Home Siyasah HARAMNYA ASURANSI BPJS KESEHATAN : DIMENSI ASURANSI, JAMINAN KESEHATAN, DAN AGENDA ASING

HARAMNYA ASURANSI BPJS KESEHATAN : DIMENSI ASURANSI, JAMINAN KESEHATAN, DAN AGENDA ASING

91

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

BPJS tak henti-hentinya menimbulkan kontroversi, baik dari segi kesesuaiannya dengan syariah, gaji direktur utamanya yang gila-gilaan (500 juta lebih), pelayanannya yang tidak memuaskan, maupun rencana BPJS akhir-akhir ini untuk menaikkan iuran bulanan (premi) yang akhirnya ditunda oleh Presiden Jokowi khususnya bagi golongan miskin. Kontroversi mengenai kesyariahan BPJS bermula dari fatwa MUI bahwa asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai “tidak sesuai syariah”. Ketetapan itu adalah hasil Ijtima’ Ulama MUI di Tegal 7-10 Juni 2015 yang lalu. Fatwa “tidak sesuai syariah” tersebut lalu ditafsirkan media bahwa BPJS “haram”. Inilah yang meledakkan pro kontra yang luas di masyarakat ketika diungkap ke media akhir-akhir ini. MUI menjadi sasaran kecaman dan bahan bulan-bulanan oleh sebagian warga, termasuk artis yang tidak tahu menahu urusan agama dan fatwa. Akhirnya, MUI mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak terkait seperti BPJS, pemerintah, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan menyepakati tiga butir kesepakatan. Pertama, bahwa hasil Ijtima’ Ulama MUI tersebut, tidak menggunakan kosakata “haram”. Kedua, masyarakat dihimbau tetap mendaftar BPJS. Ketiga, akan dilakukan penyempurnaan mekanisme BPJS. Tulisan ini mengritisi BPJS dalam tiga dimensi, yaitu; pertama, tinjauan terhadap BPJS sebagai asuransi. Kedua, tinjauan terhadap BPJS sebagai jaminan kesehatan. Ketiga, tinjauan terhadap BPJS sebagai agenda asing. Asuransi BPJS “Tidak Sesuai Syariah” Fatwa MUI bahwa asuransi BPJS “tidak sesuai syariah” itu sebenarnya sudah tepat, karena sekarang faktanya BPJS adalah asuransi konvensional, yang menurut sebagian ulama diharamkan dengan alasanalasan karena adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi). Alasan-alasan tersebut memang ada pada BPJS saat ini. Misalnya BPJS ternyata menginvestasikan dana iuran pesertai BPJS dalam deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Padahal riba jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Selain itu, surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba). Ini juga haram.

1

Tapi alasan-alasan tersebut sebenarnya tidak lengkap. Perlu ditambahkan alasan lain untuk haramnya asuransi, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekedar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Mengapa akadnya tak sesuai syariah? Karena objek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan objek akad yang sah, yaitu barang atau jasa. Objek akad asuransi, adalah janji (at ta’ahhud), yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa (risiko) penyebab turunnya dana pertanggungan, seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya. Nah, janji seperti ini tidak dapat dikategorikan barang atau jasa, maka asuransi itu haram hukumnya. Selain aspek objek akad itu, akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam. Dalil mengenai ketentuan-ketentuan akad ini adalah hadits shahih dari Jabir bin Abdillah RA. Suatu saat Rasulullah SAW tidak bersedia mensholatkan satu jenazah yang masih punya utang dua dinar kepada orang lain. Lalu seorang sahabat bernama Abu Qatadah Al Anshari berkata,”Dua dinar itu menjadi kewajiban saya wahai Rasulullah.” Maka kemudian Rasulullah SAW bersedia mensholatkan jenazah itu. (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no 3345, Bab Tasydiid Ad Dain). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Iqtishadi fil Islam hlm. 185, hadits tersebut menunjukkan ketentuanketentuan akad pertanggungan Islami, sbb ; terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apaapa untuk mendapatkan dana pertanggungan. Ketentuan-ketentuan itu jelas bertolak belakang dengan ketentuan asuransi. Karena dalam asuransi hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Juga, dalam asuransi tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi sebenarnya tidak sedang punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi pihak penerima tanggungan (peserta asuransi) harus membayar premi (iuran) per bulan kepada penanggung (perusahaan asuransi). Kalau dalam Islam, penerima tanggungan tidak membayar apa-apa kepada pihak penanggung. Jadi, jelas sekali akad asuransi tidak sesuai dengan akad pertanggungan dalam Islam, sehingga haram hukumnya. Memang ada yang mengatakan bahwa walau BPJS tidak sesuai dengan syariah, tidak otomatis hukumnya haram. Jawabannya sebagai 2

berikut : bahwa ketidaksesuaian dengan syariah itu bentuknya memang ada dua macam. Pertama, meninggalkan kewajiban (tarkul wajibat), misalnya meninggalkan sholat lima waktu. Kedua, melakukan keharaman (irtikabul haraam), seperti berzina, minum khamr (minuman keras), dsb. Jadi, penyimpangan syariah itu memang tidak otomatis haram, karena bisa jadi bentuk ketidaksesuaian itu bukan mengerjakan yang haram, tapi meninggalkan yang wajib. Nah, orang yang meninggalkan yang wajib tidak disebut berbuat haram, tapi melakukan dosa atau maksiat. Untuk konteks BPJS, ketidaksesuaian dengan syariahnya terletak pada aspek mengerjakan yang haram, yaitu melakukan akad yang tidak disyariahkan dalam Islam. Karena akad asuransi (at ta`miin) itu akad yang berasal dari sistem kapitalisme Barat, bukan berasal dari Syariah Islam. Maka melakukan akad asuransi hukumnya haram, karena ada larangan dari Rasulullah SAW yang bersifat umum, yang melarang perbuatan apa pun yang tidak disyariahkan Islam : ‫من عمل عمل ليس عليه أمرنا فهو رد‬ ”Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perintah kami, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/232, Bab An Nahyu ‘An Al Tasharrufaat wa Al ‘Uquud). Asuransi BPJS dan Jaminan Kesehatan dalam Islam Selain karena alasan akadnya berupa asuransi, Asuransi BPJS juga diharamkan karena tidak sesuai dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Karena dalam BPJS, untuk mendapat jaminan kesehatan rakyat dipaksa membayar iuran. Sedang dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Banyak dalil-dalil syar’i yang menjelaskan bahwa negara dalam Islam wajib memberikan jaminan ksesehatan secara gratis bagi rakyatnya. Di antaranya dalil umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ‫ وهو مسئول عن رعيته‬،‫فالمير الذي على الناس راع‬ “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari no 4904 & 6719; Muslim no 1827). Dalil di atas adalah dalil umum bahwa negaralah yang menjamin seluruh urusan rakyatnya, termasuk jaminan kesehatan. Selain dalil 3

umum tersebut, juga terdapat dalil-dalil khusus yang menunjukkan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut : ‫ بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقققا‬:‫عن جابر قال‬ ‫ثم كواه عليه‬ Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207). Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143). Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, sebagai berikut : ‫عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمققر‬ ‫طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية‬ “Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464). Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143). Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara. Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara 4

gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktek swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum bolehnya berobat dengan membayar dan dalil umum bolehnya jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143). Asuransi BPJS Bagian Agenda Neoliberalisme Asuransi BPJS perlu dipahami pula dalam konteks yang luas, yaitu sebagai bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan oleh Barat atas Indonesia. Mereka yang menelusuri konsep jaminan sosial menurut Barat, akan mendapatkan bahwa Asuransi BPJS sebenarnya berakar pada konsep neoliberalisme yang berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat. Konsep neoliberalisme menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, Asuransi BPJS pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Institusi yang dimaksud, untuk konteks Indonesia, adalah BPJS. (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak”, www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 2). Konsep asuransi sosial melalui BPJS ini berasal dari WTO (Word Trade Organization), institusi perdagangan global bentukan Barat pimpinan Amerika, yang memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, atau yang disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) tahun 1994. (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak”, www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 1). Konsep yang menganggap layanan kesehatan sebagai komoditi bisnis ini akhirnya menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk undang-undang produk DPR, yaitu UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) (UU No 40 Tahun 2004) dan BPJS (badan Penyelenggara Jaminan Sosial) (UU No 24 Tahun 2011). Semua itu terjadi lantaran pemerintah Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan melaksanakannya, melalui program yang disebut Structural Adjusment Program (program penyesuaian struktural) melalui LoI (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis tahun 1998 yang lalu. (Arim Nasim, “SJSN dan BPJS : Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial”, Tabloid Media Umat, Edisi 118, 20 Desember 2013 – 2 Januari 2014, hlm. 14).

5

Kedua UU tersebut dalam proses penyusunannya ternyata dibiayai oleh Asia Development Bank (ADB). Lembaga ini menyetujui pinjaman sebesar 1,4 miliar dolar AS kepada pemerintah Indonesia yang digelontorkan dalam 2 (dua) tahap untuk Program Tata Kelola Keuangan dan Reformasi Jaminan Sosial (Financial Governance and Social Security Program/FGSSR). Tahap I sebesar 250 juta USD diberikan pada periode 2002 -2003, sebagaimana tercatat di dalam dokumen ADB bernomor 33399 tahun 2001. Sebagian utang ini diperuntukkan untuk mendukung penyusunan UU SJSN. Indonesia tentu harus membayar utang dari ADB itu plus bunganya (riba). Indonesia diwajibkan membayar bunga utang dengan biaya komitmen sebesar 0,75% per tahun dan front end fee sebesar 1%. Di dalam kesepakatannya, ADB berhak melakukan audit terhadap penggunaan utang dan melakukan validasi serta verifikasi terhadap kebijakan perizinan di Indonesia. Sebagai pelaksana penggunaan anggaran ini adalah kementerian keuangan yang saat itu dijabat Boediono. ADB menyetujui utang ini setelah menerima Surat Permohonan yang ditandatangani Surat Menteri Keuangan No. S-370/MK.06/2002 tanggal 14 Nov 2002. Kemudian pada tanggal 10 Desember 2002, ADB menyetujui permohonan utang tersebut. (Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/25/kebijakan-sjsn-dan-bpjsdibiayai-oleh-utang-luar-negeri-613980.html). Berdasarkan fakta tersebut, jelaslah bahwa Asuransi BPJS sebenarnya adalah bagian dari agenda asing yang memaksakan neoliberalisme atas masyarakat Indonesia. Walhasil, asuransi BPJS sebenarnya bukan sekedar halal haramnya dari segi asuransi, bukan pula sekedar masalah jaminan kesehatan, namun juga merupakan bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan kepada rakyat Indonesia, melalui pemerintah Indonesia yang telah rela menjadi antek-antek kaum kafir penjajah. Maka dari itu, asuransi BPJS sebenarnya bukan saja haram karena ia adalah asuransi, juga tak hanya haram karena bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam, tapi juga haram karena merupakan jalan bagi hegemoni dan dominasi asing. Padahal Islam telah tegas mengharamkan segala macam jalan yang dapat menimbulkan dominasi asing itu, sebagaimana firman Allah SWT : ‫سولسؤنس سنيؤجسعسلس ا لم‬ ‫لس بلؤلسكفابفبرنيسنس سعسل ىس اؤلمؤؤبمبنليسنس سسببلي ل‬ ‫ل‬

“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` : 141). Wallahu a’lam. [ ]

 

Sumber :
https://zdocs.tips/doc/seputar-haramnya-asuransi-bpjs-dimensi-w1knxyy80k1r