Home Fiqih Fiqih Muamalah PENGERTIAN DOUBLE AKAD (MULTIAKAD)

PENGERTIAN DOUBLE AKAD (MULTIAKAD)

87

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fikih Kontemporer

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz, saya ikut kelas hafalan quran. Ada iuran per bulan. Ternyata iuran itu dibagi 2 sama pengurus. Yang sebagian untuk ujroh ustadzahnya dan sebagian jadi uang kas dimana kadang dipakai untuk makan-makan bersama atau untuk membeli hadiah bagi ustadzah / member lain. Apakah ini termasuk double akad? Ohya aku baru inget waktu Romadhon kemaren sisa yang dari iuran itu dipakai untuk buka bersama. (Hamba Allah, Jakarta)

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.
Perhatikan penjelasan berikut mengenai apa yang Anda sebut “double akad” itu sebagai berikut:

Dalam Islam tidak diperbolehkan (haram) adanya suatu akad (perjanjian) yang mensyaratkan adanya akad lain secara mengikat (Arab : mulzim; Eng : binding). Istilahnya, multiakad (Indonesia), atau hybrid contracts (English), atau al-‘uqūd al-murakkabah (Arabic).

Dalil tidak bolehnya multiakad (double akad) antara lain adalah hadits dari Ibnu Mas’ūd RA, bahwa dia telah berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR. Ahmad, no. 3783: Al-Bazzār, no. 2017; Al-Baihaqi, no. 10994).

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977) yang dimaksud dengan “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) adalah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain.

Selengkapnya Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan maksud hadits tersebut dengan berkata sebagai berikut :

فَالْمُرَادُ مِنْهُ وُجُودُ عَقْدَيْنِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ كَأَنْ يَقُولَ: بِعْتُك دَارِيْ هَذِهِ عَلَى أَنْ أَبِيْعَكَ دَارِي الْأُخْرَى بِكَذَا، أَوْ عَلَى أَنْ تَبِيْعَنِيْ دَارَكَ، أَوْ عَلَى تُزَوِّجُنِيْ بِنْتَكَ. فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّ قَوْلَهُ بِعْتُكَ دَارِي هَذِهِ عَقْدٌ، وَقَوْلَهُ عَلَى أَنْ تَبِيعَنِيْ دَارَكَ عَقْدٌ ثَانٍ وَاجْتَمَعَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، فَهَذَا لَا يَجُوْزُ.

“Jadi yang dimaksud dengan hadits itu, adalah adanya dua akad dalam satu akad, misalnya seseorang berkata (kepada orang lain),”Saya jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat aku jual kepadamu rumah aku yang lain dengan harga sekian, atau dengan syarat kamu menjual kepada aku rumahmu, atau dengan syarat kamu menikahkan aku dengan anak perempuanmu.” Ini tidak sah, karena perkataan dia,”Saya jual kepada kamu rumahku yang ini” adalah sebuah akad (akad pertama), dan perkataan dia,”Dengan syarat kamu menjual kepada aku rumahmu,” adalah akad yang kedua, dan kedua akad ini berkumpul menjadi satu (yang satu menjadi syarat bagi yang lain), maka ini tidak diperbolehkan.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 308).

Berdasarkan hadits ini, jelaslah bahwa yang dilarang dalam hadits, yaitu, “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) maksudnya ialah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain.

Perhatikan tiga contoh multiakad (double akad) yang tidak diperbolehkan secara lebih mendetail dalam penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas :

Pertama, seseorang berkata kepada orang lain,”Saya jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat aku jual kepadamu rumah aku yang lain dengan harga sekian.” Dalam kasus ini, tidak boleh seseorang (A) menjual dua barang secara mengikat kepada orang lain (B), yaitu jual beli rumah pertama milik orang itu (A) yang mensyaratkan jual beli rumah kedua, milik orang yang sama (A).

Kedua, seseorang berkata kepada orang lain,”Saya jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat kamu menjual kepada aku rumahmu.” Dalam kasus ini, tidak boleh A menjual rumahnya kepada B, dengan syarat bahwa B menjual rumahnya kepada A.

Ketiga, seseorang berkata kepada orang lain,”Saya jual kepada kamu rumahku yang ini, dengan syarat kamu menikahkan aku dengan anak perempuanmu.” Dalam kasus ini, tidak boleh A menjual rumahnya kepada B, dengan syarat B menikahkan A dengan anak perempuan B.

Inilah contoh-contoh untuk “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain. Dua akad yang digabungkan secara mengikat inilah yang dilarang dalam Islam, yang disebut dengan istilah multiakad (Indonesia), atau hybrid contracts (English), atau al-‘uqūd al-murakkabah (Arabic).

Dengan demikian, jika ada dua akad yang digabungkan, akan tetapi masing-masing akad itu independen (berdiri sendiri) satu sama lain, yakni satu akad tidak mensyaratkan yang lain, berarti tidak termasuk yang dilarang, dan tidak haram.

Misalnya seorang perempuan single berkata kepada laki-laki,”Saya jual rumahku kepada kamu, dan kamu boleh menikahi aku jika kamu mau.” Ini tidak apa-apa alias boleh-boleh saja, karena yang menjadi akad hanyalah kalimat “Saya jual rumahku kepada kamu,” sedang kalimat selanjutnya “dan kamu boleh menikahi aku jika kamu mau,” bukanlah syarat yang sifatnya mengikat (mulzim/binding), melainkan kalimat yang sifatnya opsional, atau ada hak memilih bagi laki-laki yang membeli rumah perempuan itu, dia boleh memilih menikahi perempuan itu dan boleh pula memilih tidak menikahinya.

Demikianlah penjelasan multiakad atau “double akad” yang tidak diperbolehkan (haram) dalam Islam. Dan untuk diketahui, bahwa ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multiakad ini. Memang ada sebagian ulama yang membolehkan, tetapi dalilnya marjūh (lemah). Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang melarangnya, seperti pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani yang kami kutipkan di atas, dari kitabnya Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, halaman 308.

Adapun pertanyaan penanya, apakah iuran dari kelas hafalan Qur`an itu termasuk double akad (multiakad)? Jawabnya, tidak ada multiakad, baik pada aspek iuran uangnya tersebut, maupun pada aspek dua penyaluran dari uang iuran itu, pertama disalurkan untuk ujrah guru, dan kedua disalurkan untuk hadiah guru. Tidak ada multiakad sama sekali.

Jadi, uang iuran untuk suatu organisasi atau jamaah, disebut dengan syirkah amlak (atau syirkah milik) dalam Fiqih Islam. Jenis kepemilikannya adalah kepemilikan individu (milkiyyah fardiyyah), hanya saja pemiliknya bukan satu orang individu, melainkan sejumlah orang/individu. Uang atau barang yang dimiliki secara bersama oleh sekelompok individu, dalam fiqih Islam, disebut dengan syirkah amlak (atau syirkah milik), yang definisinya adalah :

شَرِكَةُ الْأَمْلَاكِ هِيَ أَنْ يَتَمَلَّكَ شَخْصَانِ فَأَكْثَرَ عَيْنًا مِنْ غَيْرِ عَقْدِ الشَّرِكَةِ

“Syirkah Amlak adalah kepemilikan bersama oleh dua orang atau lebih pada suatu benda (al-‘ain), tanpa adanya akad syirkah.” (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, Juz IV, hlm 794).

Contohnya, ada dua orang yang mewarisi rumah yang sama, atau dua orang itu membeli satu rumah yang sama, atau ada seseorang yang menghibahkan sebuah rumah kepada keduanya, dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 149-150).

Jadi ketika ada sejumlah orang, misal lima orang yang menjadi murid dari seorang guru, bersedekah bersama untuk uang kas milik bersama, maka status uang bersama itu disebut dengan istilah syirkah amlak (atau syirkah milik) dalam Fiqih Islam.

Adapun terkait dengan bagaimana tasharruf (penggunaan) uang milik bersama itu, maka hal itu terserah para pemiliknya sendiri, selama tasharruf uang bersama itu tidak melanggar syariah, baik itu untuk satu, atau dua, atau dua macam tasharruf, maka tidak ada masalah secara syariah. Misalnya sebagian uang itu untuk membayar ujrah guru, sebagian untuk makan bersama, sebagian untuk disedekahkan kepada anak yatim, dan seterusnya, maka itu semua boleh dan tidak ada masalah secara syariah. Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 30 Juli 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi