Home Fiqih Fiqih ibadah HUKUM BERPUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN HARI WUKUF DI ARAFAH

HUKUM BERPUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN HARI WUKUF DI ARAFAH

218
Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Padang Arafah. Inilah pendapat terkuat (râjih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut:

Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al-ta’rîf al-syar’î) untuk hari Arafah (yauma ‘Arafah).

Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan bahwa “Hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menunjukkan waktu (al-zaman) dan tempat (al-makan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di tempat yang dikenal dengan Padang Arafah. Jadi, hari Arafah tidak cukup didefinisikan sebagai hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah, namun wajib disempurnakan dengan redaksi, bahwa hari ‘Arafah adalah hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah ketika jamaah haji berwukuf di tempat bernama Padang ‘Arafah. (Badruddin Al-‘Ainî, ‘Umdatul Qâri Syarah Shahîh Al-Bukhârî, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar’i untuk “Hari Arafah” (yauma ‘Arafah) adalah :

يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ

“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” (yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-‘arafah).

Definisi inilah yang dianggap kuat (râjih) _oleh _Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-‘Ilmiyyah wal Iftâ` (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Definisi ini juga dipilih oleh Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An-Nûr As-Sâthi’ min Ufuq Al-Thawâli’ fi Tahdîd Yaumi ‘Arafah Idzâ Ikhtalafal Mathâli’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ

“Arafah adalah hari yang kamu kenal.” (‘arafah yauma ta’rifûn). (HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, 5/176, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’, no 4224).

Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Padang Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilâful mathâli’ (perbedaan mathla’).

Yang lebih tepat, perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilâf al mathâli’), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekkah (Penguasa Mekkah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.

Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata :

أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

“Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam ad-Daraquthni berkata, “Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54) berkata, “Hadis ini shahih”).

Hadis ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah, misalnya dari Indonesia, Mesir, Maroko, dan sebagainya.

Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah.

Sebagai penutup, kami tegaskan sekali lagi, bahwa kaum muslimin seluruh dunia wajib hukumnya mengikuti rukyatul hilal penduduk Mekkah dalam segala hal yang terkait dengan ibadah haji, misalnya kapan jadwal wukuf di Padang Arafah, kapan jadwal Idul Adha, dan sebagainya.

Dalilnya firman Allah SWT :

وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ

“Dan berzikirlah kamu [dalam ibadah haji] kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS Al-Baqarah : 203)

Imam Ibnul ‘Arabi menafsirkan ayat tersebut dengan berkata:

[ … وَأَنَّ سَائِرَ أَهْلِ اْلآفَاقِ تَبِعٌ لِلْحَاجِ فَيْهَا] . أحكام القرآن 1/143.

“Bahwa seluruh umat Islam dari berbagai belahan dunia wajib hukumnya mengikuti jamaah haji di Mekkah.” (Imam Ibnul ‘Arabi, Ahkâmul Qur`ân, Juz I, hlm. 143).

Syekh Dr. Muhammad Sulaimân Al-Asyqâr mengatakan :

إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْطَارِ الْعَالَمِ اْلإِسْلاَمِيِّ قَدْ أَجْمَعُوْا إِجْمَاعاً عَمَلِيّاً مُنْذُ عَشَرَاتِ السِّنِيْنَ عَلىَ مُتَابَعَةِ الْحُجَّاجِ فِيْ عِيْدِ اْلَأْضْحَى وَلاَ يَجُوْزُ لِأَيِّ جِهَةٍ أَوْ مَجْمُوْعَةٍ مِنَ النَّاسِ مُخَالَفَةُ هَذَا اْلإِجْمَاعِ

“Sesungguhnya kaum muslimin di seluruh penjuru Dunia Islam telah sepakat dengan kesepakatan yang bersifat ‘amal (dipraktikkan) (Arab : ijmâ’ ‘amali) semenjak puluhan tahun yang lalu untuk mengikuti para jamaah haji dalam Idul Adha, dan tidak boleh bagi pihak atau kelompok mana pun untuk menyalahi ijma’ ini.” (Syekh Husamuddin ‘Ifanah, Al-Fatâwâ, Juz VI, hlm. 10; https://al-maktaba.org/book/10517/452). Wallahu a’lam.[*]

Yogyakarta, 1 Juli 2022
M. Shiddiq Al-Jawi

[*] : Tulisan ini adalah penyempurnaan dari tulisan kami yang sudah pernah ada sebelumnya.