Home Soal Jawab Fiqih HUKUM MENGKONVERSI PIUTANG MENJADI ZAKAT

HUKUM MENGKONVERSI PIUTANG MENJADI ZAKAT

218
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz.Si A hutang ke pada si B. Si A berjanji hutang akan dibayar pada November 2024. Tapi sampai sekarang hutang tersebut belum juga dibayar. Apakah boleh ketika si B hendak menunaikan zakat mal nya yg diperuntukkan untuk si A dari hutangnya. Jadi si A tdk perlu bayar hutang ke B karena zakat tersebut. (Kundoyo, bumi Allah).

 

Jawab:

Wa alaikumus salam wr wb
Apa yang ditanyakan di atas dapat disebut dengan mengkonversi piutang menjadi zakat. Contoh kasusnya, Fulan memberi utang kepada Fulanah sebesar Rp 10 juta. Dengan kata lain, Fulan mempunyai piutang Rp 10 juta pada Fulanah. Lalu Fulan berkata kepada Fulanah,”Piutang saya sebesar Rp 10 juta yang ada pada kamu, saya jadikan zakat mal yang saya bayarkan kepada kamu.” Lalu si Fulanah berkata, ”Saya setuju.”

Pembayaran zakat seperti ini, yakni dengan cara meng-konversi piutang menjadi zakat, hukumnya tidak sah, sesuai pendapat yang rājih (lebih kuat) menurut Imam Nawawi.

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

قاَلَ اْلإِماَمُ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : إِذَا كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى مُعْسِرِ دِينٌ فَأَرَادَ أَنْ يَجْعَلَهُ عَنْ زَكاتِهِ وَقَالَ لَهُ : جَعَلْتُهُ عَنْ زَكاَتِيْ فَوَجْهَانِ حَكَاهُماَ صاَحِبُ البَيانِ أَصَحُّهُمَا : لَا يُجْزِئُهُ ، وَبِهِ قَطَعَ الصَّيمَرِيُّ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ ، لِأَنَّ الزَّكاةَ فِي ذِمَّتِهِ فَلَا يَبْرَأُ إِلَّا بإِقْباَضِهاَ . وَالثَّانِي : يُجْزِئُهُ ، وَهُوَ مَذْهَبُ الحَسَنِ البَصْريِّ وَعَطاءٌ.

Imam Nawawi, rahimahullah, berkata,” Jika seseorang mempunyai piutang pada seorang yang berada dalam kesulitan (untuk membayar utangnya), dan orang itu ingin membayar zakatnya, lalu orang itu berkata kepadanya,’Saya jadikan piutang saya untuk membayar zakat saya’, maka di sini ada dua pendapat menurut penulis kitab Al-Bayān, yang lebih benar (shahih) adalah : tidak mencukupi (tidak sah zakatnya). Pendapat inilah yang dipastikan oleh Al-Shaimari, dan inilah pendapat mazhab Abu Hanifah dan mazhab Ahmad. Hal ini karena zakat itu menjadi tanggungan pihak yang berutang, dan utang itu tidaklah terbayar kecuali dengan adanya serah terima (al-qabdh) atas harta zakat (dari orang yang berutang kepada pemberi utang). Pendapat kedua, pembayaran zakat seperti itu (dengan membebaskan utang atas orang yang berutang) mencukupi (sah), dan ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Athā`.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah (DKI), Juz VII, hlm. 255).

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, hukum konversi piutang menjadi zakat ada dua pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Imam Nawawi menilai pendapat yang lebih shahih adalah yang tidak membolehkan, dengan alasan harus ada serah terima (al-qabdh) atas harta zakat, dari orang yang berutang kepada pemberi utang.

Hal ini tidak terjadi dalam kasus seseorang yang mengkonversi piutangnya menjadi zakat, karena dia hanya mengucapkan lafazh pembebasan utang (ibrā`) dan lafazh pembayaraan zakat (daf’u az-zakāt), tanpa sama sekali terjadi serah terima harta zakat (al-qabdh), yaitu yang rincinya ada pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dan ada penyerahan harta zakat (al-i’tha`/ al-radd) kepada mustahiq zakat.

Padahal dalil-dalil syara’ menjelaskan adanya al-akhdzu (pengambilan dari muzakki) dan al-i’tha`/ al-radd (pemberian kepada mustahiq) secara konkret.

Adanya pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dalilnya firman Allah SWT :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dosa mereka dan menumbuhkan harta mereka.” (QS. ِAِt-Taubah: 103)

Dalil lain yang menunjukkan bahwa pada zakat harus ada pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dan ada penyerahan harta zakat (al-i’tha`/ al-radd) kepada mustahiq zakat, adalah sabda Rasulullah SAW ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal RA ke Yaman. Rasulullah SAW berkata kepada Mu’adz bin Jabal RA :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“…maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” (HR. Al-Bukhari, no. 1395; Muslim no. 19).

Dengan demikianlah, jelaslah bahwa pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya), adalah pendapat yang tidak memperbolehkan mengkonversi piutang menjadi zakat. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 4 Juni 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi