Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum tabungan wadiah )titipan) di bank syariah? (Hamba Allah).
Jawab :
Kami akan jelaskan lebih dulu pengertian wadiah (titipan) menurut istilah syariah dan sekilas hukum-hukum wadiah, baru kemudian kami akan jelaskan status hukum wadiah yang dipraktikkan di bank-bank syariah saat ini.
Berikut ini definisi wadiah dalam istilah syariah menurut empat mazhab fiqih :
Pertama, definisi wadiah menurut mazhab Hanafi :
اَلْوَدِيْعَةُ هِيَ أَمَانَةٌ تُرِكَتْ لِلْحِفْظِ، أَوْ هِيَ اْلإِسْتِحْفَاظُ قَصْدًا
“Wadiah adalah suatu amanah yang diserahkan untuk disimpan, atau penyimpanan (suatu harta) dengan sengaja.”
Kedua, definisi wadiah menurut mazhab Maliki :
اَلْوَدِيْعَةُ هِيَ مَالٌ وُكِّلَ إِلىَ حِفْظِهِ
“Wadiah adalah suatu harta yang diserahkan (kepada orang lain) untuk disimpan.”
Ketiga, definisi wadiah menurut mazhab Syafi’i :
اَلْوَدِيْعَةُ هِيَ اسْمٌ لِعَيْنٍ يَضَعُهَا مَالِكُهَا أَوْ نَائِبُهُ عِنْدَ آخَرَ لِيَحْفَظَهَا
“Wadiah adalah suatu nama untuk suatu harta yang diserahkan oleh pemiliknya atau oleh wakilnya kepada orang lain agar dia menyimpannya.”
Keempat, definisi wadiah menurut mazhab Hambali :
اَلْوَدِيْعَةُ هِيَ الْماَلُ الْمَدْفُوْعُ إِلىَ مَنْ يَحْفَظُهُ بِلاَ عِوَضٍ
“Wadiah adalah harta yang diserahkan kepada orang yang akan menyimpannya tanpa imbalan.”
(Lihat : Mahmūd ‘Abdurrahmān ‘Abdul Mun’in, Mu’jam Al-Mushthalahāt wa Al-Alfāzh Al-Fiqhiyyah, hlm. 470; Rawwās Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 472; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43/5; ‘Abdullāh Husain Al-Maujān, Ahkām Al- Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 7).
Dari berbagai definisi wadiah di atas, ada kesamaan tujuan dari harta yang dititipkan dengan akad wadiah ini, yaitu agar harta itu disimpan atau dijaga. Inilah yang dimaksudkan dengan redaksi yang berbunyi (لِلْحِفْظِ), artinya : “untuk disimpan”, dalam definisi-definisi wadiah di atas.
Dengan kata lain, sesungguhnya harta titipan itu tidak boleh di-tasharrufkan oleh pihak yang dititipi (al-wadī’). Misalnya ketika ada titipan sandal kepada marbot masjid, lalu sandal itu dipakai oleh petugas marbot masjid tersebut, atau ketika ada titipan uang kepada seseorang, lalu orang itu menggunakan uang itu untuk berjual beli, dsb. Ini tidak diperbolehkan dan melanggar syara’.
Karena itulah, sebagian fuqoha khususnya ulama mazhab Hambali, mendefinisikan al-wadiah dengan redaksi yang menegaskan bahwa pihak yang dititipi (al-wadī’) tidak boleh mentasharrufkan harta titipan.
Syekh Dr. ‘Abdullāh Husain Al-Maujān dalam kitabnya Ahkāmul Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, mengutip definisi wadiah dari Imam Al-Mardawi, seorang ulama dalam mazhab Hambali, sebagai berikut :
اَلْوَدِيْعَةُ هِيَ عَقْدُ تَبَرُّعٍ بِحِفْظِ مَالِ غَيْرِهِ بِلاَ تَصَرُّفٍ
“Wadiah adalah akad sukarela (tabarru’) untuk menjaga harta orang lain dengan tidak melakukan tasharruf (perbuatan hukum) (pada harta itu).” (Imam Al-Mardāwī, Al-Inshāf, 6/316). (‘Abdullāh Husain Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 7).
Wadiah itu hukum asalnya adalah jā`iz, yang berarti bukan akad mengikat (lāzim) sehingga boleh ada pembatalan wadiah secara sepihak kapan saja dari kedua belah pihak. Tetapi jika ada pembayaran dari pihak yang menitipkan, maka akad wadiah itu berubah menjadi akad ijārah (sewa), sehingga akadnya berubah menjadi akad lāzim (mengikat), dalam arti tidak boleh ada pembatalan secara sepihak dari para dua pihak yang berakad wadiah. (‘Abdullāh Husain Al-Maujān, Ahkām Al- Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 10-11).
Lalu bagaimanakah hukum wadiah yang dipraktikkan saat ini di bank-bank syariah saat ini? Jawabannya : sayang sekali dalam akad wadiah yang dipraktikkan di bank-bank syariah saat ini, terdapat sejumlah pelanggaran syariah (mukhālafāt syar’iyyah), utamanya 2 (dua) pelanggaran syariah sbb :
Pelanggaran Pertama, wadiah yang dipraktikkan di bank-bank syariah saat ini, tidak memenuhi kriteria wadiah dalam Syariah Islam.
Pelanggaran Kedua, terdapat penjaminan (dhomān) oleh bank syariah terhadap dana nasabah dengan akad wadiah ini.
Penjelasan Pelanggaran Pertama
Adapun bukti bahwa wadiah di bank syariah tidak memenuhi kriteria wadiah dalam syariah, karena seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), misalnya disimpan di sebuah brankas, sesuai dengan definisi wadiah menurut syariah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Jadi bank syariah tidak boleh melakukan tasharruf (perbuatan hukum) terhadap uang titipan itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, untuk membayar tagihan pihak lain (PLN, PDAM, dsb), untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb.
Faktanya, bank syariah telah melakukan tasharruf terhadap dana yang dititipkan, dengan menggunakan dana titipan nasabah untuk berbagai keperluan bank. Adanya pemanfaatan dana titipan oleh bank ini, berakibat bahwa dana yang awalnya berstatus titipan (wadiah), berubah menjadi dana pinjaman (qardh). (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Penjelasan Pelanggaran Kedua.
Dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhomān) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (tindakan melampaui batas) atau melakukan mukhālafat al-syurūth (pelanggaran syarat-syarat yang disepakati dalam akad wadi’ah). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45).
Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhomān) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan tafrīth atau ta’addiy atau mukhālafat al-syurāth. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Adanya penjaminan (dhomān) yang diberikan bank atas dana titipan dari nasabah itu, akhirnya juga mengubah status dana yang awalnya berstatus titipan (wadiah) menjadi pinjaman (qardh). Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadī’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat bahwa :
وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ
“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadiah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Al-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Dārul ‘Āshimah, 1415, hlm. 347).
Nah, ketika dana wadiah itu berubah menjadi pinjaman (qardh), tentu ada konsekuensinya. Konsekuensinya antara lain adalah apa yang disebut “hadiah” atau “bonus” dari bank syariah kepada nasabahnya yang mempunyai rekening wadiah, hakikatnya adalah riba, bukan hadiah yang halal, sesuai sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا
“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (Arab : kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa wajhun min wujūhir ribā). (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, 5/530).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً
”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh) maka janganlah dia mengambil suatu hadiah.” (Arab : idzā aqradha falā ya`khudz hadiyyatan).(HR. Al-Bukhari, dalam Al-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, V/530). Wallāhu a’lam.
Bandung, 10 Januari 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi