Home Fiqih HUKUM MENYEWAKAN BARANG PINJAMAN

HUKUM MENYEWAKAN BARANG PINJAMAN

63

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, seseorang diberikan hak utk membuat kedai/warung, tanpa uang sewa /kontrak. Di kemudian hari karena sepi pelanggan, maka kedai/warung mau tersebut dikontrakkan sama orang lain lagi. Bolehkah? (Suardi Salam, Bengkulu).

Jawab :

Ada perbedaan pendapat ulama (ikhtilāf) dalam masalah ini, yaitu bolehkah seseorang yang dipinjami barang lalu dia menyewakan barang tersebut kepada orang lain. Sebagian ulama seperti ulama dari mazhab Hanafi dan Syafi’i, tidak memperbolehkan. Sedangkan sebagian ulama lainnya, seperti ulama mazhab Maliki, juga sebagian ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, memperbolehkan. (Mausū’ah Al-Ijmā’ fī Al-Fiqh Al-Islāmiy, Juz VIII, hlm. 60-61).

Ulama yang tidak memperbolehkan beralasan bahwa pihak peminjam barang (al-musta’īr) sesungguhnya tidak mempunyai hak milik (milkiyyah) atas manfa’at dari barang (manfa’at al-‘ain), sehingga karenanya, dia tidak berhak menyewakan barang pinjaman itu kepada orang lain. Yang mempunyai hak milik (milkiyyah) atas manfa’at dari barang, tiada lain adalah pihak pemilik barang (mālikul ‘ain), yaitu pihak yang meminjamkan barang (al-mu’īr).

Imam Al-‘Imrāni dalam kitabnya Al-Bayān fi Al-Madzhab Al-Syāfi’i mengatakan :

وَإِنْ اسْتَعَارَ عَيْنًا مُدَّةً، فَأَجَّرَهَا الْمُسْتَعِيرُ تِلْكَ الْمُدَّةَ، لَمْ تَصِحَّ الْإِجَارَةُ، لِأَنَّ الْإِجَارَةَ مُعَاوَضَةٌ، فَلَا تَصِحُّ إِلَّا فِيمَا يَمْلِكُهُ، وَالْمُسْتَعِيرُ لَا يَمْلِكُ الْمَنَافِعَ، وَإِنَّمَا هِيَ مِلْكٌ لِمَالِكِ الْعَيْنِ، وَقَدْ أَبَاحَ لَهُ إِتْلَافَهَا، فَلَا يَمْلِكُ أَنْ يُمَلِّكَ ذَلِكَ غَيْرُهُ

“Jika seseorang meminjam suatu barang untuk suatu jangka waktu tertentu, dan si peminjam ini lalu menyewakannya (kepada orang lain) di dalam jangka waktu itu, maka akad sewanya ini tidak sah, karena akad sewa itu bersifat pertukaran, dan pertukaran hanya berlaku atas apa yang dia miliki. Padahal pihak yang meminjam (al-musta’īr) bukanlah pemilik manfaat barang, pemilik manfaat barang ini tiada lain adalah pemilik barang, dan syara’ telah mengizinkan dia (pemilik barang) untuk menghancurkannya, jadi tidak ada orang lain yang berhak memindahkan hak milik manfaat barang selain dia (pemilik barang). (Imam Al-‘Imrāni, Al-Bayān fi Al-Madzhab Al-Syāfi’i, 6/517).

Selain itu, ada perbedaan antara akad pinjam pakai (al-i’ārah / al-‘āriyah) dengan akad sewa (al-ijārah). Akad pinjam pakai (al-i’ārah / al-‘āriyah) sifatnya adalah ghairu lāzim, artinya, tidak mengikat, yaitu pihak yang meminjamkan barang (al-mu’īr) berhak menarik kembali barang yang dipinjamkannya sewaktu-waktu dari tangan pihak peminjam (al-musta’īr). Sedangkan akad sewa (al-ijārah), sifatnya lāzim, artinya, mengikat, yaitu pihak yang menyewakan (al-mu`ajjir) tidak berhak menarik kembali barang yang disewakannya sewaktu-waktu dari tangan yang menyewa (al-musta`jir), kecuali jika masa sewa barang sudah berakhir.

Dengan demikan, jika dibolehkan pihak peminjam (al-musta’īr) menyewakan barang yang dipinjamnya kepada orang lain, lalu pihak yang meminjamkan (al-mu’īr) menarik barangnya sewaktu-waktu, maka dia akan tercegah untuk mendapatkan haknya. (Mausū’ah Al-Ijmā’ fī Al-Fiqh Al-Islāmiy, Juz VIII, hlm. 60-61).

Adapun ulama yang memperbolehkan, beralasan bahwa orang yang meminjam barang (al-mu’īr) walau tidak mempunyai hak milik atas ‘ain (zat) barang yang dipinjamnya, akan tetapi dia mempunyai hak milik atas manfa’at dari barang yang dipinjamnya, atas dasar akad pinjam pakai (al-i’ārah / al-‘āriyah) yang telah terwujud dengan pihak yang meminjamkan barang (al-mu’īr). Nah, karena pihak peminjam ini mempunyai hak milik atas manfa’at barang, maka berhak pula dia melakukan tasharruf (perbuatan hukum secara syariah) atas barang pinjaman yang ada, termasuk menyewakan barang sewaan itu kepada orang lain. Dalam kitab Al-Badī’ (Juz II, hlm. 102) sebagaimana dikutip dalam kitab Mausū’ah Al-Ijmā’ fī Al-Fiqh Al-Islāmiy, dikatakan :

أَنَّ الْمُسْتَعِيرَ لَمَّا مَلَكَ الْمَنَافِعَ كَانَ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهَا، كَمَنْ اكْتَرَى دَارًا

“Sesungguhnya pihak peminjam barang (al-musta’īr), dikarenakan dia telah memiliki manfa’at barang, maka dia berhak melakukan tasharruf (perbuatan hukum secara syariah) atas barang pinjaman yang ada, seperti orang yang (meminjam rumah) lalu menyewakan rumah itu…”.  (Mausū’ah Al-Ijmā’ fī Al-Fiqh Al-Islāmiy, Juz VIII, hlm. 61).

Pendapat yang kami nilai rājih (lebih kuat dalilnya) dari dua pendapat tersebut, adalah pendapat yang membolehkan, dengan alasan bahwa ketika terjadi akad pinjam pakai (al-i’ārah / al-‘āriyah), berarti pihak yang meminjam barang (al-mu’īr) telah mempunyai milkiyyat manfa’at al-ain, yaitu hak milik atas manfaat dari barang pinjaman, meskipun kepemilikan zat barangnya (milkiyyat al-‘ain) dari barang tersebut tetap miliknya pihak yang meminjamkan barang (al-mu’īr).

Nah, karena pihak peminjam barang (al-mu’īr) telah mempunyai milkiyyat manfa’at al-ain, maka boleh baginya melakukan berbagai tasharruf syar’iyyah terhadap barang pinjaman (al-musta’ar) tersebut, seperti memanfaatkan barang pinjaman untuk diri sendiri, termasuk juga menyewakan barang pinjaman itu kepada orang lain.

Imam Taqiyuddin An-Nabhani telah membolehkan pihak penyewa barang (misalnya rumah), untuk menyewakan lagi rumah itu kepada orang lain, berdasarkan alasan, bahwa pihak penyewa pertama telah mempunyai hak milik atas manfaat barang (milkiyyat manfa’at al-‘ain) dari barang sewaan. Maka dari itu, penyewa pertama ini boleh menyewakan lagi barang sewaan itu kepada orang lain (penyewa kedua). Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :

وَمَتَى تَمَّ اسْتِئْجَارُ الْعَيْنِ وَقَبْضُ مَنْفَعَتِهَا مَلَكَ الْمُسْتَأْجِرُ جَمِيعَ التَّصَرُّفَاتِ الشَّرْعِيَّةِ فِي مَنْفَعَةِ الْعَيْنِ الَّتِي اسْتَأْجَرَهَا لِأَنَّهَا مِلْكُهُ

“Apabila telah terjadi akad sewa barang dan telah terjadi penerimaan manfaat barang (qabdh manfa’at al-‘ain) (oleh pihak penyewa), maka pihak penyewa mempunyai hak untuk melakukan segala perbuatan hukum (tasharruf) yang syar’i terhadap manfaat barang yang disewanya, karena manfaat barang itu, adalah miliknya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 329).

Berdasarkan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini, dapat diambil atau dikeluarkan (al-istikhrāj) kaidah fiqih yang berlaku umum, yaitu :

مَنْ يَمْلِكُ مَنْفَعَةَ الْعَيْنِ مَلَكَ جَمِيْعَ التَّصَرُّفَاتِ الشَّرْعِيَّةِ فِيْهاَ، أي في هَذِهِ مَنْفَعَةِ الْعَيْنِ

“Barangsiapa yang memiliki manfaat suatu barang, maka dia memilik hak untuk melakukan segala perbuatan hukum (tasharruf) yang syar’i terhadap manfaat barang tersebut.”

Maka dari itu, kami berpendapat, pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya) dalam masalah ini, yaitu bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman, adalah pendapat yang memperbolehkan pihak peminjam menyewakan barang pinjamannya tersebut kepada orang lain, dengan alasan :

مَنْ يَمْلِكُ مَنْفَعَةَ الْعَيْنِ مَلَكَ جَمِيعَ التَّصَرُّفَاتِ الشَّرْعِيَّةِ فِي هَذِهِ مَنْفَعَةِ الْعَيْنِ

“Barangsiapa yang memiliki manfaat suatu barang, maka dia memilik hak untuk melakukan segala perbuatan hukum (tasharruf) yang syar’i terhadap manfaat barang tersebut.”

Maka dikarenakan pihak peminjam barang telah mempunyai hak milik atas manfaat barang (milkiyyat manfa’at al-‘ain), meskipun dia tidak mempunyai hak milik atas zat barang itu (milkiyyat al-‘ain), maka pihak peminjam boleh menyewakan barang pinjaman, karena manfaat dari barang pinjaman itu adalah miliknya.

Namun kebolehan penyewaan barang pinjaman ini ada syaratnya, yaitu tidak boleh menimbulkan risiko bahaya yang lebih besar daripada risiko barang pinjaman, sesuai kaidah umum yang telah melarang muslim untuk menimpakan bahaya (dharar) bagi muslim yang lain. Sabda Rasulullah SAW :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) ataupun bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR. Ahmad, Al-Musnad, 1/313; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2341; dan Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabīr, no. 11.806).

Jadi tidak boleh, misalnya, rumah pinjaman yang asalnya hanya untuk ditinggali keluarga secara biasa, kemudian disewakan untuk keperluan bengkel atau rumah makan, yang risikonya lebih besar daripada risiko rumah yang ditinggali secara biasa oleh sebuah keluarga. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 20 Februari 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.fissilmi-kaffah.com

www.shiddiqaljawi.com