Home Fiqih Fiqih ibadah ALLAH TIDAK MENERIMA SHALAT TANPA BERSUCI  DAN TIDAK PULA MENERIMA SHADAQAH DARI...

ALLAH TIDAK MENERIMA SHALAT TANPA BERSUCI  DAN TIDAK PULA MENERIMA SHADAQAH DARI HARTA HARAM

3
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Dalam sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar RA, disebutkan bahwa :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Dari Ibnu ‘Umar RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Tidak diterima sholat tanpa bersuci dan (tidak diterima pula) shadaqah dari ghulūl (harta khianat/haram).” (HR. Muslim, no. 224).

Dalam redaksi yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, terdapat riwayat sebagai berikut :

عَنْ أَبِي الْمَلِيْحِ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ وَلاَ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ

Dari Abu Al-Malih dari ayahnya dari Nabi SAW, Nabi SAW telah bersabda,’Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima shadaqah dari ghulūl (harta khianat) dan juga tidak akan menerima sholat tanpa bersuci.” (HR. Abu Dawud, no. 59).

 

Masalah Sholat Tanpa Bersuci

Dalam hadits di atas, terkandung penertian bahwa Allah tidak akan menerima sholat seorang hamba, tanpa bersuci (بِغَيْرِ طُهُورٍ). Sholat yang dimaksud dalam hadits ini adalah sholat secara umum, baik sholat sunnah (nafilah) seperti sholat tahajjud, sholat Dhuha, dan sebagainya, maupun sholat fardhu (wajib), seperti sholat Maghrib, sholat jenazah, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan kata “sholat” dalam hadits nabi SAW tersebut terdapat dalam bentuk isim nakirah dalam redaksi kalimat yang menegasikan sesuatu (siyāq al- nafi). Dalam ilmu Ushul Fiqih, isim nakirah dalam redaksi kalimat yang menegasikan sesuatu (siyāq al- nafi), mempunyai arti umum. Dalam sebuah kaidah ushul fiqih (qa’idah ushuliyah) disebutkan :

اَلنَّكِرَةُ فِيْ سِيَاقِ النَّفْيِ تُفِيْدُ الْعُمُوْمَ

Isim nakirah yang terdapat dalam redaksi kalimat nafi (menegasikan sesuatu) mempunyai arti umum.” (Syekh ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasyta, Taysīr Al-Wushūl Ilā Al-Ushūl, hlm. 227; Imam Az-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhīth fī Ushūl Al-Fiqh, 3/115; Syekh Khalid ‘Abdurrahman Al-‘Ak, Ushūl Al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, hlm. 382).

Adapun yang dimaksud tanpa bersuci (بِغَيْرِ طُهُورٍ), adalah tanpa berwudhu, atau yang dihukumi sama dengan wudhu, yaitu tayammum. (Muhsin Al-‘Abbād, Syarah Sunan Abu Dawud, 14/13).

Dalilnya sabda Nabi SAW :

لا يَقْبَلُ اللهُ صَلاةَ أحَدِكُمْ إذَا أحْدَثَ حَتَى يَتَوضًأ. أخرجه البخاري ومسلم

“Allah tidak akan menerima sholat salah seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jika seseorang hendak berwudhu lalu tidak mendapat air, maka wudhu boleh digantikan dengan tayammum, sesuai firman Allah SWT :

 وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُۗ 

“Jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).” (QS Al-Ma`idah : 6).

 

Masalah Shadaqah Dari Ghulul

Yang dimaksud dengan “shadaqah” dalam hadits ini, “Allah tidak menerima shadaqah dari ghulul”, adalah shadaqah dalam arti umum, baik shadaqah yang hukumnya wajib, yaitu zakat, maupun shadaqah yang sunnah (shadaqah tathawwu’), atau yang sering disebut dengan “shadaqah” saja. Hal ini karena kata “shadaqah” dalam hadits ini juga merupakan isim nakirah dalam redaksi kalimat yang menegasikan sesuatu (siyāq al-nafi), yang mempunyai pengertian umum, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya di atas.

Adapun pengertian “ghulūl”, arti aslinya adalah perbuatan seseorang mencuri ghanimah (harta rampasan perang), sebelum ada pembagian resmi dari Imam (Khalifah) atau komandan perang yang mewakili Khalifah. Syekh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughat Al-Fuqaha` menjelaskan arti ghulūl sebagai berikut :

اَلْغُلُوْلُ هُوَ السَّرِقَةُ مِنْ الْغَنِيمَةِ قَبْلَ الْقِسْمَةِ

Ghulūl adalah pencurian harta rampasan perang sebelum ada pembagian resmi dari Imam (Khalifah),” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 303).

Jadi yang dimaksud dengan kalimat “Allah tidak menerima shadaqah dari harta ghulul” makna asalnya adalah Allah SWT tidak menerima shadaqah, baik shadaqah yang wajib yaitu zakat, maupun shadaqah tathawwu’ (shadaqah yang sunnah), dari harta rampasan perang yang dicuri sebelum ada pembagian resmi dari Khalifah (Imam).”

Namun demikian, sebagian ulama, seperti Imam Al-Qurthubi dan lain-lain, memperluas makna harta ghulul tersebut. Jadi menurut Imam Al-Qurthubi, yang tidak diterima oleh Allah bukan hanya shadaqah dari harta haram berupa harta ghulūl dalam arti harta curian dari rampasan perang, namun juga meliputi semua harta haram, sebagaimana dikutip dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, yang ditulis oleh Syekh Abi Al-Thayib Muhammad Syamsi Al-Haqq Al-Azhim Abadi.

Pendapat Imam Al-Qurthubi itu sangat tepat, karena didukung oleh dalil-dalil syar’i, antara lain sabda Rasulullah SAW :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً

“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak mau menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, no. 1015).

Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

مَنْ جَمَعَ ماَلًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ. رواه ابن خزيمة وابن حبان والحاكم، وصححه الحاكم وحسنه الألباني

“Barangsiapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menshadaqahkan harta haram itu, maka tidak ada pahala baginya dari shadaqahnya itu, dan bahkan dia mendapatkan dosanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Hakim, dan dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani).

 

Sebab-Sebab Tertolaknya Shadaqah/Zakat/Infaq

Sebagai penutup, kami tambahkan juga beberapa penghalang (mawani’) yang menyebabkan tertolaknya shadaqah dan zakat atau infaq secara umum, oleh Allah SWT, di antaranya 4 (empat) sebab sbb :

Pertama, kekufuran (al-kufru), jadi orang kafir seperti orang Yahudi, Nashrani, dan sebagainya, yang menginfakkan hartanya sebanyak apapun, tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ ۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللّٰهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِۙ 

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nur : 39).

Kedua, bersedekah/berinfaq dengan merasa enggan (terpaksa) (Arab : kārih).

Firman Allah SWT :

وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ

 “Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa).” (QS At-Taubah : 54).

Ketiga, bersedekah/infaq dengan dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima) (al-mann wa al-adzā).

Firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membatalkan (pahala) sedekah-sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).” (QS Al-Baqarah : 264).

Keempat, bersedekah/infaq dengan tujuan supaya mendapat pujian (riyā`) dari manusia dan supaya didengar oleh orang (sum’ah).

Firman Allah SWT :

 كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ

“Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riyā` (pamer supaya dipuji) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Perumpamaan (orang yang bersedekah seperti itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali (tanpa debu).” (QS Al-Baqarah : 264). (Lihat : https://www.alukah.net/sharia/0/114837/)

 

Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 26 Desember 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi