
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Ustadz, kapan atau dalam kondisi safar seperti apa wanita muslimah wajib disertai mahramnya atau suaminya? (Dian, bumi Allah).
Jawab :
Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah menjelaskan kapan wanita muslimah yang bersafar wajib disertai mahramnya sebagai berikut :
إِنَّ سَفَرَ الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ يَسْتَغْرِقُ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا مَحْرَمٌ… يَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ وَحْدَهَا دُونَ مَحْرَمِ الْمُدَّةَ الْمَذْكُورَةَ أَيْ يَوْمًا كَامِلًا(24 سَاعَةً)
“Sesungguhnya perjalanan (safar) seorang wanita (muslimah) jika menghabiskan waktu sehari semalam, maka tidak boleh tidak wanita itu harus disertai mahram…dan haram seorang wanita bersafar sendirian tanpa mahram dalam jangka waktu tersebut, yaitu satu hari sempurna (24 jam).” (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
«لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ »
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan safar dengan lama perjalanan (masiirah) sehari semalam tanpa disertai mahramnya”. (HR. Al-Bukhari, no. 1088; Muslim, no. 1339).
Apakah yang menjadi patokan kewajiban adanya mahram itu faktor WAKTU (lama perjalanan sehari semalam), ataukah faktor JARAK (sekian kilometer)?
Syekh ‘Atha Abu Al-Rasytah menjawab :
فَالْعِبْرَةُ فِي السَّفَرِ دُونَ مَحْرَمٍ لِلْمَرْأَةِ هِيَ بِالزَّمَنِ، نَهَارٌ وَلَيْلٌ، مَهْمَا كَانَتْ الْمَسَافَةُ، فَإِنْ لَمْ تَمْكُثْ الْمَرْأَةُ هَذَا الزَّمَنَ، بَلْ سَافَرَتْ وَرَجَعَتْ قَبْلَهَا فَيَجُوزُ ذَهَابُهَا دُونَ مَحْرَمٍ
“Jadi yang menjadi patokan dalam safar tanpa mahram (yang tidak diperbolehkan) adalah WAKTU, yakni sehari semalam, berapa pun JARAK yang ditempuh. Kalau misalnya seorang wanita tidak menghabiskan waktu sehari semalam tersebut, bahkan dia melakukan perjalanan dan pulang, sebelum jangka waktu itu (24 jam), boleh dia bepergian tanpa mahram.”(‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Misal :
Seorang wanita muslimah melakukan perjalanan Jogja – Jakarta yang jaraknya sekitar 560 kilometer dengan naik pesawat (1 jam Jogja – Jakarta), dengan menginap di Jakarta 3 (tiga) hari. Wajibkah dia disertai mahram?
Jawab :
Tidak wajib wanita itu disertai mahramnya. Karena dengan naik pesawat, waktu berangkat dan pulangnya (PP), hanya kira-kira 10 jam. Rinciannya ; (1) waktu yang diperlukan dari rumah ke bandara Jogja (Kulonprogo) = 1 jam, (2) lamanya menunggu di bandara (boarding) = 1 jam, (3) lamanya perjalanan udara Jogja – Jakarta (Soekarno Hatta) = 1 jam, dan (4) lamanya perjalanan dari bandara Soekarno Hatta ke rumah/hotel di Jakarta = 2 jam. Jadi total waktu berangkat = 5 jam. Maka total waktu yang diperlukan pulang pergi, 5 jam x 2 = 10 jam. Jadi boleh perempuan itu melakukan perjalanan PP tersebut TANPA MAHRAM, karena lama perjalanannya hanya 10 jam, masih kurang dari 24 jam.
Tanya :
Apakah waktu menginap di tempat tujuan (Jakarta), yang 3 hari, tidak dihitung?
Jawab :
Tidak dihitung. Karena yang dihitung sebagai waktu safar bagi wanita, hanyalah waktu yang dihabiskan oleh wanita itu “selama melakukan perjalanan” (khilāla al-masīrah), yaitu selama sebelum sampainya ke tempat tujuan. (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah menjelaskan makna masīrah dalam hadits di atas sebagai berikut :
أَمَّا كَلِمَةُ “ مَسِيرَةٌ ” فَوَاضِحٌ أَنَّهَا خِلَالَ السَّيْرِ قَبْلَ وُصُولِ الْمَكَانِ الْمَقْصُودِ.
“Adapun kata “masīrah”, maka jelas bahwa maksudnya adalah “selama dalam perjalanan” (khilāla as-sayr), sebelum sampainya pada tempat yang dituju.” (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Jadi, waktu yang dihitung adalah waktu masīrah (lama perjalanan pulang dan pergi), tanpa menghitung waktu tinggal di tempat tujuan. (Lihat contoh perhitungan waktu untuk kasus di atas, yaitu wanita muslimah melakukan perjalanan Jogja – Jakarta yang jaraknya sekitar 560 kilometer dengan naik pesawat (1 jam Jogja – Jakarta), dengan menginap di Jakarta 3 (tiga) hari).
Akan tetapi jika lama perjalanan (masīrah) yang ditempuh wanita muslimah itu 24 jam atau LEBIH, maka wajib dia disertai mahramnya, walaupun jaraknya tidak sampai jarak safar syar’i (88,7 km).
Misal :
Seorang wanita muslimah berjalan kaki dari Jogja ke Solo yang jaraknya 62 km (belum mencapai jarak safar syar’i 88,7 km), dengan waktu tempuh sekitar 13 jam (asumsinya, kecepatan jalan kakinya adalah 5 km/jam). Di Solo menginap selama 1 hari. Wajibkah dia disertai mahram?
Jawab :
WAJIB disertai mahramnya, karena total waktu di jalan (masīrah) pulang pergi adalah = 13 jam × 2 = 26 jam, yakni sudah lebih dari 24 jam.
Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah menjelaskan, hukum perjalanan bagi wanita muslimah ini berbeda dengan hukum keamanan bagi wanita dalam perjalanan dan di tempat tujuan. Jika seorang wanita melakukan safar yang dekat, misalnya 20 kilometer, tetapi di jalan tidak aman, atau di tempat tujuan tidak aman, misalnya rawan pembegalan atau pemerkosaan, maka wajib hukumnya wanita muslimah itu disertai suaminya atau mahramnya, walaupun jarak perjalanannya dekat. (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Jika perjalanan wanita muslimah wajib disertai mahram, mahram seperti apa yang dimaksudkan?
Mahram yang dimaksudkan adalah setiap laki-laki yang haram menikah dengan wanita itu secara abadi (mahram mu`abbad), seperti saudara laki-lakinya, ayahnya, anak laki-lakinya, atau menantu laki-lakinya.
Jadi tidak termasuk mahram yang sah dalam perjalanan, mahram sementara (mahram mu`aqqat), yaitu setiap laki-laki yang haram menikah dengan wanita itu secara sementara (mu`aqqat). Seperti suami dari adik perempuannya (adik ipar), atau suami dari kakak perempuannya (kakak ipar).
Hukum Safar Bagi Wanita Yang Berhaji Atau Berumroh
Wajib hukumnya wanita muslimah yang naik haji atau umroh, disertai mahramnya atau suaminya, tidak lagi melihat lagi apakah LAMA perjalanannya sehari semalam atau tidak, juga tidak melihat lagi apakah JARAK perjalanannya sudah mencapai jarak safar syar’i atau tidak.
Yang demikian itu dikarenakan terdapat DALIL KHUSUS, bahwa wanita yang melakukan safar untuk naik haji atau umroh, wajib hukumnya disertai suaminya atau mahramnya.
Inilah pendapat yang rājih yang ditabanni dalam kitab Al-Nizhām al-Ijtimā’ī fī Al-Islām karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani.
Dalilnya hadits dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda :
« لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ ولا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا، وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا »
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan seorang perempuan dan seorang perempuan tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan jangan pula sekali-kali seorang lelaki masuk ke rumah seorang perempuan kecuali ada mahramnya”. Seorang sahabat lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) bersama pasukan ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji.” Nabi SAW bersabda,“Temanilah istrimu berhaji.” (HR. Bukhari no. 1862; Muslim no. 1341).
Dalil lainnya hadits dari ‘Amr bin Dinar RA sebagai berikut :
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ بِلَفْظِ «لَا تَحُجَّنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ »
Dari ‘Amr bin Dinar RA, Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah sekali-kali seorang perempuan berhaji kecuali dia disertai mahramnya.” (HR. Ad-Dāraquthnī). (Sunan Ad-Dāraquthnī, Juz II, hlm. 222).
Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah kemudian memberi syarah (penjelasan) terhadap dua hadits khusus di atas sbb :
فَهَذَانِ الْحَدِيثَانِ يَذْكُرَانِ الْحَجَّ خَاصَّةً، وَلَا يُقَيِّدَانِهِ بِسَفَرٍ وَلَا بِمُدَّةٍ مُعَيَّنَةٍ لِلسَّفَرِ، فَكُلُّ مَنْ تُسَافِرُ لِلْحَجِّ يَلْزَمُهَا مَحْرَمٌ يَصْحَبُهَا فِي سَفَرِهَا وَحَجِّهَا بِغَضِّ النَّظَرِ عَنْ طُولِ السَّفَرِ
“Jadi dua hadits di atas, telah menyebutkan haji secara khusus, dua hadits di atas tidak memberi batasan pada safar, tidak pula menyebutkan jangka waktu tertentu untuk safar. Maka setiap wanita yang bersafar untuk berhaji, wajib ditemani oleh mahramnya dalam safarnya dan hajinya, tanpa melihat lagi lamanya safar.” (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitab Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām menyatakan :
وَمَنَعَ الْمَرْأَةَ مِنَ السَّفَرِ، وَلَوْ إِلَى الْحَجِّ دُوْنَ مَحْرَمٍ
“Syariah telah melarang wanita dari melakukan safar (yang lamanya sehari semalam atau lebih), walaupun perjalanan naik haji, tanpa disertai mahramnya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 34).
Syekh ‘Atha` Abu Al-Rasytah memberikan penjelasan seputar ikhtilāf di kalangan ulama apakah wanita wajib disertai mahramnya atau suaminya ketika naik haji, dan menjelaskan mana pendapat yang rājih (lebih kuat), sebagai berikut :
وَهُنَاكَ مِنْ الْفُقَهَاءِ مَنْ يُجِيزُ الْحَجَّ الْوَاجِبَ بِصُحْبَةِ النِّسَاءِ الْمَأْمُونَاتِ مِثْلَ الشَّافِعِيِّ وَالْإِمَامِ مَالِكٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ يُجِيزُ ذَلِكَ فِي كُلِّ سَفَرٍ وَاجِبٍ كَالْإِمَامِ مَالِكٍ. وَلَكِنَّ الرَّاجِحَ هُوَ أَنْ لَا بُدَّ مِنْ الْمُحْرِمِ فِي الْحَجِّ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ الْمَسَافَةُ طَوِيلَةً أَمْ قَصِيرَةً، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Ada di antara fuqoha yang membolehkan (wanita muslimah) melaksanakan haji yang hukumnya wajib, dengan ditemani para wanita yang terpercaya (tanpa suami/mahram), seperti Imam Syafi’i, dan Imam Malik. Dan sebagian fuqoha itu membolehkan hal itu (wanita bersafar tanpa suami/mahram) pada setiap safar (perjalanan) yang hukumnya wajib, seperti Imam Malik. Akan tetapi, pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah tidak boleh tidak wanita itu wajib disertai mahram dalam berhaji, baik jaraknya jauh maupun dekat. Wallāhu a’lam. (‘Atha` Abu Al-Rasytah, Nasyrah Jawab Soal, 5/11/2018).
Demikian kiranya pendapat yang rājih (lebih kuat) dalam masalah ini. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 27 Juni 2025 Muhammad Shiddiq Al-Jawi