Home Soal Jawab Fiqih APAKAH CARA MEMANCING IKAN SEPERTI INI TERMASUK JUDI?

APAKAH CARA MEMANCING IKAN SEPERTI INI TERMASUK JUDI?

70
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Yai, saya ingin bertanya. Di kampung saya ada kontroversi, karena RT punya program pemancingan. Lalu ada pertanyaan semacam ini: Assalamu’alaikum wr. wb. Wonten pitakenan saking jama’ah :  RT punya kolam, disediakan bagi para pemancing. Para pemancing datang, menyerahkan uang pendaftaran. Katakanlah Rp. 25.000. Ada belasan peserta. Kolam masih kosong. Pengurus RT membeli ikan dari uang yang terkumpul dari peserta, sekian belas kilogram (tidak semua dibelanjakan ikan, sebagian kecil diambil untuk kas). Ikan dimasukkan ke kolam, kemudian para peserta memasukkan pancing secara serentak di posisi masing-masing. Orang yang tidak ikut menyerahkan uang tidak boleh ikut mancing. Peserta membawa pulang ikan sejumlah yang dia dapat. Peserta bisa dapat banyak, nilainya bisa lebih banyak dari uang pendaftaran; bisa juga lebih kecil dari uang itu; bahkan bisa juga tidak dapat ikan sama sekali. Pertanyaannya; apakah ini termasuk judi? (Titok, Yogyakarta).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Cara memancing ikan seperti yang dijelaskan di atas termasuk judi, sehingga jelas hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan.

Untuk mengetahui bahwa cara memancing seperti di atas termasuk judi, perlu diketahui lebih dulu definisi judi (al-qimar/al-maysir) dalam fiqih Islam. Definisi judi menurut Syekh Rawwas Qal’ah Jie sebagai berikut :

اَلْقِمَارُ هُوَ كُلُّ لَعِبٍ يَشْتَرِطُ فِيْهِ أَنْ يَأْخُذَ الْغَالِبُ مِنَ الْمَغْلُوْبٍ شَيْئًا

“Judi adalah setiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu [harta] dari pihak yang kalah.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā, hlm. 281).

Ada definisi lain dari judi yang melengkapi definisi tersebut. Definisi judi menurut kitab Al-Mu’jam Al-Wasīth adalah sebagai berikut :

اَلْقِمَارُ هُوَ كُلُّ لَعِبٍ فِيْهِ مُرَاهَنَةٌ

“Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan adanya taruhan [harta dari para pesertanya].” (Ibrahim Anies dkk, Al-Mu’jam Al-Wasīth, hlm. 150).

Berdasarkan dua definisi judi yang saling melengkapi tersebut, suatu aktivitas terkategori sebagai judi jika memenuhi 3 (tiga) unsur dari judi sebagai berikut :

Pertama, ada suatu permainan (la’ibun), yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, misalnya sepak bola, adu jago, catur, tinju, main kartu remi, kartu domino, dsb.

Kedua, ada taruhan (murahanah), yaitu suatu harta yang berasal dari para peserta, baik berapa uang maupun barang.

Ketiga, ada pengambilan harta oleh pihak pemenang dari pihak yang kalah.

Dengan demikian, setiap aktitivitas yang memenuhi 3 (tiga) unsur dari judi tersebut, termasuk judi yang diharamkan dalam agama Islam, sesuai firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan kotor (najis) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (najis) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Ma`idah : 90).

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam ayat tersebut terdapat beberapa qarīnah (petunjuk/indikasi) yang menunjukkan haramnya judi (al-maysir), dan juga tiga hal lainnya dalam ayat tersebut, yaitu :

Pertama, menggunakan taukīd (kata penegas) yang berbunyi “innamā” (sesungguhnya).

Kedua, judi disebut rijsun (najis), yaitu najis maknawi (bukan najis dzati).

Ketiga, judi disebut termasuk perbuatan syaitan (min ‘amal al-syaithān).

Keempat, ada perintah untuk menjauhi judi (fajtanibūhu).

Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi (la’allakum tuflihūn).

Dengan adanya banyak qarīnah tersebut, jelas sekali ayat tersebut menunjukkan bahwa judi itu hukumnya adalah haram, tidak mungkin ada hukum lainnya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 189; ‘Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm. 12; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz II, hlm. 36-37).

Berdasarkan 3 (tiga) unsur dari definisi judi tersebut, maka cara memancing seperti yang ditanyakan di atas jelas termasuk judi. Buktinya, telah terwujudnya 3 (tiga) unsur definisi judi dalam kegiatan memancing yang ditanyakan di atas, sbb :

Pertama, dalam cara memancing yang ditanyakan di atas, ada kegiatan memancing yang menjadi permainan (la’ibun) untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah;

Kedua, ada taruhan (murāhanah), yang bentuknya adalah uang pendaftaran, yang besarnya Rp. 25.000 setiap peserta, yang kemudian digunakan membeli ikan sekian belas kilogram, dan dimasukkan ke dalam kolam;

Ketiga, ada pengambilan harta oleh pihak yang menang dari pihak yang kalah. Hal ini terwujud dalam kegiatan tersebut, yaitu ada pihak yang menang, yaitu peserta yang mendapat ikan yang banyak, yang nilainya lebih banyak dari uang pendaftaran. Sebaliknya ada peserta yang kalah, yaitu peserta yang mendapat ikan sedikit, yang nilainya lebih kecil dari uang pendaftaran. Bahkan ada peserta yang tidak mendapat ikan sama sekali.

Maka dari itu, kegiatan memancing yang ditanyakan di atas jelas termasuk judi yang diharamkan dalam Islam, karena telah memenuhi 3 (tiga) unsur dalam definisi judi (al-maysir) dalam fiqih Islam, yaitu : (1) adanya permainan; (2) adanya taruhan; dan (3) adanya pengambilan harta oleh pihak yang menang dari pihak yang kalah. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 30 Juli 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi