Home Fiqih Fiqih Muamalah KETIKA MODAL SYIRKAH BERUPA BARANG, NILAINYA BERDASARKAN HARGA JUAL ATAU ONGKOS SEWANYA...

KETIKA MODAL SYIRKAH BERUPA BARANG, NILAINYA BERDASARKAN HARGA JUAL ATAU ONGKOS SEWANYA ?

6

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Izin bertanya Ustadz, bolehkah dalam syirkah modal itu berupa manfaat sewa? Misalkan sewa ruko itu Rp 50 juta per tahun, sedangkan harga ruko itu nilainya Rp 1 miliar, namun yang dimasukkan ke dalam modal syirkah berdasarkan nilai sewanya, yaitu Rp 50 juta per tahun. Syukron. (Adhi Himawan, Tangerang).

 

Jawab :

Ada khilāfiyyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama seputar hukum menjadikan barang (al-‘urūdh), seperti ruko, mobil, dsb, sebagai modal mudharabah. Jumhur ulama, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, tidak membolehkan modal mudharabah berupa barang (al-‘urūdh). Mereka mewajibkan modal mudharabah harus berupa uang (al-nuqūd). Menurut ulama mazhab Hambali, ada dua pendapat. Pendapat pertama, sama dengan jumhur ulama, yaitu tidak sah mudharabah jika modalnya berupa barang (al-‘urūdh). Pendapat kedua, boleh modal mudharabah berupa barang (al-‘urūdh), asalkan pada saat akad syirkah, disebutkan nilai (qīmah) dari barang yang dijadikan modal mudharabah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/42-45).

Pendapat yang dinilai rājih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, adalah pendapat yang tidak membolehkan modal mudharabah berupa barang (al-‘urūdh), kecuali dilakukan penilaian (taqwīm) atas barang itu dan nilainya itu disebutkan pada saat akad mudharabah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum asalnya, namun perkecualian dari hukum asalnya sejalan dengan ulama mazhab Hambali versi yang kedua. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan sebagai berikut :

أَمَّا الْعُرُوْضُ فَلاَ تَجُوْزُ الشِّرْكَةُ عَلَيْهَا إِلاَّ إِذَا قُوِّمَتْ وَقْتَ الْعَقْدِ وَجُعِلَتْ قِيْمَتُهَا وَقْتَ الْعَقْدِ رَأْسَ الْمَالِ

”Adapun barang (al-‘urūdh), maka tidak boleh bersyirkah dengan barang tersebut, kecuali jika barang itu dinilai pada waktu akad (syirkah), dan nilainya (qīmah-nya) itu dijadikan modal pada waktu akad (syirkah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 150; ‘Abdul ‘Aziz Al-Khayyāth, Al-Syarikāt fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah wa Al-Qānūn Al-Wadh’ī, Juz I, hlm. 113-114).

 

Lalu, apakah yang dimaksud nilai (qīmah) dari barang di sini, adalah harga jualnya ataukah boleh ongkos sewanya (ujrah)? Jawabannya, yang dimaksud nilai (qīmah) di sini, tiada alain adalah harga jual (al-tsaman/al-si’ru) dari suatu barang, bukan ongkos sewanya (ujrah). Mengapa demikian? Ada 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

Pertama, karena pengertian nilai (qīmah) dalam konteks modal mudharabah, tiada lain adalah harga jual (al-tsaman/al-si’ru), sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam berbagai kamus Bahasa Arab, termasuk kamus istilah dalam ekonomi Islam atau fiqih Islam.

 Sebagai contoh, dalam kitab Mu’jam Lughat Al-Fuqaha` karya Syekh Rawwas Qal’ah Jie, dijelaskan makna nilai (qimah) sebagai berikut :

 اَلْقِيْمَةُ هِيَ الثَّمَنُ  الَّذِيْ يُقَدِّرُهُ الْمُقَوِّمُوْنَ لِلسِّلْعَةِ أَوِ الشَّيْءِ. (رواس قلعة جي، معجم لغة الفقهاء ص 342).

 “Nilai adalah harga yang diperkirakan oleh para penilai terhadap suatu barang dagangan (komoditi) atau terhadap sesuatu.” (Syekh Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqaha`, hlm. 342).

 Dalam kitab kamus Al-Mu’jam Al-Wasīth, disebutkan :

 قِيْمَةُ الشَّيْءِ : قَدْرُهُ، وَقِيْمَةُ الْمَتَاعِ : ثَمَنُهُ. (إبراهيم أنيس وزملاؤه، المعجم الوسيط ص 768)

 “Nilai dari sesuatu, artinya adalah kadar dari sesuatu itu. Dan nilai suatu barang, artinya adalah harga barang itu.” (Ibrāhim Anīs dkk, Al-Mu’jam Al-Wasīth¸hlm. 768).

Dalam kitab Mu’jam Al-Mushthalahāt wa Al-Alfāzh Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Mahmūd ‘Abdurrahmān ‘Abdul Mun’in, disebutkan :

اَلْقِيْمَةُ هِيَ الثَّمَنُ الْحَقِيْقِيُّ لِلشَّيْءِ.( محمود عبد الرحمن عبد المنعم، معجم المصطلحات والألفاظ الفقهية، ج 2 ص 131)

“Nilai adalah harga yang sebenarnya dari sesuatu.” (Mahmūd ‘Abdurrahmān ‘Abdul Mun’in, Mu’jam Al-Mushthalahāt wa Al-Alfāzh Al-Fiqhiyyah, Juz II, hlm. 131).

Dalam kitab berjudul Al-Mu’jam Al-Iqtishādi Al-Islāmī, karya Syekh Ahmad Al-Syirbāsyi, dijelaskan :

اَلْقِيْمَةُ هِيَ ثَمَنُ الشَّيْءِ بِالتَّقْوِيْمِ. (أحمد الشرباسي، المعجم الاقتصادي الإسلامي ص 376)

“Nilai adalah harga dari sesuatu berdasarkan penilaian (taqwīm).” (Ahmad Al-Syirbāsyi, Al-Mu’jam Al-Iqtishādi Al-Islāmī, hlm. 376).

Dalam kitab Qāmūs Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Al-Hadhārah Al-Islāmiyyah, karya Syekh Muhammad ‘Imārah, disebutkan :

اَلْقِيْمَةُ هِيَ ثَمَنُ الشَّيْءِ بِالتَّقْوِيْمِ ، أَيْ بِالتَّقْدِيْرِأَوِ التَّسْعِيْرِ.( محمد عمارة ، قاموس المصطلحات الاقتصادية في الحضارة الاسلامية، ص 473).

“Nilai adalah harga dari sesuatu berdasarkan penilaian (taqwīm), yakni berdasarkan perkiraan atau penentuan harga.” (Syekh Muhammad ‘Imārah, Qāmūs Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Al-Hadhārah Al-Islāmiyyah, hlm. 473).

Dalam kitab Mu’jam Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Lughat Al-Fuqahā`, karya Syekh Dr. Nazīh Hammād, dijelaskan secara agak panjang lebar apa itu nilai (qīmah), sebagai berikut :

اَلْقِيْمَةُ لُغَةً : اَلثَّمَنُ الَّذِيْ يُقَاوَمُ بِهِ الْمَتَاعُ، أَوْ يَقُوْمُ مَقَامَهُ. وَفِي اْلإِصْطِلاَحِ الْفِقْهِيِّ هِيَ الثَّمَنُ الْحَقِيْقِيُّ لِلشَّيْءِ. وَيُمْكِنُ التَّعْبِيْرُ عَنْهَا : بِالسِّعْرِ الْمُتَوَسِّطِ لِلشَّيْءِ فِي السُّوْقِ، أَوْ بِمَا يُسَاوِي الشَّيْءَ فِي نُفُوْسِ ذَوِي الرَّغَبَاتِ فَي اْلأَمْرِ الْمُعْتَادِ. وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ اخْتِلاَفُهَا عُرْفًا وَعَادَةً بِاخْتِلاَفِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ وَاْلأَحْوَالِ. (د. نزيه حماد ، معجم المصطلحات الاقتصادية في لغة الفقهاء ص 374)

“Nilai menurut makna bahasa artinya adalah : harga yang digunakan untuk menilai suatu barang, atau yang berkedudukan sama dengan harga. Menurut istilah fiqih, nilai adalah harga yang hakiki dari sesuatu. Nilai dapat diungkapkan dengan harga yang sedang (moderat) untuk suatu barang di pasar, atau dengan sesuatu yang lain yang sama (setara) dengan sesuatu itu, yang terdapat dalam jiwa orang-orang yang mempunyai kehendak dalam sesuatu perkara yang sifatnya biasa (normal) (bukan kondisi abnormal, seperti dalam bencana kelaparan, dsb). Sudah diketahui bahwa nilai akan berbeda sesuai kebiasaan dan adat istiadat, berdasarkan perbedaan waktu, tempat, dan keadaan.”  (Syekh Dr. Nazīh Hammād, Mu’jam Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 374).

Demikianlah sekilas pengertian nilai (qīmah) menurut berbagai kamus Bahasa Arab, termasuk sejumlah kamus istilah dalam ekonomi Islam atau fiqih Islam. Intinya adalah, makna nilai (qīmah) itu tiada lain adalah harga (al-tsaman/al-si’ru) dari suatu barang, bukan ongkos sewa (ujrah) ketika barang itu disewakan.

 

 Kedua, menurut fatwa-fatwa ulama, nilai (qīmah) artinya tiada lain adalah harga jual (al-tsaman/al-si’ru) dari suatu barang. Bukan ongkos sewanya. Demikianlah penjelasan ulama ketika mereka berfatwa mengenai nilai (qīmah) suatu barang (al-‘urūdh) yang dijadikan modal dalam mudharabah.

Misalnya dalam situs fatwa www.islamweb.net, dijelaskan sebagai berikut :

لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ رَأْسُ مَالِ الْمُضَارَبَةِ عَرَضًا ( بِضَاعَةً ) وَإِنَّمَا يَكُوْنُ نَقْدًا، فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُضَارِبَ لَكَ هَذَانِ الصَّدِيْقَانِ بِمَا فِيْ مَحَلِّكَ فَيُقَوَّمُ مَا فِي الْمَحَلِّ بِثَمَنٍ وَيَكُوْنُ الثَّمَنُ هُوَ رَأْسُ مَالِ الْمُضَارَبَةِ

“Tidak boleh modal mudharabah berupa barang (komoditi), melainkan harus berupa uang. Jika Anda berkehendak melakukan mudharabah dengan dua teman Anda ini dengan apa (suatu barang) yang ada di tempat Anda, maka nilailah apa yang di tempat Anda itu dengan harga, dan harganya itulah yang menjadi modal mudharabah.” (lihat : islamweb.net/ar/fatwa/73260/).

Dalam fatwa lain, dalam situs fatwa www.islamweb.net juga, disebutkan begini :

فَتَقْوِيْمُهَا يَكُوْنُ بِالْاِتِّفَاقِ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ بِقِيْمَةِ مِثْلِهاَ فِي السُّوْقِ، وَلاَ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ هُوَ سِعْرُ شِرَائِهَا، فَقَدْ يَزِيْدُ، وَقَدْ يَنْقُصُ بِحَسَبِ وَضْعِ السُّوْقِ، وَمَا يَتَّفِقُ عَلَيْهِ الطَّرَفَانِ.

“Maka penilaian terhadap suatu barang (al-‘urūdh), terwujud dengan kesepakatan antara dua pihak (pemodal dengan pengelola modal) berdasarkan nilai barang yang semisal di pasar. Tidak disyaratkan nilai barang itu adalah harga belinya, karena harga belinya boleh jadi akan bertambah dan boleh jadi akan berkurang, sesuai kondisi pasar dan apa yang disepakati oleh kedua pihak.”  (lihat : https://www.islamweb.net/ar/fatwa/398467).

Dari fatwa-fatwa ulama tersebut, ketika mereka menjelaskan bahwa jika modal mudharabah itu bentuknya barang, maka barang itu dihitung nilainya saat akad, dan ternyata yang dimaksud dengan “nilai” untuk barang itu, tiada lain adalah “harga” barang itu, bukan ongkos sewa barang itu jika barang itu disewakan.

Ketiga, karena jika ditinjau dari segi hukum syara’ terkait syirkah, jika nilai suatu barang itu diartikan ongkos sewanya, bukan harga jualnya, akan menimbulkan kondisi yang rawan terjadinya sengketa (al-munāza’āt) pada saat berakhirnya syirkah, khususnya ketika syirkah berakhir dengan kerugian (al-khasārah). Padahal terdapat kaidah fiqih yang menegaskan wajibnya melakukan akad muamalah yang jauh dari potensi sengketa (al-munāza’āt) di antara para pihak yang berakad. Kaidah fiqih tersebut bunyinya :

عَقْدُ الْمُعَامَلَةِ يَجِبُ أَنْ يَتِمَّ عَلىَ وَجْهٍ يَرْفَعُ الْمُنَازَعَاتِ بَيْنَ النَّاسِ

“Akad mu’āmalat wajib dilaksanakan dengan cara yang dapat menghilangkan potensi terjadinya sengketa (al-munāza’āt) di antara manusia.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 194; Zamīh ‘Āthif Al-Zain, Al-Islām Nizhām Al-Hukm wa Al-Iqtishād wa al-Ijtimā’, hlm. 350).

Ketika syirkah mudharabah berakhir dengan kerugian dan harus dilakukan bagi rugi (loss sharing), maka loss sharing ini menurut ketentuan syariahnya, dibagi sesuai dengan persentase modal masing-masing pihak yang bersyirkah, sesuai kaidah fiqih yang menyebutkan :

اَلْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ الْمَالِ

“Kerugian ditanggung (para pihak yang sama-sama kontribusi modal) sesuai persentase modal.” (Imam Ibnu Qudāmah, Al-Mughnī, Juz VII, hlm. 145).

Misalnya, pihak pertama selaku pemodal dan sekaligus pengelola modal, berkontribusi modal berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar, sedang pihak lainnya hanya berkontribusi modal yang berupa ruko. Ruko ini harganya  Rp 1 miliar, tapi kalau disewakan ongkos sewanya Rp 50 juta per tahun. Jadi, total modal Rp 2 miliar, dengan persentase modal masing-masing 50%, dengan asumsi modal berupa ruko itu dihitung nilainya berdasarkan harga ruko itu pada saat akad syirkah.

Maka kalau terjadi kerugian, misalnya ada tagihan utang sebesar Rp 100 juta kepada pihak pertama dan pihak kedua dalam syirkah tersebut, maka bagi ruginya adalah masing-masing pihak harus membayar 50% dari Rp 100 juta. Jadi pihak pertama menanggung Rp 50 juta, dan demikian juga pihak kedua menanggung Rp 50 juta. Ini sebuah perhitungan yang cukup rasional.

Tapi andaikata ruko itu dihitung nilainya berdasarkan ongkos sewanya (bukan harga rukonya) pada saat akad syirkah, yaitu misalnya ongkos sewanya misalnya Rp 50 juta per tahun, maka total modal kedua pihak sama dengan = Rp 1 miliar + Rp 50 juta = Rp 1.050.000.000 (satu miliar lima puluh juta rupiah). Dan persentase modal masing-masing pihak adalah = (1.000.000.000 : 1.050.000.000) x 100% = 95,238 % (sembilan puluh lima persen koma dua tiga delapan persen). Ini adalah persentase modal pihak pertama. Adapun persentase modal pihak kedua adalah = (50.000.000 : 1.050.000.000) x 100 % = 4,762 %. Ini adalah persentase modal pihak kedua.

Jadi perbandingan persentase modal pihak pertama dan persentase modal pihak kedua adalah = 95,238 % : 4,762 %.

Lalu andaikata terjadi kerugian, dan muncul tagihan utang Rp 100 juta (misalkan) kepada pihak pertama dan pihak kedua, maka bagi ruginya adalah, pihak pertama membayar = 95,238 %  x Rp 100 juta = Rp 95.238.000 (sembilan puluh lima juta dua ratus tiga puluh delapan ribu rupiah). Sedangkan pihak kedua membayar = 4,762 % x Rp 100 juta = Rp 4.762.000 (empat juta tujuh ratus enam puluh dua ribu rupiah). Apakah hitungan ini rasional? Tidak masuk akal, bukan?

Walhasil, menilai modal syirkah yang berupa barang dengan ongkos sewanya, bukan dengan harga jualnya, sungguh tidak dapat diterima, karena disamping tidak rasional, juga sangat berpotensi menimbulkan persengketaan (al-munāza’āt) di antara para pihak yang bersyirkah, karena akan terdapat tanggungan kerugian (jika terjadi kerugian) yang sangat tidak berimbang (Jawa : njomplang) di antara kedua pihak.

 

Kesimpulannya, modal mudharabah yang berupa nilai (qīmah) dari barang, dihitung nilainya dengan harga jualnya, bukan dengan ongkos sewanya (ujrah), berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

Pertama, karena pengertian nilai (qīmah) dalam konteks modal mudharabah, menurut berbagai kitab kamus Bahasa Arab dan sejumlah kamus istilah fiqih dan ekonomi Islam, tiada lain adalah harga jual (al-tsaman/al-si’ru) dari barang yang dijadikan modal, bukan ongkos sewanya (ujrah).

Kedua, karena menurut fatwa-fatwa ulama, nilai (qīmah) barang sebagai modal syirkah, tiada lain artinya adalah harga jual (al-tsaman/al-si’ru) dari suatu barang di pasar. Bukan ongkos sewanya.

Ketiga, karena jika ditinjau dari segi hukum syara’ terkait syirkah, jika nilai suatu barang itu diartikan ongkos sewanya, bukan harga jualnya, akan menimbulkan kondisi yang rawan sengketa (al-munāza’āt) pada saat berakhirnya syirkah, khususnya ketika syirkah berakhir dengan kerugian (al-khasārah) yang harus ditanggung oleh kedua pihak, berdasarkan persentase modal masing-masing. Padahal kondisi rawan sengketa ini wajib hukumnya untuk dihindarkan dalam berbagai akad muamalah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan :

عَقْدُ الْمُعَامَلَةِ يَجِبُ أَنْ يَتِمَّ عَلىَ وَجْهٍ يَرْفَعُ الْمُنَازَعَاتِ بَيْنَ النَّاسِ

“Akad mu’āmalat wajib dilaksanakan dengan cara yang dapat menghilangkan potensi terjadinya sengketa (al-munāza’āt) di antara manusia.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 194). Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 11 Januari 2025

Muhammad Shiddiq Al-Jawi