Home Fiqih BELUM QADHA’ PUASA, RAMADHAN SUDAH DATANG LAGI

BELUM QADHA’ PUASA, RAMADHAN SUDAH DATANG LAGI

74
Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Tanya :
1) Bagaimana cara mengqadha` puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat mengqadha’ ternyata bulan puasa sudah tiba kembali (08132570xxxx).
2) Ustadz, kalau belum bayar hutang puasa tahun kemarin, tapi sudah ketemu Ramadhan lagi, bagaimana hukumnya? (08157872xxxx)

 

Jawaban:
Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur syar’i (alasan syar’i), seperti karena sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.

Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur syar’i, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat sebagai berikut :

Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain. Bahwa, orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, II/81, Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush
Shiyam, hlm. 64).

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua :
a) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109).
b) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240).

Dalil Masing-Masing Pendapat :
Dalil pendapat pertama, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha’ karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872).

Ath-Thahawi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam :

وجدته عن ست من الصحابة لا أعلم لهم فيه مخالفا

“Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).

Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda :

يصوم الذي أدركه ثم يصوم الشهر الذي أفطر فيه و يطعم كل يوم مسكينا

“Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Dalil pendapat kedua (ulama Hanafiyah), bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`, Dikarenakan adanya kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi :

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر

“fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Jadi boleh meng-qadha` puasa kapan saja dan tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) apa pun. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu , II/240).

Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata :

وجوب القضاء موسع دون تقييد ولو دخل رمضان الثاني

Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy). Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122

Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata :

ما قضيت شيئا مما يكون علي من رمضان إلا شعبان حتى قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122

Hukum Yang Rajih

Setelah mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami adalah sebagai berikut :

Masalah Fidyah
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain, yaitu bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah.

Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, yaitu sabda Nabi SAW :

يصوم الذي أدركه ثم يصوم الشهر الذي أفطر فيه و يطعم كل يوم مسكينا

“Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (HR Ad-Daruquthni, II/197).

Maka hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872).

Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam.
Imam Syaukani berkata, “Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243).

Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, “…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Kata Syekh Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, “Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.“ (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha`, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jumhur mengatakan bahwa mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah.
Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.

Dalilnya adalah hadits A`isyah RA di atas bahwa dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat hadits-hadits yang semakna dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699).

Memang hadits di atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah RA. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.

Namun adakalanya sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadits marfu’. Para ulama menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 131).

Nah, hadits ‘A`isyah RA di atas termasuk hadits mauquf, tapi dihukumi hadits marfu’, karena perbuatan ‘A`isyah RA yang meng-qadha` puasa paling lambat bulan Sya’ban, kemungkinan besar sudah sepengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah SAW. Maka nash tersebut layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban, atau sebelum datangnya Ramadhan yang baru. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.123-124).

Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya.

Wallahu a’lam