Home Fiqih Fiqih Nikah FIQIH NIKAH BEDA AGAMA

FIQIH NIKAH BEDA AGAMA

131

Oleh :

KH. Shiddiq Al Jawi

(Founder Istitut Muamalah Indonesia)

 

1.Hukum Syara’ Nikah Beda Agama

Hukum nikah beda agama menurut Fiqih Islam secara garis ada 3 (tiga) hukum syara’ :

Pertama, laki-laki muslim boleh hukumnya menikah dengan wanita kafir Ahli Kitab, yaitu wanita kafir yang beragama Yahudi dan Nashrani. Dalilnya QS Al-Maidah : 5, dengan syarat selama tidak menimbulkan mudharat bagi laki-laki muslim tersebut.

Kedua, laki-laki muslim haram hukumnya menikah dengan wanita musyrik, yaitu wanita kafir yang beragama selain Yahudi dan Nashrani. Dalilnya QS Al-Baqarah : 221.

Ketiga, wanita muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki kafir (non muslim), baik laki-laki kafir Ahli Kitab maupun laki-laki kafir musyrik. Dalilnya QS Al-Baqarah : 221 dan QS Al-Mumtahanah : 10.

 

2.Penjelasan Dalil Syara’

Pertama, laki-laki muslim boleh hukumnya menikah dengan wanita kafir Ahli Kitab, yaitu wanita kafir yang beragama Yahudi dan Nashrani, selama tidak menimbulkan mudharat bagi laki-laki muslim tersebut, misal suami itu menjadi murtad mengikuti agama istrinya.

Dalilnya firman Allah SWT :

 

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ

 

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan merdeka di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan merdeka di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu…”(QS Al-Maidah : 5).

Imam Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :

 

( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ) يَعْنِيْ : وَالْحَرَائِرُ مِنَ اَّلذِيْنَ أُعْطُوا الْكِتاَبَ وَهُمْ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى

 

“Firman Allah Ta’la yang berbunyi (وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ), artinya adalah “perempuan-perempuan merdeka dari orang-orang yang diberi kitab, yaitu yang beragama Yahudi dan Nashrani…” (Tafsir Al-Thabari, 6/104). (Lihat https://islamqa.info/ar/answers/حكم-زواج-المسلم-من-غير-المسلمة-والعكس).

 

Para fuqaha dari berbagai mazhab –di antaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad– telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitâbiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nashrani, berdasarkan dalil ayat tersebut. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 7/143; Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/73;Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).

Namun pada kasus-kasus tertentu pernikahan tersebut dapat diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), misal suami malah murtad mengikuti agama Nashrani, meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang.

Hal ini berdasarkan kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani –rahimahullah– sebagai berikut :

 

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْأَمْرِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلىَ ضَرَرٍ حُرِّمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحاً

 

Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/456).

 

Kedua, laki-laki muslim haram hukumnya menikah dengan wanita musyrik, yaitu wanita kafir yang beragama selain Yahudi dan Nashrani, atau yang tidak diturunkan suatu kitab kepada mereka. Misalnya, wanita beragama Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, atau penganut Komunisme (tidak beragama), atau penyembah berhala (watsaniyah), dan yang semisalnya.

Dalilnya firman Allah SWT :

 

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ

 

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu…” (QS Al-Baqarah : 221).

Imam Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :

 

عَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ قَالَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : (وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ) : يَعْنِيْ مُشْرِكاَتِ الْعَرَبِ الَّلاتِيْ لَيْسَ فِيْهِنَّ كِتَابٌ يَقْرَأَنهُ

 

“Dari Qatadah, bahwa dia berkata mengenai firman Allah yang teks Arabnya berbunyi sebagai berikut (وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ), artinya janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, maksudnya adalah perempuan-perempuan musyrik Arab yang tidak mempunyai suatu kitab yang dapat mereka baca.” (Tafsir Al-Thabari, 4/363). (Lihat : http://www.saaid.net/Doat/Zugail/23.htm).

 

Ketiga, wanita muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki kafir (non muslim), baik laki-laki kafir Ahli Kitab maupun laki-laki kafir musyrik.

Dalil keharamannya ada dua dalil; dalil pertama, QS Al-Baqarah : 221 dan dalil kedua QS Al-Mumtahanah : 10.

Dalil pertama, firman Allah SWT :

 

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ

 

“Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah : 221).

Imam Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :

 

عَنْ قَتَادَةَ وَالزُّهْرِيّ فِيْ قَوْلِهِ : (وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ) قَالَ : لاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تُنْكِحَ يَهُوْدِيّاً أَوْ نَصَرَانِيّاً وَلاَ مُشْرِكاً مِنْ غَيْرِ أَهْلِ دِيْنِكَ

 

“Dari Qatadah dan Al-Zuhri, mengenai tafsir firman Allah yang berbunyi (وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ), mereka berkata,”Tidak halal bagi kamu [wali nikah] untuk menikahkan laki-laki Yahudi atau laki-laki Nashrani atau laki-laki musyrik [dengan perempuan beriman], yaitu laki-laki itu dari kalangan penganut agama di luar agamamu [beragama bukan Islam].” (Tafsir Al-Thabari, 2/379). (Lihat https://islamqa.info/ar/answers/ حكم-زواج-المسلم-من-غير-المسلمة-والعكس             ).

Dalil kedua, firman Allah SWT :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah : 10).

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :

 

وَفِي اْلآيَةِ أَنَّ الْكَافِرَ لاَ يَحِلُّ نِكَاحُ الْمُسْلِمَةِ بِحَالٍ

 

“Di dalam ayat ini [terdapat hukum] bahwa laki-laki kafir tidaklah halal menikahi wanita muslimah sama sekali.” (Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklîl fi Istinbâth Al-Tanzîl, hlm. 208).

Imam Ibnu Qudamah berkata :

 

وَلاَ يُزَوِّجُ كَافِرٌ مُسْلِمَةً بِحَالٍ

 

“Laki-laki kafir tidaklah [halal] menikahi wanita muslimah sama sekali.” (Imam Ibnu Qudâmah, Al-Mughnî, 7/27).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan ayat tersebut (QS Al-Mumtahanah : 10) dengan berkata :

 

وَهَذَا نَصٌّ لاَ يَحْتَمِلُ إِلاَّ مَعْنىً وَاحِدًا لَيْسَ غَيْرَ، وَهُوَ أَنَّ الْمُسْلِمَةَ لاَ تَحِلُّ لِلْكُفَّارِ،وَأَنَّ الْكُفَّارَ لاَ يَحِلُّوْنَ لِلْمُسْلِمَاتِ

 

“Ini adalah nash yang tidak mengandung makna kecuali satu makna saja, tak ada makna lainnya, yaitu seorang muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, dan bahwa laki-laki kafir tidak halal bagi perempuan-perempuan muslimah.” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 106).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan juga bahwa kata “al-kuffâr” (laki-laki kafir) pada ayat tersebut (QS Al-Mumtahanah : 10) bermakna umum, tidak hanya untuk laki-laki kafir Musyrik :

 

وَعَبَّرَ بِكَلِمَةِ الْكُفَّارِ، وَلَمْ يُعَّبِرْ بِكَلِمَةِ الْمُشْرِكِيْنَ، لِلتَّعْمِيْمِ عَلىَ كُلِّ كَافِرٍ، سَوَاءٌ أَكَانَ مُشْرِكًا أَمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

 

“Allah mengungkapkan dengan kata “al-kuffâr” (laki-laki kafir), tidak mengungkapkan dengan kata “al-musyrikîn” (laki-laki musyrik), agar dapat berlaku secara umum bagi setiap laki-laki kafir, baik dia laki-laki Musyrik maupun laki-laki Ahli Kitab [beragama Yahudi atau Nashrani].” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 106).

 

Wallahu a’lam.

 

 

http://www.fatawah.net/Fatawah/66.aspx