita berkulit hitam atau seorang pemuda yang biasanya menyapu masjid. Suatu ketika Rasulullah SAW kehilangan orang itu, sehingga beliau pun menanyakannya. Para sahabat menjawab, “Orang itu telah meninggal.” Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” Sepertinya mereka menganggap remeh urusan kematiannya. Rasulullah SAW pun bersabda,”Tunjukkanlah kepadaku di mana letak kuburannya.” Maka para shahabat pun menunjukkan kuburannya, dan akhirnya beliau menshalatkannya. Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena shalat yang aku kerjakan atas mereka.“ (HR. Muslim, no. 1588).

Berdasarkan dalil-dalil hadits Nabi SAW di atas, jelaslah bahwa boleh hukumnya pengumuman kematian itu (al-na’yu) jika hal ini tidak disertai dengan hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala Jahiliyah.

Dengan demikian, kita dapat memahami hadits Hudzaifah bin Al-Yaman RA yang melarang pengumuman kematian (al-na’yu) secara mutlak dalam hadits sbb :

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَماَنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إذَا مِتُّ فَلاَ تُؤْذِنُوْا بِيَّ أَحَدًا ، فَإِنِّيْ أَخاَفُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا ، وَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ

Dari Huzaifah bin al-Yaman RA, dia berkata,”Apabila aku meninggal, maka janganlah kamu beritahukan kepada siapapun, sesungguhnya aku khawatir itu adalah pengumuman kematian (al-na’yu), padahal aku pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari pengumuman kematian (al-na’yu).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadits Hudzaifah bin Al-Yaman RA tersebut yang melarang pengumuman kematian (al-na’yu) secara mutlak, sesungguhnya tidaklah demikian halnya, karena yang dilarang sesungguhnya bukanlah pengumuman kematian (al-na’yu) itu sendiri, melainkan pengumuman kematian (al-na’yu) yang mengikuti cara-cara kaum Jahiliyyah, dengan dalil tiga hadits di atas.

Maka dari itu, tepat sekali Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika berkata :

 اَلنَّعْيُ لَيْسَ مَمْنُوْعاً كُلَّهُ، وَإِنَّماَ نُهِيَ عَمَّا كاَنَ أَهْلُ الْجاَهِلِيَّةِ يَصْنَعُوْنَهُ

“Tidak semua pengumuman berita kematian itu dilarang. Yang dilarang itu hanyalah pengumuman berita kematian (al-na’yu) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.”(Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm. 140).

Secara lebih rinci, pengumuman berita kematian (al-na’yu) itu ada 5 (lima) macam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, sebagai berikut :

Pertama, pengumuman kematian yang mubah.

Kedua, pengumuman kematian yang sunnah.

Ketiga, pengumuman kematian yang wajib.

Keempat, pengumuman kematian yang makruh.

Kelima, pengumuman kematian yang haram. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz  ke-40, hlm. 377-381).

 

Rinciannya sebagai berikut :

Pertama, pengumuman kematian yang mubah.

Definisinya adalah pengumuman kematian yang menurut Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah  atau  (عَمَلُ مُحَرَّمٌ), yakni hal-hal seperti kebiasaan orang-orang jaman Jahiliyyah dulu sebelum Islam, misalnya mengutus seseorang untuk mengumumkan berita meninggalnya seseorang di pintu-pintu gerbang rumah dan pintu-pintu pasar-pasar, ada niyāhah yaitu ratapan, atau menangis dengan suara keras, menampar-nampar pipi, membangga-banggakan orang yang meninggal, dan sebagainya.  (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz  ke-40, hlm. 379).

Kedua, pengumuman kematian yang sunnah.

Definisinya adalah pengumuman kematian yang selain tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah  atau  (عَمَلُ مُحَرَّمٌ), yang ditujukan secara khusus kepada para tetangga (al-jīrān) dan teman-teman (al-ashdiqā`). Dan jika tujuannya adalah agar banyak orang yang menyolatkan jenazah yang meninggal, kata Imam Nawawi, maka mengumumkan kematian hukumnya mustahab (sunnah). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz  ke-40, hlm. 377).

Ketiga, pengumuman kematian yang wajib.

Definisinya adalah pengumuman kematian ketika orang yang meninggal itu tidak mempunyai orang yang menunaikan hak jenazah yang sifatnya wajib, seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan, menguburkan, menyelesaikan utang piutangnya, dan semisalnya. Dalam kondisi seperti ini, mengumumkan kematian menjadi wajib hukumnya. (Nashiruddin Al-Albani, Ahkām Al-Janā`iz wa Bida’uhā, hlm. 45).

Keempat, pengumuman kematian yang makruh.

Definisnya adalah pengumuman kematian yang terdapat dalam dua bentuk : (1) pengumumannya ditujukan kepada orang-orang selain teman (shadīq), tetangga (jīrān) dan keluarga (qarīb). (2) Pengumumannya disertai nidā` (seruan/ajakan) untuk menyolatkan orang yang meninggal, dsb. Termasuk pengumuman yang dimakruhkan, adalah pengumuman kematian dengan suara keras di masjid. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz  ke-40, hlm. 380).

Kelima, pengumuman kematian yang haram.

Definisinya adalah pengumuman kematian yang mengikuti tradisi kaum Jahiliyyah, yang menurut ulama Hanabilah, cirinya adalah disertai dengan ratapan (an-nahīb), menangis dengan suara keras (al-bukā` bi-shautin ‘ālin), menyebut-nyebut kebaikan orang yang meninggal dan kehebatan-kehebatannya untuk tujuan membanggakan diri/pamer (al-mubāhāh) dan untuk menunjukkan kesedihan (izh-hār al-jaza’). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz  ke-40, hlm. 380). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 23 Juli 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi